Selasa, 12 Januari 2021

ISLAMOLOGI BAB 1

 

ISLAMOLOGI

 

  1. PENGERTIAN
    1. Pengertian Islam
    2. Islamologi
    3. Latar belakang studi Islamologi
  2. STUDI ISLAM DAN RUANG LINGKUPNYA
    1. Studi Islam Normatif
    2. Studi Islam Non Normatif
    3. Studi Aspek Budaya dan Masyarakat Islam
  3. NABI MUHAMMAD SAW.
    1. Riwayat Singkat Hidupnya.
    2. Muhammad Adalah Penutup Sekalian Nabi

c.   Sesudah Muhammad Masih Perlukah Kedatangan Nabi Isa Untuk Kedua Kalinya?

d.   Isa bin Maryam Tidak Mengadili Kaum Muslim

  1. TEOLOGI ISLAM
    1. Pengertian Teologi
    2. Aliran Teologi dalam Islam
    3. Rukun Islam
    4. Rukun Iman
    5. Hukum Islam

      5.    FILSAFAT DAN TASAWWUF DALAM ISLAM

a.   Filsafat Dalam Islam

b.   Tasawwuf Dalam Islam

c.    Perbedaan Antara Filsafat Dengan Tasawwuf

  1. DIALOG ANTAR UMAT KRISTEN DENGAN UMAT ISLAM
    1. Dialog Antar Umat Beragama, Essensi Dan Kendala-kendalanya.
    2. Dialog Antar Umat Kristen Dengan Umat Islam, Sesuai Penyataan Konsili Vatikan II
    3. Dimensi Pewartaan Dalam Dialog Antar Agama

7.   PAHAM-PAHAM AGAMA ISLAM DI INDONESIA

a.     Paham yang diikuti oleh banyak sekali umat Islam, dan telah memainkan peranan penting dalam pergaulan internal umat Islam di Indonesia, yaitu:

(1)       Muhammadiyah

(2)       Nahdlatul Ulama (NU)

b.     Paham yang kehadirannya telah memberikan dampak berupa “kegiatan sosial” atau keresahan sosial yang cukup berarti:

1.                                Ahmadiyah

2.                                Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII)

3.                                Darul Arqom

4.                                Inkarus Sunah

5.                                Gerakan Usroh

6.                                Jamaah Tablig

7.                                Al Qiyadah Al Islamiyah

8.                                Aliran Sorga Eden

9.                                Aliran Brayat Agung

10.                             Aliran Humalea (Puangmalea)

 

 

 

ISLAMOLOGI

 

1. PENGERTIAN

 

a.     Pengertian Islam

-   Islam bukan Muhammadanisme

Kalangan Muslim tidak menyenangi penggunaan term Muhammadanisme sebagai sinonim dengan Islam. Kendatipun Islam dikenal sebagai agama yang diterima dan dibawa oleh Muhammad SAW. (Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallama, yang berarti: Semoga Tuhan memberkatinya dan damai atasnya), namun penamaannya bukan hasil ijtihad atau hasil olah pikir pribadi Muhammad sendiri. Melainkan Muhammad menerimanya secara langsung dari Allah SWT (Subhanahu Wa Ta’ala, yang artinya: Mahasuci Ia dan Mahatinggi), sebagaimana ditegaskan di dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam (S. Ali ‘Imran:19)”. Juga:”Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu (S. Al-Maa’idah: 3)”.

Penamaan Islam dengan sebutan Muhammadanisme oleh orang Barat, menurut pandangan yang berkembang di kalangan Muslim, rupanya dipengaruhi oleh kebiasaan menyebutkan Kristianisme, Hinduisme, Budhisme dan lain-lain. Abu A’la Mawdudi, seorang intelektual dan penulis tenar dari Pakistan menulis sbb.: “Kristen mengambil nama panggilan dari nabinya Yesus Kristus. Budhisme dari pendirinya Budha Gautama; Zoroastrianisme dari pendirinya Zoroaster (Zaratustra); dan Judaisme, agama orang Yahudi, dari nama suku bangsa Yudah (Negeri Yudea) tempat kelahiran agama tersebut. Demikian halnya dengan agama-agama lain. Namun Islam sama sekali tidaklah demikian. Agama (Islam) ini bergembira karena keunikannya. Islam tidak dapat diasosiasikan pada seseorang pribadi, atau kelompok manusia manapun. Kata ‘Islam’ tidak berkaitan dengan hubungan seperti itu - karena Islam bukan milik pribadi, rakyat atau negeri tertentu manapun. Islam bukanlah produk budi manusia manapun, bukan pula terbatas pada masyarakat tertentu manapun. Islam adalah salah satu agama yang universal dan tujuannya ialah untuk menciptakan dan memelihara kualitas dan sikap keislaman pada diri manusia.”[1]

 

-   Islam bukan singkatan dari kelima waktu Sholat Wajib.

Kebanyakan orang beranggapan bahwa kata Islam adalah merupakan singkatan dari nama kelima waktu sholat wajib Islam, yakni Isya’, Subuh, Lohor, Ashar, Maghrib. Pandangan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan baik berdasarkan Al-Qur’an maupun Hadits. Apabila kelima waktu sholat wajib itu ditransliterasikan secara benar, maka akan nampak sebagai berikut: ‘Isya’, Subh, Dhuhur, ‘Ashr dan Maghrib[2].

 

-   Islam menurut artian Etimologis

Para linguist telah mencoba mencari arti Islam dengan pendekatan etimologis (lughawi). Pada umumnya orang menerima bahwa kata Islam adalah al-masdar (kata benda asal) dari kata kerja bentuk ke-4 aslama yang berarti tunduk, menyerah, mengikat diri dan menyerahkan diri. Lalu Islam berarti ketundukan, kepatuhan, penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, masuk ke dalam suasana damai sejahtera, dan hubungan serasi, baik antara sesama manusia maupun antara manusia dan Allah.

 

-   Islam menurut artian Terminologis

Setelah kita melihat arti etimologisnya, kini kita mencoba melihat makna terminologisnya. Banyak ahli yang mengajukan arti Islam sebagai Wahyu Ilahi. Syeikh Mahmud Shaltut dari Universitas Al-Azhar (Kairo) merumuskan sebagai berikut: “Islam adalah agama Allah yang diperintahkan kepada Nabi Muhammad SAW., untuk mengajar tentang pokok-pokok serta peraturan-peraturan dan menugaskannya untuk menyampaikan agama tersebut kepada seluruh manusia serta mengajak mereka untuk memeluknya.”[3]

Sementara itu Ahmad Abdullah Al-Madoosi, cendekiawan dari Urdu College, Karachi (Pakistan), menulis bahwa: “Agama (Islam) adalah kaidah hidup yang diturunkan kepada manusia dari masa ke masa sejak manusia menghuni bumi ini dan terwujud dalam bentuknya yang terakhir dan sempurna  dalam Al-Qur’an yang diwahyukan Tuhan kepada nabi-Nya yang terakhir Muhammad SAW, satu kaidah hidup yang memuat tuntunan yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup manusia, baik spiritual maupun material.”[4]

Dari kedua rumusan tersebut dapatlah dimengerti bahwa Islam tidak saja dipahami sebagai suatu sistem keagamaan murni (ad-din) tetapi juga sebagai pengatur dimensi hidup manusia. Islam pun memberikan pelbagai patokan normatif untuk sistem budaya, sosial, ekonomi dan politik (al-dawla). Karena itu sering kita mendengar ungkapan klasik yang mengatakan bahwa Al-Islam din wa dawla (Islam agama dan Negara).

 

-   Islam menurut Al-Qur’an

Di dalam Al-Qur’an kata Al-Islam mengandung beberapa pengertian sebagai berikut:

a)     Islam adalah lawan dari shirk (Al An’aam:14)

Katakanlah: Sesungguhnya aku diperintahkan supaya aku menjadi orang yang pertama kali menyerah diri (kepada Allah), dan janganlah sekali-kali kamu masuk golongan orang-orang mushrik.

(Innani umirtu an akuna awwala man aslama wa la takunanna min al-mushrikina).

b)     Islam adalah lawan dari kufr (Ali ‘Imran: 80)

      Apakah dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah menganut Islam? (Aya’murukum bil-kufri ba’da id antum muslimuna?).

c)     Islam sinonim dengan ikhlas pada Allah (An Nisaa’:125)

Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah. (Wa man ahsanu dinan mimman aslama wajhahu lillahi).

d)     Islam adalah ketundukan, kepatuhan dan penyerahan diri pada Allah.

Az Zumar:54 : Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). (Wa anibu ila rabbikum wa aslimu lahu min qabli an ta’tiyakum al-‘adabu thumma la tunasaruna).

     

b.     Islamologi

Islamologi adalah ilmu tentang agama Islam.

Ilmu:

Ilmu ialah suatu kegiatan studi atau penelitian tentang sesuatu yang disusun dalam suatu sistim  atau metode yang lazimnya tergantung pada fakta yang diamati dan dieksperimentasi serta tergantung pada hukum-hukum alam yang umum, sehingga diperoleh kebenaran-kebenaran baru dalam ranah tertentu.

Islam:

Islam di sini dipahami dengan makna yang berbeda-beda antara dua kelompok. Kelompok pertama yakni kaum beriman Muslim yang memandangnya sebagai norma dan ideal keagamaan. Sedangkan kelompok kedua yakni para cendekiawan, baik Muslim maupun Non Muslim yang lebih memandangnya sebagai suatu obyek studi dan sasaran penelitian.

Dalam kaitan dengan ‘norma’, suatu perbedaan jelas hendaknya dibuat antara Islam normatif dan Islam aktual. Islam normatif adalah Islam ideal atau Islam yang dicita-citakan sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah yang autentik, tetapi yang belum tentu terwujud dalam tingkah laku sosial politik umat Islam sehari-hari. Dalam Islam normatif itu termuat segala ketentuan, norma-norma dan nilai-nilai yang diterima umat Islam sebagai perwujudan wahyu Ilahi.

Sedangkan Islam aktual adalah Islam historis atau Islam sejarah sebagaimana yang telah dipahami dan diterjemahkan ke dalam konteks sejarah oleh umat Islam dalam menjawab aneka tantangan yang kompleks dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan budayanya. Di dalam Islam aktual itulah tercakup aneka gerakan, praktek dan cita-cita yang ada dalam masyarakat Islam di pelbagai zaman dan tempat.

