Minggu, 09 Oktober 2022

AJARAN KITAB SUCI DAN AJARAN GEREJA KATOLIK TENTANG PERKAWINAN

Kejadian 2:18-25

18.TUHAN Allah berfiman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” 19.Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara. Dibawa-Nya lah semuanya kepada manusia itu untuk melihat, bagaimana ia menamainya; dan seperti nama yang diberikan manusia itu kepada tiap-tiap makhluk yang hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu. 20.Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia. 21.Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. 22. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nya lah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. 23.Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.” 24. Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. 25. Mereka keduanya telanjang, manusia dan istrinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.


Mrk 10:2-12; (bdk Luk 16:18)

2. Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya?”: 3.Tetapi jawab-Nya kepada mereka: “Apa perintah Musa kepada kamu?” 4 Jawab mereka: “Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.” 5.Lalu kata Yesus kepada mereka: “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. 6.Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, 7. sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, 8 sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. 9.Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” 10.Ketika mereka sudah di  rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. 11.Lalu kata-Nya kepada mereka: “Barang siapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinaan terhadap istrinya itu. 12.Dan jika si istri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zina.”


Kitab Hukum Kanonik; 1055

Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen. Karena itu, antara orang-orang yang dibaptis tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen. 


GS. 48 Kesucian perkawinan dan keluarga

Persekutuan hidup dan kasih suami-istri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tidak dapat ditarik kembali. Demikianlah karena tindakan manusiawi, yakni saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan isteri, timbullah suatu lembaga perkawinan yang mendapat keteguhannya, juga bagi masyarakat, berdasarkan ketetapan ilahi. Ikatan suci demi kesejahteraan suami-istri dan anak maupun masyarakat itu, tidak tergantung dari manusiawi semata-mata. Allah sendirilah Pencipta perkawinan, yang mencakup berbagai nilai dan tujuan. Itu semua penting sekali bagi kelangsungan umat manusia; bagi pertumbuhan pribadi serta tujuan kekal masing-masing anggota keluarga; bagi martabat, kelestarian, damai, dan kesejahteraan keluarga sendiri maupun seluruh masyarakat manusia. Menurut sifat kodratinya lembaga perkawinan dan cinta kasih suami-istri bertujuan untuk mendapatkan keturunan serta pendidikan. Maka dari itu pria dan wanita, yang karena janji perkawinan “bukan lagi dua, melainkan satu daging” (Mat 19:6), saling membantu dan melayani berdasarkan ikatan mesra antara pribadi dan kerja sama; mereka mengalami dan dari hari ke hari makin memperdalam rasa kesatuan mereka. Persatuan mesra itu, sebagai saling serah diri antara dua pribadi, begitu pula kesejahteraan anak-anak, menuntut kesetiaan suami istri yang sepenuhnya, dan tidak terceraikannya kesatuan mereka menjadi mutlak perlu. Kristus Tuhan melimpahkan berkat-Nya atas cinta kasih yang beranekaragam itu, yang berasal dari sumber cinta kasih Ilahi, dan terbentuk menurut pola persatuan-Nya dengan Gereja. Sebab seperti dulu Allah menghampiri bangsa-Nya dengan perjanjian kasih dan kesetiaan, begitu pula sekarang Penyelamat umat manusia dan Mempelai Gereja, melalui Sakramen Perkawinan menyambut suami-istri Kristiani. Selanjutnya Ia tinggal beserta mereka supaya seperti Ia sendiri mengasihi Gereja dan menyerahkan Diri untuknya, begitu pula suami-istri dengan saling menyerahkan diri dan mengasihi dengan kesetiaan yang tak kunjung henti. Kasih sejati suami-istri ditampung dalam cinta Ilahi, dibimbing dan diperkaya berkat daya penebusan Kristus serta kegiatan Gereja yang menyelamatkan, supaya suami-istri secara nyata diantar menuju Allah, dan diteguhkan dalam tugas mereka yang luhur sebagai ayah dan ibu. Oleh karena itu, suami-istri Kristiani dikuatkan dan dikuduskan dengan sakramen yang khas untuk tugas kewajiban dan martabat status hidup mereka. Berkat kekuatan-Nya mereka menunaikan tugas sebagai suami-istri dalam keluarga, dan dijiwai semangat Kristus, yang meresapi seluruh hidup mereka dengan iman, harapan, dan cinta kasih. Suami-istri makin mendekati kesempurnaan dan saling menguduskan, dan pada akhirnya secara bersama-sama makin memuliakan Allah. Maka dari itu, dengan mengikuti teladan orang tua dan berkat doa keluarga, anak-anak, dan semua yang hidup di lingkungan keluarga, akan lebih mudah menemukan jalan keselamatan dan kesucian. Suami-istri yang mengemban martabat dan tugas utama sebagai bapak dan sebagai ibu akan melaksanakan kewajiban memberi pendidikan terutama di bidang keagamaan dengan tekun dan baik. Anak-anak sebagai anggota keluarga yang hidup ikut serta menguduskan orang tua mereka dengan cara mereka sendiri. Mereka akan membalas budi orang tua dengan cinta mesra, rasa syukur, ungkapan terima kasih dan kepercayaan, serta akan membantu orang tua di saat mengalami kesukaran dan menemani mereka dalam kesunyian di usia lanjut. Status janda, sebagai kelangsungan panggilan berkeluarga ditanggung dengan keteguhan hati, dan hendaknya dihormati oleh semua orang. Keluarga dengan kebesaran jiwa hendaknya berbagi kekayaan rohani dengan keluarga-keluarga lain. Maka dari itu, keluarga kristiani, karena berasal dari pernikahan yang merupakan gambar dan partisipasi perjanjian cinta kasih antara Kristus dan Gereja, akan menampakkan kepada semua orang kehadiran Sang Penyelamat yang sungguh nyata di dunia dan hakikat Gereja yang sesungguhnya, baik melalui kasih suami-istri; kesuburan yang dijiwai semangat berkorban; kesatuan dan kesetiaan, maupun melalui kerja sama yang penuh kasih antara semua anggotanya.