Dari sudut pandangan ilmiah, kita tidak beralasan untuk mengatakan bahwa suatu masyarakat Islam tertentu dapat mewakili Islam normatif ataupun Islam ideal lebih baik dari masyarakat Islam lainnya. Oleh karena itu, studi tentang ajaran (doktrin) Islam yang universal hendaknya senantiasa dibarengi dengan usaha memahami aneka pola penghayatan iman di pelbagai komunitas Muslim lokal yang diharapkan mampu menjelaskan pelbagai cita-cita dan praktek ke-Islaman yang beraneka ragam. Kendati Islam diterima sebagai kebenaran abadi yang bersifat universal dan berlaku di segala tempat dan zaman, namun cita-cita dan prakteknya harus dipelajari sebagaimana ‘adanya’ pada tempat dan zaman yang berbeda-beda. Sealur dengan pandangan ini, studi antropologi Islam sebagaimana dirintis oleh Evans-Pritchard (1949),  Geertz (1960), Bowen (1993), Heffner (1985), Barnes (1995, 1996), dan lain-lain merupakan sumbangan besar dalam studi Islam.[5]

 

c.      Latar belakang studi Islamologi

Pada awal mula timbulnya studi Islam, terdapat prasangka yang berkembang di kalangan Muslim bahwa proselitisme dan apologetika merupakan motivasi utama dari orang-orang Kristen dalam  mempelajari Islam. Proselitisme adalah usaha atau ide yang berikhtiar menarik dan meyakinkan seseorang untuk menganut suatu agama ataupun Partai Politik baru yang berbeda dengan yang telah dianutnya. Sedangkan apologetika adalah suatu seni, ilmu dan praktek berargumentasi dalam pembelaan atau penjelasan suatu ideologi, kepercayaan dan lain-lain. Dewasa ini, nampaknya orang-orang Kristen mempelajari Islam bukan karena kedua hal tersebut. Mereka memiliki motivasi luhur dalam mempelajari Islamologi. Di antara begitu banyak motivasi patut dikemukakan ketiga hal yang berikut:

1) Motivasi Ilmiah

            Dalam tingkat akademis dan filosofis sebagaimana yang dilakukan dalam dunia pendidikan tinggi, para mahasiswa dituntut untuk melakukan refleksi ilmiah tentang berbagai realitas. Salah satu realitas di dunia umumnya dan di Indonesia khususnya yang membutuhkan refleksi adalah pluriformitas agama-agama. Penduduk bangsa Indonesia terdiri dari pelbagai macam agama, termasuk Islam sebagai agama mayoritas. Kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang plural ini dengan potensi dan realitas konflik yang semakin merebak dewasa ini, perlu direfleksi secara ilmiah, baik dari aspek teologis, filosofis maupun antropologi. Refleksi ilmiah ini dapat ditunjang keberhasilannya bila kita dibekali dengan pengetahuan dasar tentang agama Islam yang memadai.

 

2) Motivasi Ideologis

Ideologi dan falsafah Negara sebagaimana tersurat dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 serta pelbagai peraturan perundang-undangan lainnya menghimbau segenap rakyatnya, termasuk masyarakat akademis untuk senantiasa membina dialog antar agama. Kendatipun ada segelintir kelompok minoritas fanatik dan berpikiran sempit berikhtiar menaburkan benih konflik antar Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA), himbauan-himbauan moral untuk kerukunan dan toleransi senantiasa dikumandangkan untuk:

a)     Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

b)     Hormat-menghormati dan bekerja sama antar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup.

c)     Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

d)     Tidak memaksakan satu agama dan kepercayaan kepada orang lain.

Tak dapat dipungkiri bahwa suatu hal yang dapat memupuk dan menunjang terwujudnya keempat butir pemikiran toleransi tersebut adalah faktor pengenalan, pengetahuan atau pemahaman tentang agama lain, khususnya Islam. Kita diajak untuk mengenal persamaan dan perbedaan antar agama-agama serta keunikan dogmatis dan ritual yang dimiliki oleh agama tertentu. Berdasarkan pertimbangan itulah maka studi Islam ini kita lakukan sebagai orang Katolik agar memperoleh pemahaman, pengetahuan serta wawasan dasar tentang agama Islam.

 

3) Sikap Gereja Post Konsili Vatikan II yang semakin dialogal

Konsili Vatikan II telah menandai suatu era baru dalam Gereja yang semakin dialogal dan terbuka terhadap agama-agama dunia, khususnya Islam. Oleh karena itu, kita para anggota Gereja dan khususnya para calon tokoh Gereja hendaknya memiliki sikap baru itu. Kita juga diharapkan untuk menyebar-luaskan sikap baru dan positif itu. Adapun sikap baru Gereja itu timbul dan berkembang dari pelbagai macam faktor, seperti:

           

a) Faktor Internal Gerejani

            Kita memahami bahwa pada masa sebelum Konsili Vatikan II, Gereja bersikap monolog dalam struktur dan mentalitasnya. Namun sikap baru yang diprakarsai oleh Kardinal Nicolas dari Cusa mencapai puncaknya pada Konsili Vatikan II. Gereja sebagai institusi mulai menerima dialog sebagai suatu panggilannya yang fundamental. Gereja tidak lagi mengacu pada adagium (prinsip dan ajaran) lama bahwa Extra Ecclesiam Nulla Salus (Di luar Gereja tidak ada keselamatan). Sebaliknya, Gereja mulai menerima kemungkinan adanya benih-benih keselamatan di luar Gereja.

            Sikap baru itu terungkap jelas dalam pelbagai dokumen Konsili Vatikan II, seperti Nostra Aetate, Ad Gentes dan Lumen Gentium, serta ensiklik-ensiklik Paus, seperti Pacem in Terris, Ecclesiam Suam dan Populorum Progressio. Term dialog yang dipandang sebagai norma dan ideal mulai diperkenalkan kepada Gereja oleh Paus Paulus VI dalam ensikliknya Ecclesiam Suam pada tanggal 6 Agustus 1964. Faktor-faktor internal gerejani yang mendorong timbulnya sikap dialog itu dapat dikategorikan sebagai berikut:

 

(a) Faktor Biblis-Kristologis

Kendatipun makna dari dialog itu masih kabur dan dipahami secara berbeda, tokh bagi orang Kristen term tersebut telah berakar pada tradisi yang sangat tua dan bersumber pada Injil. Pola dialog itu sesungguhnya mencontoh dari pola hidup Yesus sendiri. Yesus Kristus yang diutus ke tengah-tengah domba yang hilang dari rumah Israel senantiasa berusaha mengatasi pelbagai rintangan sosial, politik dan agama. Ia berbicara dengan seorang Samaria (Luk 17:11-19; bdk. Luk 9:51-56). Ia mendengarkan seorang wanita Samaria (Yoh 4:1- 42). Ia mengagumi iman si kepala pasukan Romawi yang hambanya disembuhkan (Mat 8:5 – 13 dan Luk 7: 6 – 9). Menanggapi ungkapan perasaan batin terdalam dari kepala pasukan Romawi yang berkata: “Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku, katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh”, Yesus justru mengagumi imannya yang besar itu. Kata-Nya: “Iman sebesar ini, tak pernah Ku-temukan di kalangan umat Israel”. Dapat dikatakan bahwa seluruh hidup Yesus ditandai oleh elemen-elemen komunikasi iman yang terbuka dan dialogal. Kitab Suci mengemukakan dengan jelas bahwa Yesus sering melewati waktu-Nya dalam kesunyian (diam), dalam aksi (mengajar) dan dalam dialog.[6]

Oleh karena itu, setiap orang Kristen hendaknya meniru teladan Yesus, sebagaimana diamanatkan Petrus, rasul-Nya yang pertama: “Tetapi kuduskanlah Kristus dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap-sedialah setiap waktu untuk memberi pertanggungan-jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang harapan yang kamu miliki. Lakukanlah itu dengan lemah lembut dan hormat.”(1 Petr 3:15 – 16). Dengan demikian mereka akan tahu bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, jika kamu mencintai satu sama lain.

 

 

(b) Contoh Hidup Para Kudus

Di antara sekian banyak contoh yang patut diangkat dari sejarah misi Kristen dalam kaitannya dengan dialog adalah kesaksian hidup St. Fransiskus dari Asisi dan Charles de Foucauld. Fransiskus yang pendiri Ordo Fratum Minorum (OFM) dalam Regola Non Bollata (1221) menulis sebagai berikut:

“Para sesama saudara (Fransiskan), yang oleh inspirasi Ilahi berkeinginan pergi ke tengah orang Muslim…boleh membina kontak spiritual dengan mereka (Muslim) dalam dua jalan. Jalan pertama yakni tidak berargumentasi dan berdebat, tetapi hendaknya mereka lebih menjadi subyek cinta Allah dan memberi kesaksian bahwa mereka adalah orang-orang Kristen. Jalan kedua yakni bila mereka melihat bahwa situasi berkenan kepada Allah, hendaknya mereka mewartakan Sabda Allah.”[7]

Charles de Foucauld (1858-1916) memiliki pengalaman yang unik pula. Beliau menghayati misinya di antara kaum Muslim lewat sikap bersatu dengan Allah dalam sunyi dan kesederhanaan, dalam kesatuan dengan kaum miskin dan dalam persaudaraan yang universal. Sebagai seorang muda keturunan bangsawan dari Perancis, ia hidup berfoya-foya dan malas ke gereja. Tetapi berkat bimbingan Ilahi, perlahan-lahan ia berubah menjadi tentara penjelajah Sahara negeri Maroko dan Aljeria. Selanjutnya, ia menjadi seorang rahib Trapis yang sangat ketat aturan kebiaraannya. Ia kemudian menjadi seorang imam, ahli ilmu bahasa, penulis dan pendorong kemajuan orang Badawi di tengah Sahara Maroko, Aljeria dan Mali. Sikapnya sangat terbuka dan positif terhadap kaum Muslim. Dari tulisan dan kesaksian hidupnya nampak bahwa Foucauld mencintai penginjilan sejati yang terbuka bagi setiap orang. Ia membenci mentalitas dan semangat missioner yang tertutup dan sempit.

 

(c) Konsili Vatikan II dan Paus Paulus VI

Konsili Vatikan II telah menandai suatu era baru dalam hubungan Gereja dengan penganut agama-agama lain. Konsili menyadari bahwa dialog adalah suatu kebutuhan fundamental Gereja yang terpanggil untuk bekerja sama dalam rencana Allah lewat bentuk-bentuk kehadirannya, lewat respek dan cinta  terhadap semua orang. Paus Paulus VI telah berusaha memberi isi dari sikap baru itu secara eksplisit dalam dokumen-dokumen Konsili dan ensiklik-ensikliknya. Patut disebut Ecclesiam Suam, Nostra Aetate dan Ad Gentes.

            Dalam Ensiklik Ecclesiam Suam (1964), Paus Paulus VI berbicara tentang dialog sebagai sikap yang harus dikembangkan Gereja zaman ini. Beliau menekankan pentingnya dialog penuh semangat persaudaraan dengan semua manusia. Keterbukaan fundamental memberi warna baru ensiklik ini, yang berbeda dengan dokumen-dokumen terdahulu yang sering bernada polemik. Dalam ensiklik ini Paus membedakan adanya lingkaran-lingkaran konsentris dari empat kelompok manusia yang dengannya Gereja harus berdialog. Lingkaran pertama dan yang terluas mencakup semua manusia. Lingkaran kedua mencakup semua orang beriman. Lingkaran ketiga mencakup semua orang Kristen. Dan lingkaran keempat khusus mencakup anggota Gereja ke dalam.

            Berkaitan dengan lingkaran kedua, Paus Paulus VI mengajak Gereja untuk membina dialog dengan kaum Theistis (Kaum Beriman) khususnya Islam.

            Gagasan yang sama tentang dialog juga dikemukakan dalam dokumen-dokumen Nostra Aetate No.3, Lumen Gentium No. 16, Ad Gentes No. 10; 11; 12.

            Dalam terang pelbagai dokumen Konsili Vatikan II itu, Paus Paulus VI memahami dialog bukan saja sebagai diskusi, melainkan mencakup pelbagai hubungan antar agama yang positif dan konstruktif dengan individu-individu dan komunitas beriman lain, yang diusahakan demi saling pemahaman dan saling memperkaya. Hal itulah yang beliau tegaskan dalam Konggres Ekaristi Internasional di Bombay, India, tahun 1968.

            Sebagai perwujudan institusional dari hasrat ingin bertemu dan berkontak dengan para penganut tradisi dan keagamaan lain di dunia, maka pada hari raya Pentakosta 1964, Paus Paulus VI membentuk satu Sekretariat di Vatikan, yang disebut “Sekretariat Untuk Orang-orang Non Kristen.” Lembaga ini merupakan satu lembaga yang berbeda dari Kongregasi Suci Untuk Evangelisasi. Sejak tahun 1989, sekretariat ini telah berganti nama menjadi “Sekretariat untuk Dialog Antaragama.”

 


(d) Konsili Vatikan II dan Paus Yohanes Paulus II

            Paus Yohanes Paulus II pun tidak ketinggalan berusaha menjabarkan dan mengamalkan himbauan Konsili Vatikan II dalam praksis pontifikalnya.

Beliaupun telah menjabarkan semangat dialog itu dalam pelbagai dokumen gerejani serta pidato-pidato resmi dalam sejumlah lawatannya ke manca negara. Patut dicatat beberapa peristiwa penting, berikut ini:

 

Ensiklik Redemptor Hominis (4 Maret 1979).

Sejalan dengan himbauan pelbagai dokumen Konsili Vatikan II, Paus Yohanes Paulus II pun melihat nilai-nilai luhur dan positif dari agama-agama bukan Kristen. Dalam Ensiklik Redemptor Hominis beliau menulis sebagai berikut:

“Dengan rasa hormat yang mendalam terhadap nilai-nilai spiritual yang besar dan keutamaan-keutamaan hal-hal spiritual, yang di dalam kehidupan bangsa manusia terungkap di dalam agama dan kemudian di dalam kesusilaan, dengan dampak-dampak langsung atas seluruh kebudayaan. Dalam pelbagai agama itu terdapat banyak perenungan tentang satu kebenaran benih-benih sabda, yang menegaskan bahwa sekalipun jalur yang ditempuh mungkin berbeda-beda, terdapat hanya satu tujuan yang menjadi aspirasi terdalam roh manusia sebagaimana terungkap di dalam usahanya mencari Allah....dan arti kehidupan manusia sepenuhnya (RH No.11).

Deklarasi tentang kebebasan beragama juga mengungkapkan sikap Gereja yang mendalam akan kebebasan manusia. Apabila Kristus dan Rasul-rasul-Nya mewartakan dan memelihara kebebasan manusia itu, sambil menghormati akal budi, kehendak dan hati nuraninya, maka kita pun hendaknya demikian (RH No. 12).

Dengan penjelmaan-Nya, Dia, Putera Allah, dengan cara tertentu telah mempersatukan diri-Nya dengan setiap orang. Dan keprihatinan Gereja yang fundamental adalah kehidupan di dalam dunia yang semakin sesuai dengan martabat luhur manusia dalam semua aspeknya; dengan kata lain semakin manusiawi. Di sini tak dibicarakan manusia yang abstrak, tapi manusia yang konkrit, oleh karena setiap orang termasuk di dalam misteri penebusan dan dengan setiap orang Kristus telah mempersatukan diri-Nya selama-lamanya melalui misteri ini (RH No. 13).

Manusia itu merupakan jalan bagi Gereja – jalan yang dalam arti tertentu merupakan dasar semua jalan yang harus ditempuh Gereja – sebab manusia tanpa perkecualian apapun saja – telah ditebus oleh Kristus, dan sebab manusia dengan cara tertentu bersatu dengan Kristus, sekalipun manusia tidak menyadari hal itu: Kristus yang telah wafat dan dibangkitkan pula bagi kita semua, menyediakan bagi manusia – semua manusia dan setiap orang – terang dan kekuatan supaya dapat melaksanakan panggilannya yang luhur itu (RH.No.14; bdk GS. No.10 c).

 

Ensiklik Redemptoris Missio (7 Desember 1990).

Ensiklik Redemptoris Missio merupakan ajakan bagi Gereja dan para petugasnya untuk memperbaharui keterlibatan misionernya dengan pola penginjilan baru dalam dunia modern. Suatu hal patut dipahami bahwa dalam penginjilan baru itu, Injil sama sekali tidak mengurangi kebebasan manusia, tidak mengurangi rasa hormat yang mesti diberikan kepada setiap kebudayaan dan kepada apa saja yang baik dalam tiap-tiap agama. Berangkat dari kesadaran itu, maka RM 55-57 menandaskan beberapa hal mengenai “dialog dengan saudara dan saudari yang beragama lain” sebagai berikut:

                                    Dialog antar agama merupakan bagian dari misi penginjilan Gereja. Jika dipahami sebagai metode dan sarana-sarana untuk saling memperkaya dan saling mengenal, maka dialog tidak bertentangan dengan tugas perutusan kepada para bangsa (Ad Gentes); sesungguhnya, dialog itu mempunyai suatu kaitan khusus dengan tugas perutusan itu dan merupakan salah satu dari ungkapannya (RM No.55).

                                    Dialog tidak berasal dari kepedulian-kepedulian taktis ataupun dari kepentingan diri sendiri, melainkan suatu kegiatan yang memiliki prinsip-prinsip Penuntunnya, tuntutan-tuntutan dan kelayakannya sendiri. Dialog dituntut oleh suatu rasa hormat yang mendalam akan segala sesuatu yang telah dihasilkan dalam diri manusia oleh Roh yang bertiup ke mana saja dihendaki-Nya (RM No. 56, bdk RH No. 12).

 

Kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Maroko (19 Agustus 1985).

 

            Dalam aneka lawatannya ke manca Negara (a.l. Turki 1979, Zaire, Kongo, Kenya dan Ghana pada 1980, Pakistan 1981 dan Indonesia 1989) Paus Yohanes Paulus II senantiasa mewartakan amanat tentang Allah yang Esa dan Universal, yang diimani dan disembah oleh aneka agama. Kebenaran dasar itu ditegaskannya sebagai berikut:

“Allah itulah yang diakui para pertapa trappist dalam kesunyiannya atau bahkan para pertapa Camaldolese. Kepada-Nya kaum Bedouin di gurun bersujud kalau tiba saatnya untuk berdoa. Dan mungkin demikian pula halnya pemeluk agama Budha, yang dalam kontemplasinya berkonsentrasi untuk menyucikan pikiran dan mempersiapkan jalan ke nirvana.

Dialog dengan dunia dewasa ini merupakan dialog penyelamatan, dan awal-awalnya harus dicari justru dalam perjanjian. Itulah dialog awal yang fundamental antara Allah dengan manusia. Mengapa? Mungkin karena manusia semakin hari semakin dalam menyingkapkan akar-akar dari eksistensinya di dunia. Dan mungkin karena kita sekarang berada di ambang suatu eskatologi baru. Dan eskatologi hanya dapat dipahami sepenuhnya kalau kita kembali ke asal mula, kepada masalah-masalah yang paling mendasar yang secara implisit mengandung kebenaran yang tertinggi.[8]

Searah dengan amanat dasar di atas, dalam pidatonya di hadapan ribuan kaum muda Muslim di Cassablanca (Maroko), Paus Yohanes Paulus II menegaskan sebagai berikut: “Saya yakin bahwa kita harus menerima dengan gembira nilai-nilai keagamaan yang kita miliki secara bersama-sama dan bersyukur kepada Allah. Orang Kristen dan Muslim hendaknya bergandengan tangan membangun dunia yang dalamnya Allah mendapat tempat utama, untuk menolong dan menyelamatkan manusia.”

Dialog Kristen dan Islam dewasa ini lebih mendesak dari pada di masa silam. Dialog itu hendaknya mengalir dari kesetiaan kita kepada Allah. Dan dialog itu mengandaikan bahwa kita tahu bagaimana berhadapan dengan Allah dalam iman; dan memberi kesaksian akan Allah dalam kata dan perbuatan di dalam dunia yang dari hari ke hari semakin sekular dan ateistik.[9]

 

Hari Doa Untuk Perdamaian di Asisi, Italia (27 Oktober 1986).

            Menyadari bahwa perdamaian dunia yang dicita-citakan tak akan terwujud tanpa keterlibatan agama-agama dunia lewat doa yang tiada henti-hentinya dipanjatkan, maka Paus Yohanes Paulus II memprakarsai kegiatan doa di Asisi pada tanggal 27 Oktober 1986. Hari itu adalah hari yang tak terlupakan dalam sejarah hubungan (dialog) antar agama-agama. Sebab pada hari itulah berkumpul para pemimpin dan tokoh-tokoh agama Katolik, Protestan, Islam, Hindu, Budha dan lain-lain. Mereka bukan mengisi hari istimewa itu dengan diskusi-diskusi ilmiah ataupun dengan seminar tentang perdamaian dunia. Tapi mereka mengisinya dengan ketekunan berdoa demi perdamaian.

 

            b) Faktor Eksternal Gerejani

 

(1) Pluriformitas Agama Dunia

      Yang paling utama di antara pelbagai faktor eksternal gerejani adalah pluriformitas agama dunia, yang dari hari ke hari semakin berkembang luas. Pada masa lampau, umumnya agama tertentu itu terbatas ruang ekspansinya dalam wilayah geografis tertentu. Misalnya: Hinduisme terbatas di India; Kristen terbatas di Eropa dan jajahannya, Islam terbatas di Timur Tengah dan Afrika Utara.

      Tetapi dewasa ini situasi telah berubah. Pesatnya laju pembangunan di bidang komunikasi menunjang perkembangan pluriformitas tersebut. Sarana komunikasi dan transportasi di zaman modern telah memungkinkan orang berpindah tempat dengan mudah. Dunia ini terasa bagaikan semakin sempit. Migrasi orang Turki, Maroko, Iran, Pakistan dan Tunisia ke Amerika, Australia dan Eropa Barat dapat terjadi dengan mudah. Di sana kaum Muslim itu telah memanfaatkan secara intensif pelbagai media massa (radio, televisi dan surat kabar) guna melakukan dakwah dan mewartakan kekayaan spiritualnya. Demikian juga Hinduisme telah menyebar luas di kalangan generasi muda di Eropa. Agama Kristenpun sudah jauh lebih awal keluar dari batas-batas geografisnya dan hampir menjangkau seluruh pelosok bumi ini. Oleh karena itu, dewasa ini terdapat kesempatan bagi setiap agama untuk bertemu dan berdialog dengan agama-agama lain.

 

(2) Kesadaran akan “penyelamatan dunia sebagai totalitas”

      Dalam pelbagai agama dunia pernah berkembang kesadaran akan “dunia sebagai totalitas.” Misalnya, seputar abad ke-18 di kalangan Muslim berkembang paham bahwa hanya merekalah yang memiliki “agama rasional”, yang sepenuhnya cocok dengan kodrat manusia yang rasional itu. Tak ada misteri-misteri serta hal-hal supra human dalam Islam. Paham ini pernah berkembang luas di kalangan Muslim India dan Pakistan berkat tokoh-tokoh seperti Shah Wali ‘Ullah dan Sayyid Ahmad Khan. Mereka  berpendapat, bahwa selama agama Islam itu rasional dan cocok dengan kodrat manusia, maka haruslah agama itu disebarkan demi keselamatan segenap umat manusia di dunia sebagai suatu totalitas. Dengan demikian, terjadilah perjumpaan dengan agama-agama lain dalam suasana dialog.

 

(3) Runtuhnya kolonialisme

      Pada satu sisi, runtuhnya kolonialisme ikut membasmi mental superior kolonial yang telah lama bercokol dalam benak para bangsa penjajah. Pada sisi lain, ambruknya kolonialisme itu ikut menumbuhkan kembali penghargaan terhadap agama-agama lain dan kebudayaan-kebudayaan tua setempat. Hal ini bisa disimak dari perubahan sikap negara-negara Eropa yang Kristen terhadap Negara-negara bekas jajahannya seperti Mesir, Libanon dan juga Indonesia.

 

(4) Pandangan baru tentang manusia integral

      Dewasa ini telah muncul juga paham baru yang memandang manusia sebagai suatu kesatuan yang integral antara yang rohani dan jasmani. Keprihatinan sosial mulai mengacu pada kondisi hidup manusia yang konkrit. Dengan demikian penanganan masalah sosial ekonomi dan kemiskinan, pengungsian dan korban bencana alam di pelbagai pelosok dunia, tidak lagi mempertimbangkan paham agama yang dianut. Sebaliknya, kepedulian sosial itu lebih merujuk pada dimensi kemanusiaan yang integral dan universal. Oleh karena itu, kerja sama dan dialog antar agama dibutuhkan demi kegiatan sosial serupa itu. Pelbagai badan internasional, seperti WHO, FAO, dll. merupakan wahana ekspresi dialog yang bersifat lintas agama serta berorientasi pada konsep manusia integral itu.

 

(5) Sikap positif dari segelintir Muslim untuk berdialog

      Terlepas dari adanya kelompok fundamentalis dan ekstrim yang tetap berusaha dengan pelbagai cara untuk meng-Islam-kan dunia serta menegakkan Negara Islam dan penerapan shari’at di mana-mana, tokh masih dijumpai segelintir Muslim ataupun lembaga-lembaga Islam yang terbuka untuk dialog. Patut disebutkan beberapa nama seperti Prof. Dr. Mahmud Ayub (warga Amerika kelahiran Libanon), Prof. Dr. Nurcholish Madjid, K.H. Abdurrahman Wahid, dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat. Pada umumnya sikap dialogal mereka itu didasarkan pada ayat-ayat Al Qur’an, yang menegaskan “bahwa yang bisa memperoleh keselamatan tidak hanya pengikut Nabi Muhammad saja, melainkan juga para ahli Kitab (ahl al-Kitab)” sebagaimana diisyaratkan dalam S. Al Baqarah:62; S. Ali ‘Imran:19; S. Ali ‘Imran:83-84. Komaruddin malahan lebih jauh menimba hikmat toleransi dari dokumen Konsili Vatikan II, ketika ia menulis:

“Dibandingkan Islam, ajaran Gereja baru pada 1965, pada Konsili Vatikan II, faham inklusifisme ini secara eksplisit diakui, bahwa keselamatan dan kasih serta pengampunan Tuhan bisa juga berlaku bagi umat Islam dan pemeluk agama lain yang menyembah Tuhan Yang Esa, yang akan mengadili manusia di hari kebangkitan nanti.”[10]

Beberapa ayat positif dari Al Qur’an yang sering dirujuk oleh para pakar Muslim antara lain sebagai berikut:

S. Al Maa’idah : 48 : Berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan

Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (bdk. Juga dengan S. Al Baqarah: 148)  (Lau sha’a Allah laja’alakum ummatin wahidatan wa lakin liyablukum fi ma atakum fastabiqu al-khayrat. Ila Allahi marji’ukum jami’an. Fayunabi’ukum bima kuntum fihi takhtalifuna).

 

S. Al Mu’min : 4 : Hindarilah diskusi Agama.

“Tidak ada (janganlah) yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang kafir.” (bdk. Juga dengan S. Al Mu’min: 34-35; S. Al Hajj: 8-9 dan S. Al Hajj: 67-69). (Ma yujadilu fi ayat Allah illa al-ladina kafaru).

 

S. Al Ankabut : 46 : Bersikap wajar.

“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu, Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri.” (Wa la tujadilu ahla al-Kitab illa bilati hiya ahsanu illa alladina zalamu minkum wa qulu: Amanna bil-ladi unzila ilayna wa unzila ilaykum wa illahunna wa ilahukum wahidun wa Nahnu muslimuna).

 

S. Al Kaafiruun : 6 : Respek terhadap kebebasan beragama.

“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (bdk S. Al-Baqarah: 256; S. Al Anfaal: 29; S. Al Qashash:56; S. Ibrahim:4). (Lakum dinukum wa liya dini).

 

S. Al Maa’idah : 82-83 : Sikap bersahabat dengan orang Nasrani.

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani’. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (Latajidanna ashadda al-Nasi ‘adawatan lil-ladina Amanu al-ladina qalu: Innana nasara. Dalika bi-anna minhum qissisina wa ruhbanan wa annahum la yas-takbiruna).

S. Al Hujurat 13: Bekerja sama dengan umat beragama lain dalam hal duniawi.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.” (Ya Ayyuha al-Nas Innana khalaqnakum dakarin wa untha wa ja’alnakum shu’uban wa qaba’ila lita’arafu).

S. Al Mumtahanah : 8 : Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kamu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. (La yanhakum Allahu ‘an al-ladina lam yuqatilukum fi al-din wa lam yukhrijukum min diyarikum).

 

 

      2. STUDI ISLAM DAN RUANG LINGKUPNYA

                 

Studi Islam adalah kegiatan mempelajari agama Islam dan juga aspek-aspek kebudayaan serta masyarakatnya. Berdasarkan subyek, obyek studi dan ruang lingkupnya, dapatlah kita bedakan tiga jenis studi Islam, sebagai berikut:

 

a.      Studi Islam Normatif

Studi Islam normatif sering dipandang sebagai studi Islam dalam arti sempit. Jenis studi ini merupakan aktivitas mempelajari Islam yang umumnya dilakukan oleh kaum Muslimin demi mencapai pengetahuan tentang kebenaran-kebenaran religius. Hasil studi dari kelompok Muslimin ini bisa menjadi norma-norma demi kehidupan beragama Islam. Yang tercakup dalam studi ini adalah pelbagai ilmu tentang agama Islam, seperti ilmu tafsir, ilmu Hadits (tradisi lisan dari Nabi Muhammad), fiqh (yurisprudensi Islam) dan ilmu al-Kalam (Teologi). Pada zaman dahulu, studi Islam jenis ini lazim dilakukan di Masjid-masjid dan Madrasah (sekolah agama). Tapi kini bisa dilakukan di pelbagai Universitas dan Institut Agama Islam.

 

b.     Studi Islam Non Normatif

Studi Islam Non Normatif sering disebut studi Islam dalam arti luas. Studi jenis ini pada umumnya dilakukan di pelbagai Universitas. Studi ini mencakup dua aspek yang oleh kaum Muslimin dipandang sebagai “Islam yang sesungguhnya” (Real Islam) dan “Islam yang dihidupi” (Living Islam). Studi jenis ini dapat dilakukan baik oleh Muslim maupun non Muslim dan dikenal dengan nama Studi Islam.

Timbulnya minat ilmiah terhadap studi Islam berawal dari usaha memberikan jawaban kritis atas sejumlah pertanyaan tentang Muhammad dan Islam yang umumnya tersebar di Eropa pada abad pertengahan. Pada masa itu, meskipun filsafat Arab sangat diminati dan dikagumi, namun Islam tetap dipandang sebagai saingan atau bahkan sebagai musuh dan ancaman besar bagi kekristenan di Eropa.

Usaha awal untuk mempelajari dan memahami Islam secara ilmiah dirintis oleh Peter Agung, seorang Abas Ordo Benediktin di Cluny (Perancis) pada 1094-1156. Beliau membentuk dan membiayai sebuah tim penterjemah. Salah satu hasilnya adalah terjemahan Kitab Suci Al Qur’an perdana dalam bahasa Latin oleh Robert Ketton (1143). Lalu pada awal abad ke 16, bahasa Arab, Bahasa Persia dan Turki mulai dipelajari di pelbagai Universitas di Eropa. Hal itu dilakukan karena keyakinan bahwa kompetensi memahami bahasa-bahasa itu adalah prasyarat demi memahami Islam.

Studi Islam lalu memuncak pada riset ilmiah tentang trend (gerakan ataupun tendensi) modern dalam Islam dewasa ini. Studi ini berusaha meneliti dan menggambarkan bagaimana Islam menjelma ke dalam kehidupan publik, pemerintahan, ideologi dan politik nasional, hukum, partai politik dan organisasi keagamaan di pelbagai Negara dengan segala kompleksitasnya seperti bahasa, adat-istiadat dan budaya yang beraneka ragam. Singkatnya, modernisasi dalam Islam dicoba untuk dipahami dan dijelaskan sesuai dengan konteks di mana perubahan itu terjadi. Karena dalam setiap negara, pelbagai kelompok umat termasuk pemerintahnya memiliki artikulasi yang khas tentang Islam meskipun pola tertentu dapat disinyalir bersifat universal bagi semua masyarakat Islam.

 

c.      Studi Aspek Budaya dan Masyarakat Islam

Dalam lingkup terluas, studi Islam jenis ini tidak saja diarahkan pada Islam sebagai agama dalam arti sebenarnya. Tapi lebih dari itu, diperhatikan pula konteksnya yang paling luas, yakni sejarah, literatur, antropologi dan sosiologi. Sebagai pedoman untuk studi Islam dalam arti terluas, dapatlah dimanfaatkan beberapa pertanyaan dasar berikut ini:

1) Kelompok-kelompok macam manakah yang menunjang dan menyebarkan Islam di suatu tempat (masyarakat atau Negara) serta bagaimanakah interpretasi Islam yang mereka miliki? Siapakah pemimpin dari kelompok-kelompok tersebut? Bagaimanakah Islam itu beradaptasi (atau berinkulturasi) dalam konteks sosial, politik dan kebudayaan para penganutnya di pelbagai tempat dan masyarakat tertentu?

2) Manakah paham dasar dan perubahan yang terjadi dalam pelbagai institusi keagamaan seperti Ikhwan al-Muslimin (1926) di Mesir yang didirikan untuk mengembalikan Islam pada basisnya Qur’an dan Sunnah Nabi; Muhammadiyah (1912), Nahdatul Ulama (1926), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI); Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Muamalat (BM) di Indonesia turut mempercepat perubahan dalam masyarakat luas? Manakah konsekuensi dari perubahan-perubahan sosial itu untuk institusi-institusi keagamaan tersebut secara timbal balik?

3)  Fungsi-fungsi sosial umum manakah yang disumbangkan oleh pelbagai ide dan praktek Islam dalam masyarakat tertentu, terpisah dari makna religiusnya? Sebagai contoh: Jilbab dan seragam sekolah, Azan dengan menggunakan loud-speaker, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1981 yang mengharamkan Umat Muslim mengambil bagian dalam Perayaan Natal Bersama, dan lain-lain.

 

 

3.   NABI MUHAMMAD SAW.

 

               Muhammad adalah nama Nabi agama Islam. Nama ini berarti “orang yang dipuji“, atau „orang yang diagungkan“. Sedangkan nama lainnya adalah Ahmad, yang merupakan bentuk superlatif, yang berarti „Orang yang paling terpuji“. Kedua nama tersebut berasal dari kata hamada, („memuji“, „mengagungkan“). Secara tradisional, setiap nama Nabi Muhammad, baik dengan nama asli maupun dengan nama gelar, diikuti dengan menyebutkan ungkapan „Shalallahu `Alayhi Wa sallam“ (Semoga Allah memberkahinya dan menganugerahkan kedamaian kepadanya), atau dengan ungkapan „`Alayhis shalatu was salam“ (Semoga berkah dan kedamaian dilimpahkan kepadanya). Praktek yang demikian ini juga diungkapkan berkaitan dengan penyebutan nama Isa ibn Maryam (Yesus), dan juga pada nama nabi-nabi yang lainnya, dan juga terhadap Malaikat Jibril. Ungkapan `Alayhis salam (semoga kedamaian terlimpahkan kepadanya) juga dipandang telah mencukupi dalam penyebutan seperti di atas.

               Menurut pandangan Islam, Bibel juga memberikan kepadanya sebuah nama, yakni Shiloh. Di dalam Kej 49:10, dikatakan: „sampai dia datang yang berhak atasnya (Shiloh), maka kepadanya akan takluk bangsa-bangsa.“ Kalangan Islam menafsirkan, bahwa karena Isa (Yesus) adalah bagian dari Daud  dan juga Yehuda, maka nabi yang datang sesudah mereka, tiada lain adalah Muhammad.

 

                  a. Riwayat Singkat hidupnya.

Dia lahir pada dini hari Senin, 12 Rabiul Awal Tahun Gajah, bertepatan dengan tanggal 20 April 571. Muhammad hanya 3 hari dalam haribaan bundanya Siti Aminah. Kemudian ia diserahkan kepada beberapa ibu susuan, antara lain Halimatus Sa’diyah binti Abi Zuaid dari kabilah[11] Hawazin. Ketika usianya baru 6 tahun, ibunya, Aminah, meninggal dunia di desa Abwa’, sekembalinya dari ziarah ke makam suaminya, Abdullah. Lalu beliau diasuh oleh kakeknya Abdul Muthalib, yang meninggal 2 tahun kemudian. Ia lalu diasuh oleh pamannya, Abu Talib. Ketika usianya menginjak 25 tahun, ia kawin dengan seorang janda kaya raya berusia 40 tahun, bernama Khadijah.

Selain menikahi Khadijah, berturut-turut Muhammad juga menikahi:

(1)   Sawdah, wanita 35 tahun, janda seorang sahabat bernama Sakran.

(2)   A`isyah, wanita umur 6 tahun, anak perempuan Abu Bakar

(3)   Hafshah, wanita umur 18 tahun, anak perempuan Umar ibn Khattahab. Hafshah adalah janda Khunnayas.

(4)   Zaynab binti Khuzaymah, janda Ubaydah.

(5)   Umm Salamah, janda Abu Salamah.

(6)   Zaynab (40 tahun) binti Jahsh.

(7)   Zuwayriyyah binti Haris.

(8)   Ummu Habibah, anak perempuan Abu Sufyan, pimpinan kafir yang memeluk Islam.

(9)   Safiyyah (17 tahun), janda Khinanah, seorang pemimpin Yahudi di Khayber.

Disamping isteri-isteri yang sudah disebut di depan, setidaknya Muhammad memiliki dua harem (selir): Rayhanah, yang didapat sewaktu penaklukan Yahudi Bani Quraisyah, ia adalah seorang keturunan Yahudi. Yang seorang lagi bernama Maryah, seorang hamba yang diterima nabi sebagai hadiah dari Muqawqis, seorang gubernur Byzantium yang berkuasa di Copti Mesir.

Kebanyakan wanita yang dinikahi Muhammad adalah para janda yang orang lain tidak menaruh perhatian kepadanya. Sebagian perkawinannya yang lainnya bersifat politis untuk membentuk persekutuan Islam. Pada zaman itu poligami merupakan praktek yang biasa. Islam melegalisir praktek tersebut dengan menetapkan persyaratan bahwa masing-masing isteri haruslah diperlakukan secara adil, secara sama.[12]

 

 Pada usia 40 tahun, yakni sekitar tahun 610, Muhammad menerima wahyu yang pertama, ketika sedang mengasingkan diri tidak jauh dari Makkah pada bulan suci Ramadhan. Di dalam sebuah gua yang bernama Hira pada sebuah puncak gunung, Malaikat Jibril datang kepadanya dengan menyampaikan permulaan risalah Tuhan. Setelah itu wahyu Al-Qur`an turun terus-menerus secara sporadis, menanggapi berbagai peristiwa yang terjadi pada masa awal Islam, dan memberikan petunjuk dan merespon sikap Nabi Muhammad dalam kondisi yang mendesak.

Muhammad diutus oleh Allah sebagai Rasul penutup, Nabi terakhir. Ia wafat pada 8 Juni 632, dan sesuai dengan pesannya, ia dimakamkan di dalam rumahnya.

 

b.   Muhammad Adalah Penutup Sekalian Nabi.

      S. Al Ahzab:40, mengatakan bahwa Muhammad adalah Nabi terakhir atau penutup sekalian Nabi (khatamun nabiyyin). Kaum Muslim mengakui bahwa ajaran tentang Muhammad sebagai penutup sekalian Nabi berlandaskan firman Allah yang terang benderang. Jika sebelum dia, Tuhan telah mengutus nabi-nabi untuk masing-masing bangsa, maka akhirnya Muhammad, sebagai Nabi Penutup diutus bagi sekalian umat manusia. Hal ini didasarkan pada firman Tuhan dalam Al Qur’an, misalnya:

·       S. Saba’ : 28: ‘Dan Kami utus engkau untuk seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan ancaman, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.’

·       S. Al Anbiyaa’:107: ‘Dan Kami utus engkau sebagai rahmat bagi seluruh alam (makhluk).’

      Kaum Muslim juga mendasarkan ajaran tentang Muhammad sebagai khatamun Nabiyyin pada Hadits. Misalnya sebuah Hadits sahih Bukhari meriwayatkan bahwa Muhammad sendiri menjelaskan bahwa dirinya adalah khatamun nabiyyin. Katanya: “Perumpamaanku dan perumpamaan pada nabi sebelumku adalah seperti perumpamaan orang yang membangun rumah, dan ia membuat itu amat baik dan amat indah, kecuali sebuah batu yang ada di sudut; lalu orang-orang mengelilingi rumah itu dan mengagumi bangunan itu, dan mereka berkata: Mengapa batu sudut ini tak dipasang? Nabi Suci berkata: Akulah batu sudut itu, dan akulah penutup sekalian Nabi.”

      Hadits lain yang menerangkan Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir adalah sebagai berikut: “Bangsa Israel dipimpin oleh para Nabi; mana kala seorang Nabi meninggal, datanglah Nabi lain menggantikannya; tetapi sesudahku tak akan ada Nabi lagi, kecuali hanya para khalifah.”[13] (H.R. Bukhari).

      Hadits yang serupa dengan hadits tersebut ada banyak. Tidak heran jika ummat Muslim memegang teguh ajaran bahwa Muhammad adalah Nabi terakhir. Sesudah dia, tak akan ada Nabi lagi, entah Nabi lama ataupun Nabi baru. Tak diperlukan lagi seorang Nabi sesudah Muhammad.

      Keyakinan ini berbeda dengan ajaran Jemaat Ahmadiyah. Menurut Jemaat Ahmadiyah, khattamun  nabiyyin bukan berarti nabi terakhir, sebab, menurut aliran ini khattam berarti cincin atau stempel. Jadi menurutnya, khattamun nabiyyin berarti cincin stempel para nabi. Maka menurut aliran ini, setelah Nabi Muhammad masih selalu ada nabi-nabi lain, meski tidak mempunyai syari’at.[14] Maka Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah juga seorang nabi, tetapi bukan pembawa syari’at baru.

 

 

 

c.   Sesudah Muhammad Masih Perlukah Kedatangan Nabi Isa Untuk Kedua Kalinya?

Sebagai akibat dari ajaran Al-Qur’an dan Hadits-hadits tersebut, maka ummat Islam tidak dapat menerima ajaran mengenai kedatangan Isa Al Masih untuk kedua kalinya kelak pada akhir zaman. Memang ada sebuah hadits, yang meramalkan bahwa Al-Masih akan turun di kalangan ummat Islam. Hadits itu berbunyi sebagai berikut: “Bagaimana perasaan kamu jika Ibnu Maryam turun di kalangan kamu, dan ia adalah seorang imam dari golongan kamu (imamukum minkum)”. (H.R.Bukhari). Oleh para ahli Islam dijelaskan, bahwa yang dimaksud oleh hadits tersebut tentu bukan Isa bin Maryam yang berasal dari bangsa Israel itu. Ramalan itu jelas-jelas mengatakan bahwa dia adalah “seseorang imam dari golongan kamu.” Jelas, bahwa dia bukan Isa anak Maria.[15] Maka orang-orang yang percaya akan kedatangan nabi Isa pada akhir zaman, dianggap menjatuhkan ajaran tentang Muhammad adalah khatamun nabiyyin. Bahkan dianggap merongrong derajad nabi dunia dan nabi penutup.

 

                        d.   Isa bin Maryam Tidak Mengadili Kaum Muslim.

S. An Nisaa’:159 mengatakan: “Dan tidak ada seorang ahli kitab melainkan akan beriman dengannya sebelum matinya, dan pada hari kiamat akan menjadi saksi atas mereka.” Ayat ini tidak mengatakan bahwa Isa bin Maryam pada hari kiamat akan datang mengadili semua orang, termasuk ummat Muslim. Dia hanya akan menjadi saksi atas ahli kitab yang percaya kepada-Nya sebelum mati-Nya. Maka kaum Muslim tidak memerlukan munculnya kembali Nabi Isa itu, sekalipun pada akhir zaman. Cukuplah bagi kaum Muslim mengikuti ajaran Allah yang disampaikan lewat Muhammad.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4. TEOLOGI ISLAM

 

a.  Pengertian Teologi dan awal mulanya

Dalam Islam, teologi dikenal dengan nama ‘ilm al-kalam atau ‘ilm usul al-din (ilmu tentang dasar-dasar agama). ‘Ilm al-kalam atau ‘ilm usul al-din lebih mengutamakan pemahaman masalah-masalah ketuhanan lewat pendekatan yang rasional dan logis. Oleh karena itu teologi merupakan bagian rasional dari tawhid yang bersama dengan syari’at[16] membentuk orientasi keagamaan yang lebih bersifat lahiriah, rasional dan logis.

‘Ilm al-kalam sesungguhnya berawal dari Al-Qur’an yang memuat pelbagai masalah dan menuntut manusia menggumulinya dengan menggunakan akal budi. Al-Qur’an yang pada awalnya belum sistematis, diusahakan untuk disatukan dan disusun menjadi satu kumpulan yang sistematis. Itulah sebenarnya awal kegiatan berteologi. Pelbagai latar belakang historis dan faktor-faktor politis turut mengembangkan, mempengaruhi dan bahkan membatasi perumusan pelbagai konsep teologis.

 

b.     Aliran Teologi dalam Islam

 

Terdapat empat aliran teologi dalam Islam:

1)         Aliran Teologi Qadariyah

Qadariyah berasal dari kata Qadar, yang berarti kekuasaan (manusia), auto determinasi. Aliran ini didirikan oleh Ma’bad ibn Khalid al-Juhani. Ia lahir di Basra dan wafat di Damaskus karena dihukum mati oleh penguasa pada masa itu, tahun 80H/690M. Aliran ini mengajarkan dan percaya  akan kemerdekaan kehendak dan kebebasan bertindak yang dililiki oleh manusia. Aliran ini mengajarkan bahwa manusia itu bebas, memiliki kekuasaan untuk menentukan perbuatan-perbuatannya sendiri. Namun Tuhan tetap memiliki kuasa dan mengambil tempat dalam diri manusia. Nampaknya kekuasaan Allah dalam diri manusia itu dibatasi oleh kehendak bebas manusia.

Aliran ini berlanjut dalam bentuk baru yang disebut Mu’tazilah. Kelompok Khawarij[17] berpihak pada pendapat aliran ini sebab mereka berpendapat bahwa kekhalifatan Umayah bertanggung jawab atas dosa-dosa mereka sendiri; dan karena itu mereka patut dilawan.

 

2)         Aliran Teologi Jabbariyah

Jabbariyah berasal dari kata jabr yang berarti ketidak-leluasaan, determinasi, predestinasi. Jabbariyah adalah suatu aliran dalam ilmu al-Kalam (Tawhid) yang dirintis dan disebarluaskan oleh Jahm bin Safwan (wafat 128H/745M di Marw), dan Tsalut Ibn A’sham. Aliran ini mengajarkan bahwa segala sesuatu yang mawjud (hadir, ada) dalam alam semesta (termasuk manusia) dengan segala tingkah lakunya adalah sedari kodrat merupakan iradat (kehendak) Allah semata-mata. Hanya Allah-lah yang mencipta dan menentukan segala gerak yang ada pada makhluk-Nya; manusia tak berkuasa sedikitpun atas perbuatan-perbuatannya (predestinasi, nasib).

Manusia adalah makhluk lemah yang bertindak dan bekerja sebagai alat Allah. Manusia tak bisa dimintai tanggung jawabnya atas segala tindakannya, karena ia hanya sebagai pelakon kehendak Allah. Inilah yang disebut taqdir, yakni ketentuan Allah atas segala sesuatu yang diciptakan atau diatur-Nya; Tuhan menciptakan segala sesuatu dan kepada masing-masing diberikan taqdir-Nya, di dalam dasar-dasar kodrat-Nya. Sedangkan segala sesuatu yang telah terjadi atas diri seseorang (telah dilakukan, telah berlalu dan terjadi), disebut qadha.

Pendapat semacam itu rupanya dimanfaatkan oleh kekhalifatan Umayah demi memantapkan kekuasaan mereka, sehingga rezim yang berkuasa tak boleh dilawan kendatipun berdosa, karena dikehendaki oleh Allah sendiri.

 

3)         Aliran Teologi Mu’tazilah

(a)   Konteksnya

Dimulai dari Wasil bin Ata dan Amr bin Ubaid 105-131H/732-748M., di Basra. Sekolah teologi inilah yang pertama-tama menciptakan dogma-dogma Islam yang bersifat spekulatif. Namanya berasal dari I’tizal (pemisahan). Oleh sebab itu Mu’tazila berarti orang-orang yang menganut ajaran I’tizal.

Sekolah teologi tersebut tumbuh dan berkembang pada masa peralihan kekuasaan dari khalifah Umayah kepada khalifah Abbasiah; zaman kekaisaran Islam menikmati hasil-hasil penaklukan awal, baik materiil maupun intelektual. Pada masa ini banyak mawali (klien-klien non Arab) menganut Islam (masa pertobatan).

(b)   Kelima Tesis Mu’tazilah

Tawhid. Tawhid adalah kepercayaan yang menegaskan bahwa Allah itu Esa, tiada sekutu bagi-Nya, tiada beranak dan tidak pula diperanakkan; pencipta alam semesta beserta segala isinya, yang mengatur dan memelihara serta membinasakan (S. Al Ikhlash: 1-4). Lawan dari tawhid adalah shirk (dosa mempersekutukan Allah Yang Esa dengan dewa-dewi lainnya). Jadi tawhid mengeksklusifkan Allah dari dewa-dewi lainnya. Selain itu diakui bahwa Allah tidak bertumbuh, tak berbentuk, tak terbatas oleh ruang dan waktu; Tiada yang abadi kecuali Dia, tiada yang menyerupai-Nya.

Kepercayaan ini bersumber pada S. Asy Syuura:11: ‘Laisa kamithlihi shayi’un’ (tiada sesuatu semisal dengan-Nya). Karena itu Mu’tazilah memurnikan konsep ilahi dari segala macam bentuk antropomorfisme, dari setiap bentuk perbandingan. Mereka mempertahankan transendensi Allah yang mutlak dengan mengingkari (ta’til) akan setiap perbandingan (tashbih) sebagai bahasa kiasan (alegori). Mu’tazilah menolak bahwa Allah itu memiliki sifat karena mereka melihat bahwa tak ada perbedaan jelas antara essensi (zat) dan atribut-atribut (sifat) Allah.

Sifat-sifat Allah seperti iradat, ilmu, kudrat, hayat dan kalam, sami (pendengar) dan basar (pelihat) yaitu ketujuh sifat ma’ani (yang dipandang Sunni sebagai berbeda dari Allah) semuanya diingkari.

Ajaran Sunni tentang ilmu sifat, yang menetapkan keadaan ta’addud atau pluralitas dalam Allah dinilai mereka sebagai shirk (politheisme). Tak ada sesuatu yang abadi bersama Allah. Karena itu Al Qur’an diyakini mereka sebagai sesuatu yang diciptakan.

Al-Adl (Adil). Tesis ini mengajarkan bahwa Allah itu adil, tak menghendaki kejahatan. Kejahatan itu berasal dari manusia, bukan dari Allah. Allah menciptakan kapasitas dan kekuasaan dalam manusia untuk bertindak. Manusia adalah pencipta dari tindakan-tindakannya sendiri. Manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, serta menentukan pilihannya. Ia sendiri yang bertanggung jawab.

Kedua tesis ini (Al-Tawhid dan Al-Adl) merupakan tesis-tesis terpenting dalam ajaran Mu’tazilah. Maka kelompok ini juga dikenal dengan nama kaum keesaan dan keadilan.

Al-wa’d wa al-wa’id (Janji dan ancaman). Tesis ini mengajarkan bahwa manusia diperingatkan akan tanggung jawabnya dengan janji akan surga dan ancaman-ancaman siksa di neraka. Ganjaran di surga tak dapat dicapainya hanya dengan iman saja; tapi berkat iman yang disertai karya amal atau ihsan. Oleh karena itu bagi penganut Mu’tazilah (sama seperti kaum Khawarij), Islam itu identik dengan ihsan (perbuatan baik, amal).

Al-manzila bayna al-manzilatayn (rumah di antara dua rumah). Tesis ini mengajarkan bahwa para pendosa Muslim dan Muslimat itu tidak bisa diterima baik sebagai orang beriman maupun orang tak beriman. Mereka dipandang sebagai insan yang berada dalam status intermedier. Selama di dunia mereka terbilang sebagai anggota ummat (komunitas Islam), tetapi bila ia meninggal tanpa bertobat, maka ia akan disiksa secara abadi.

Al-amr b’il ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (perintah untuk berbuat baik dan melarang melakukan kejahatan). Tesis ini mengajarkan bahwa manusia itu dihadapkan pada suatu pilihan yang serius. Untuk itu dibutuhkan bantuan sesama untuk melakukan pilihan tersebut. Prinsip ini secara implisit menganjurkan koreksi fraternal, saling menolong. Tetapi hal itu telah ditafsir sedemikian ekstrim, hingga mencakup kewajiban Negara untuk menentukan agama yang benar. Pemerintahan Republik Islam Iran memiliki pola penafsiran yang ekstrim tersebut.

 

(c)   Dukungan resmi terhadap Ajaran Mu’tazilah dan kejatuhannya.

Pada tahun 827 Khalif al-Ma’mun (dari dinasti Abbasiyah) memaklumkan bahwa ajaran Mu’tazilah menjadi iman pribadinya.

Tahun 833 Al-Ma’mun memaklumkan bahwa Mu’tazilah adalah agama yang  benar; oleh karena itu para pejabat pemerintahan Islam seperti pada qadi (para hakim Islam) harus menganut Mu’tazilah itu. Institusi Mihna dibentuk. Mihna adalah suatu institusi yang berwenang menguji pendapat umat apakah menganut paham/ajaran seperti yang dianut oleh sang Khalif (Al-Ma’mun yang berpendapat bahwa Al-Qur’an itu diciptakan).

Para pengganti Al-Ma’mun yakni Al-Mu’tazim dan Al-Wathiq, melanjutkan kebijaksaaan pendahulu mereka dengan praktek yang menganut kekerasan hukum itu.

Tahun 848 Al-Mutawakkil merubah kebijaksanaan itu. Mihna dihapuskan:

-        Kemenangan berada di pihak masyarakat umum dan golongan tradisional yang telah lama menentang di bawah pimpinan Ahmad bin Hambal.

-        Kelompok Mu’tazilah bertahan dalam kelompok-kelompok kecil, tetapi terus melemah.

 

4)         Aliran Teologi Ash’ariah

(a)        Tokohnya

Aliran teologi Ash’ariah didirikan oleh seorang kelahiran Basra, bernama Abu Hasan al-Ash’ari (260H/873M-324H/935), dan merupakan reaksi terhadap ajaran teologi Mu’tazilah. Sampai usia 40 tahun Al Ash’ari masih merupakan penganut teologi Mu’tazilah, karena ia pernah berguru kepada seorang Mu’tazilah bernama Abu Ali al Jubba’i (w. 303H). Tetapi dalam proses kematangan berpikirnya, ia mengalami perubahan paham akidahnya yang telah dianutnya berpuluh-puluh tahun dan berbalik menyerang Mu’tazilah. Ada yang berpendapat bahwa perubahan pahamnya ini didorong oleh mimpinya; mungkin juga karena ketidak-puasannya terhadap ketidak-mampuan guru Mu’tazilah dalam menjawabi pertanyaan-pertanyaannya mengenai kehendak bebas. Sedangkan yang lain berpendapat bahwa konversi itu terjadi karena ada pergolakan kerohanian dalam diri Al-Ash’ari itu sendiri.

Di bidang teologi ia berguru kepada seorang Mu’tazilah bernama al-Jubba’i; sedangkan di bidang fiqh, ia berguru kepada Abu Ishaq al Marqasi yang berasal dari mazhab Shafi’i di Irak. Dari kedua sisi kehidupan (intelektualnya) itu, Ash’ari melihat adanya kubu yang senantiasa memecahkan umat: yakni para filsuf (Mu’tazilah) dengan kekuatan metode rasionalnya di satu pihak, dan para ulama fiqh dan Hadits dengan kekuatan metode tekstualnya di pihak lain. Al-Ash’ari menyadari bahwa kedua kekuatan itu ada dalam dirinya sendiri. Maka timbullah keinginannya untuk menyatukan kedua kekuatan itu dalam satu aliran, sehingga para ulama dan para filsuf itu dapat diintegrasikan. Itulah metode jalan tengah yang dirintisnya.

 

(b)       Metode Jalan Tengah

Metode yang digunakan oleh Al-Ash’ari memang unik, berbeda dengan metode rasional (Mu’tazilah) dan metode tekstual (Hambal, tokoh salafiah). Salafiah adalah reaksi keras terhadap metode yang dipergunakan Mu’tazilah. Reaksi ini datang dari orang-orang yang menamakan diri mereka dengan “salafiyyun”, yaitu pengikut aliran salaf dalam akidah, yang berpegang teguh pada hadits, mengutamakan naqli (wahyu) dari pada akal.

Dapat dikatakan bahwa metode Ash’ariah merupakan sintese dari kedua metode tersebut, yang bersifat moderat dan merupakan jalan tengah.

(1)    Al-Ash’ari mengambil unsur-unsur baik (positif) dari kedua metode itu; ia menggunakan aql (rasio) dan naql (teks) secara seimbang. Ia menggunakan akal secara maksimal, tetapi tidak sebebas Mu’tazilah. Ia berpegang pada naql dengan kuat, tetapi tidak seketat Salafiah yang menolak akal untuk menjamahnya.

(2)    Peran akal diterimanya untuk mempertahankan ajaran-ajaran Islam. Oleh karena itu teologi (‘Ilm al-Kalam) dipertahankan dan didukung, karena di dalamnya akal digunakan untuk mendiskusikan masalah yang muncul dari Qur’an dan Hadits.

(3)    Al-Qur’an diterima sebagai Sabda Allah. Juga menerima Sunnah sebagai yang merefleksikan anugerah hikmah atau kebijaksanaan kepada Muhammad. Ia menentang kelompok Mu’tazilah yang nampaknya kurang menghargai pentingnya Sabda Allah.

 

(c)        Pokok Ajaran Teologi Ash’ariah

Pemikiran skolastik Ash’ariah, yang menekankan keseimbangan antara dogma agama dan pertimbangan akal, tercermin dalam pokok-pokok pikiran berikut:

 

(1)       Ajaran Tentang Allah

Tentang Allah para teolog Ash’ariah mengajarkan bahwa:

·           Allah dapat berbuat apa saja sekehendak-Nya. Manusia hanya berharap semoga beban yang diberikan kepadanya tidak terlalu berat melampaui batas kemampuannya.

·           Allah dapat berbuat sekehendak-Nya, biarpun tidak dapat diterima akal. Kodrat (kuasa) dan iradat (kehendak) Allah bebas dari segala syarat dan pembatasan (limitasi).

·           Allah itu bersifat Maha Segala, bebas dari pertimbangan-pertimbangan dan pembatasan-pembatasan.

·           Allah dapat memberikan karunia dan berkat-Nya kepada siapa yang hendak diberi-Nya serta memberi hukuman kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.

·           Atribut-atribut Ilahi (sifat-sifat Allah) adalah sesuatu yang riil. Dan atribut-atribut itu adalah atribut dari essensi Ilahi (Zat Allah), yang merupakan Allah itu sendiri. Karenanya atribut-atribut Ilahi itu bersifat kekal dan abadi. Zat Allah itu tunggal, sedangkan atribut-atribut-Nya banyak. Zat dan atribut-atribut itu tidaklah terpadu menjadi satu. Atribut-atribut anthropomorfis itu juga riil, dan tidak boleh diinterpretasikan secara metaforis; hanya bahwa atribut-atribut tersebut berbeda dengan atribut yang sama yang dimiliki manusia. Al-Qur’an adalah Sabda Allah yang abadi.

 

(2)       Kehendak Bebas

Kekuasaan Allah mengungguli segala kuasa. Manusia tidak memiliki kemerdekaan berkehendak dan kebebasan berbuat. Allah mengatur daya dan usaha manusia. Hanya perlu dibedakan antara kehendak Allah dan perintah Allah. Kehendak Allah itu meliputi segala sesuatu yang ada, termasuk kebaikan dan kejahatan. Sedangkan perintah Allah hanya meliputi kebaikan.

Kendati pun ada determinisme keras dan bahwa manusia tidak memiliki suatu kapasitas kodrati untuk menentukan tindakan-tindakannya namun Allah menciptakan perbuatan manusia dalam arti Allah menciptakan dalam manusia pada setiap saat kapasitas untuk mengakui tindakannya (kasb atau tindakan perolehan atau kekuasaan manusia untuk mengakui perbuatannya sebagai perbuatannya sendiri). Kasb itulah merupakan basis untuk retribusi atau ganjaran serta siksa bagi setiap perbuatan manusia. Manusia dapat diganjar atau disiksa karena perbuatan yang baik atau jahat itu merupakan miliknya sendiri.

 

(3)       Iman

Pada dasarnya iman merupakan suatu persetujuan batin (interior) untuk percaya, dan diungkapkan lewat pengakuan lisan (shahadat) serta disempurnakan dengan karya-karya amal (ihsan). Perbuatan-perbuatan itu bukan merupakan sesuatu yang essensial dari iman. Karenanya pendosa tetaplah seorang Muslim; hanya setelah kematiannya ia mungkin disiksa, tapi bisa juga diselamatkan.

 

(4)       Wahyu (Agama)

Para teolog Ash’ariah mengajarkan bahwa wahyu (agama) yang menentukan baik dan buruk tindakan serta hidup kaum beriman.

 

(d)        Pengaruh Ash’ari

            Ash’ari tidak membawa doktrin-doktrin baru, tetapi ia dipandang sebagai pencipta atau pemula dari suatu Sekolah Teologi yang ortodoks, yang diajarkan di madrasah-madrasah (Sekolah Agama Islam) pada masa Nizam al-Mulk. Nizam al-Mulk memerintah pada tahun 1090 sebagai Perdana Menteri Bani Seljuk di Bagdad dan pendiri Universitas Nizamiah. Tokoh Ash’ari sebagai teolog besar diakui oleh banyak pihak. Sehingga menurut terminologi ilm al-kalam, aliran Sunni (ahl al-Sunnah wal-jama’ah) diidentikkan dengan aliran Ash’ariah.

 

Kecuali aliran-aliran tersebut di atas, masih terdapat aliran-aliran Islam, yang dapat dikategorikan ke dalam beberapa kelompok:

 

·       Menurut latar belakang politik, dapat dibedakan aliran-aliran:

(1)       Syiah, yaitu partisan partai pendukung Ali Bin Abu Thalib.

(2)       Sunnah (Suni), yaitu kelompok politik yang berseberangan dengan kepentingan politik Syiah. Mereka menyebut diri Ahli Sunah, yang berarti mengikuti langkah Nabi Muhammad.

(3)       Khawarij (kharaja = keluar), yaitu kelompok yang menarik diri dari dukungannya terhadap Ali.

·       Menurut latar belakang akidah, dapat dibedakan aliran-aliran:

(1)       Khawarij: (kharaja = keluar), yaitu kelompok yang menarik diri dari dukungannya terhadap Ali.

(2)          Murjiah (arja’a = menunda), yaitu kelompok yang netral terhadap Syiah maupun Khawarij, yang menyerahkan penyelesaian akhir pada kekuasaan Allah, kelak di akhir zaman.

·       Menurut latar belakang fikih, dapat dibedakan aliran-aliran:

(1)       Mazhab Maliki, yang didirikan oleh Iman Malik.

(2)       Mazhab Hanafi, yang didirikan oleh Abu Hanifah Nu’man bin Sabit.

(3)       Mazhab Syafi’i, yang didirikan oleh Imam Syafi’i.

(4)       Mazhab Hambali, yang didirikan oleh Ahmad bin Muhammad bin Hambal.

 

c.      Rukun Islam

 

Rukun (Jmk Arkan) berarti dasar-dasar utama, bagian-bagian pokok yang mutlak harus dihayati dan diajarkan. Rukun Islam adalah kewajiban-kewajiban pokok seorang Muslim. Ada 5 (lima) rukun Islam, yaitu: Shahadat, Sholat, Sawm (Puasa), Zakat dan Haji.

 

 

 

(a)   Shahadat

Shahadat adalah suatu tanda eksternal bagi keanggotaan seseorang dalam ummat atau komunitas Islam dan sekaligus mengungkapkan kemauannya untuk memenuhi kehendak Allah. Bila Shahadat itu diucapkan di depan publik, maka seseorang diterima ke dalam ummat secara sah, lalu ditambah dengan khitanan/sunat bagi lelaki dan khafd bagi wanita.

Rumusannya: “Ashhadu an la Ilaha illa Allah wa ashhadu anna Muhammadan rasul Allah.” Artinya: “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya.”

Shahadat itu mengandung ketiga amanat berikut:

·       Pengakuan bahwa Allah itu Esa (Tawhid) dan menolak shirk.

·       Pengakuan bahwa  Muhammad adalah Rasul Allah.

·       Bentuk negatifnya (La Ilaha illa Allah) dipakai untuk menantang orang yang baru bertobat dan menjadi Muslim agar meninggalkan penyembahan berhala, fetisisme, dll.

Shahadat biasanya diucapkan pada peristiwa-peristiwa kelahiran, nikah, ajal (sakrat al-maut), sholat dan waktu pertobatan menjadi Muslim.

 

Umumnya yang dipandang sebagai sumber bagi rumusan kalimat Shahadat adalah S. Al-Baqarah:163; S. Al-A’raaf:158 dan Hadits.

S. Al-Baqarah:163 : ‘Wa Ilahukum ilahum wahidun; La Ilaha illa Huwa al-rahmanu al-rahimu’ (Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha penyayang).

S. Al-A’raaf:158 : ‘La ilaha illa Huwa yuhyi wa yumitu fa-Amintu bi Llahi wa rasulihi al-Nabi al-Ummi al-ladi yu’minu bi Llahi wa kalimatihi wa Attabi’uhu la’allakum tahtaduna’ (….tidak ada Tuhan selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi (buta huruf) yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (Kitab-Kitab-Nya) dan ikutilah Dia supaya kamu mendapat petunjuk).

Hadits:

Islam dibangun di atas kelima rukun: kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad Rasul Allah, melakukan Sholat, memberikan Zakat, berziarah (hajj) ke Mekkah (Ka’abah) dan berpuasa dalam bulan Ramadhan.

Bagi Muslim pengucapan kalimat Shahadat merupakan ‘ibadah wajib (fardhu), dalam arti memperoleh pahala bila dilakukan dan mendapat siksaan bila dilalaikan. Bahkan pengucapan kalimat Shahadat ini merupakan fardhu ‘ain, yakni kewajiban agama yang harus dilakukan oleh setiap pribadi Muslim dan Muslimat. Hal itu berbeda dengan fardhu kifayah, yakni kewajiban atau perintah agama yang bersifat fakultatif-kolektif. Artinya, bila seseorang telah mengerjakannya, maka gugurlah kewajiban itu bagi Muslim lainnya. Sebaliknya, bila tidak ada yang mengerjakannya, maka semuanya bertanggung jawab dan memikul dosanya bersama-sama. Misalnya: mengurusi mayat, membangun masjid, dll.

 

(b)   Sholat

Sholat ialah sembahyang atau ibadat menyembah Allah dengan syarat-syarat, rukun dan bacaan-bacaan tertentu. Dalam Sholat itu diungkapkan permohonan sambil menyembah dengan kerendahan hati dan penuh penyerahan diri sebagai ungkapan untuk menjawab rahmat Allah. Pengertian tersebut dapat ditemukan intisarinya dari ayat-ayat Al-Qur’an berikut:

S. Albaqarah: 2-3 ‘Dalika al-Kitab la rayba fihi hudan lil-muttaqina al ladina yu’minuna bil-ghaybi wa yuqimuna al-salat.’ (Kitab ini tak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib dan mendirikan Sholat..).

S. Al Kautsar:1-2: ‘Inna A’taynaka al-kauthara fa-salli lirabbika wanhar” (Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah Sholat yang banyak).

Shalat itu masih dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

Pertama: Sholat bebas (Sholat sunnat), yaitu sholat yang tidak diwajibkan tetapi dilakukan berdasarkan kemauan dan kebebasan hati nurani pribadi, pada tempat dan waktu yang dipilih sendiri; dengan menggunakan rumusan kata-kata sendiri ataupun dengan mengucapkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.

Di antara Sholat bebas dan Sholat sunnat (yang tidak diwajibkan tetapi dianjurkan), misalnya:

·       Sholat al-Layl : antara jam tidur malam dan sebelum pagi hari.

·       Sholat al-duha: antara pagi dan tengah hari.

·       Sholat Arba’in: sembahyang 40 waktu di Masjid Nabawi (Madinah).

·       Sholat Idul Adha: pada waktu Idul Adha.

·       Sholat Idul Fitri: pada waktu Idul Fitri.

·       Sholat Jenazah: pada dasarnya merupakan Sholat fardhu kifayah bagi semua Muslim. Tetapi bila sebagian masyarakat telah melakukannya, maka Sholat itu menjadi sunnat bagi Muslim lainnya.

·       Sholat Tarawih: dilakukan pada malam hari bulan Ramadhan.

Kedua: Sholat wajib (Sholat fardhu), yaitu sembahyang yang diwajibkan bagi setiap Muslim, dengan mengikuti pelbagai peraturan yang telah ditetapkan menyangkut isi, bentuk maupun caranya. Yang tergolong dalam Sholat fardhu itu ialah Sholat lima waktu dan juga Sholat jama’ah pada setiap hari Jum’at.

Kelima Sholat fardhu itu ialah:

·       Sholat Al-Fajr (Al-Subh); yang dilakukan pada waktu fajar merekah/menyingsing, antara dini hari dan sebelum matahari terbit.

·       Sholat al-Zuhr; yang dilakukan pada waktu tengah hari, di saat matahari sedang melewati puncaknya.

·       Sholat al-Asr; yang dilakukan pada sore hari.

·       Sholat al-Maghrib; yang dilakukan pada petang hari, di saat matahari terbenam.

·       Sholat al-‘Isha’; yang dilakukan ketika matahari sudah terbenam. Jadi di antara waktu sesudah matahari terbenam dan jam tidur malam.

Dalam tradisi Islam umumnya Sholat lima waktu dipandang sebagai hasil kesepakatan Sang Nabi Muhammad dengan Allah dalam perjumpaan waktu Mi’raj. Namun para penafsir Islam dewasa ini lebih mendasarkan pada Al-Qur’an, khususnya S. Hud:114, yang berbunyi:

‘Wa aqimi al-salawat tara fi al-nahar wa zulafan min al-layli’ (Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam).

 

Beberapa hal yang dilakukan sebelum Sholat:

Pertama, al-Azan, yaitu panggilan untuk beribadah. Al-Azan itu dikumandangkan oleh al-Mu’adhin (atau Bilal) dari atas menara.

Kedua, Al-Taharah atau pembersihan diri. Ada dua jenis pembersihan diri:

·       Wudhu’, yaitu membersihkan diri dari hadas[18] kecil seperti buang air kecil/besar, kentut.

·       Ghusul, yaitu mandi seluruh badan untuk melenyapkan hadas besar (karena bersanggama, keluar mani dengan cara apa saja, haid atau nifas atau masa 40 hari sesudah melahirkan). Caranya, dengan mandi, termasuk cuci rambut.

Dalam situasi darurat, di mana air sulit didapatkan, atau hanya ada air kotor yang memungkinkan timbulnya penyakit, maka dipakailah tanah atau debu sebagai penggantinya. Tindakan ini disebut tayyamum.

 

(c)   Puasa atau Sawm (Jamak: Siyam)

Puasa berasal dari bahasa Sanskerta upawasa yang berarti menahan diri, menutup atau menghentikan segala kebiasaan. Dalam