GS. 3 . Pengabdian kepada manusia

Umat manusia zaman sekarang terpukau oleh rasa kagum akan berbagai penemuan serta kekuasaannya sendiri. Akan tetapi, sering pula manusia dengan gelisah bertanya-tanya tentang perkembang dunia dewasa ini; tentang tempat dan tugasnya di alam semesta; tentang makna jerih-payahnya secara individu maupun kelompok; dan akhirnya tentang tujuan akhir manusia itu sendiri. Oleh karena itu, Konsili menyampaikan kesaksian dan penjelasan tentang iman kepada segenap Umat Allah yang dihimpun oleh Kristus. Konsili tidak dapat menunjukkan secara lebih jelas-tentang kesetiakawanan, penghargaan, serta cinta kasih Umat itu terhadap seluruh keluarga manusia yang mencakupnya, selain dengan menjalin temuwicara tentang pelbagai hal. Konsili menerangi permasalahan itu dengan cahaya Injil, menyediakan bagi manusia daya-kekuatan pembawa keselamatan, yang oleh gereja, dibawah bimbingan Roh Kudus, diterima dari pendirinya. Sebab pribadi manusia harus diselamatkan, dan masyarakatnya diperbaharui. Maka manusia, ditinjau dari kesatuan dan keutuhannya, beserta jiwa maupun raganya, dengan hati serta nuraninya, dengan budi dan kehendaknya, akan merupakan poros seluruh uraian kami.”  


GS.52. Pengembangan perkawinan dan keluarga merupakan tugas semua orang

“Keluarga adalah tempat pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan. Supaya keluarga mampu mencapai kepenuhan hidup dan misinya, diperlukan komunikasi, hati penuh kebaikan, kesepakatan suami-istri, dan kerja sama orang tua yang tekun dalam mendidik anak- anak. Kehadiran aktif ayah sangat membantu pembinaan mereka dan pengurusan rumah tangga oleh ibu, terutama dibutuhkan oleh anak-anak yang masih muda, perlu dijamin, tanpa maksud supaya pengembangan peranan sosial wanita yang sewajarnya dikesampingkan. Melalui pendidikan hendaknya anak-anak dibina sedemikian rupa, sehingga ketika sudah dewasa mereka mampu dengan penuh tanggung jawab mengikuti panggilan mereka; dan panggilan religius; serta memilih status hidup mereka. Maksudnya, apabila kelak mereka mengikat diri dalam pernikahan, mereka mampu membangun keluarga sendiri dalam kondisi-kondisi moril, sosial, dan ekonomi yang menguntungkan. Merupakan kewajiban orang tua atau para pengasuh, membimbing mereka yang lebih muda dalam membentuk keluarga dengan nasihat bijaksana, yang dapat mereka terima dengan senang hati. Hendaknya para pendidik itu menjaga jangan sampai memaksa mereka, langsung atau tidak langsung untuk mengikat pernikahan atau memilih orang tertentu menjadi jodoh mereka. Demikianlah keluarga, lingkup berbagai generasi bertemu dan saling membantu untuk meraih kebijaksanaan yang lebih penuh, dan memadukan hak pribadi-pribadi dengan tuntutan hidup sosial lainnya, merupakan dasar bagi masyarakat. Oleh karena itu, siapa saja yang mampu memengaruhi persekutuan-persekutuan dan kelompok-kelompok sosial, wajib memberi sumbangan yang efektif untuk mengembangkan perkawinan dan hidup berkeluarga. Hendaknya pemerintah memandang sebagai kewajibannya yang suci untuk mengakui, membela dan menumbuhkan jati diri perkawinan dan keluarga; melindungi tata susila umum; dan mendukung kesejahteraan rumah tangga. Hak orang tua untuk melahirkan keturunan dan mendidiknya dalam pangkuan keluarga juga harus dilindungi. Hendaknya melalui perundang-undangan yang bijaksana serta pelbagai usaha lainnya, mereka yang malang, karena tidak mengalami kehidupan berkeluarga, dilindungi dan diringankan beban mereka dengan bantuan yang mereka perlukan. Hendaknya umat kristiani, sambil menggunakan waktu yang ada dan membeda-bedakan yang kekal dari bentuk-bentuk yang dapat berubah, dengan tekun mengembangkan nilai-nilai perkawinan dan keluarga, baik melalui kesaksian hidup mereka sendiri maupun melalui kerja sama dengan sesama yang berkehendak baik. Dengan demikian mereka mencegah kesukaran-kesukaran, dan mencukupi kebutuhan-kebutuhan keluarga serta menyediakan keuntungan-keuntungan baginya sesuai dengan tuntutan zaman sekarang. Untuk mencapai tujuan itu semangat iman kristiani, suara hati moril manusia; dan kebijaksanaan serta kemahiran mereka yang menekuni ilmu-ilmu suci, akan banyak membantu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar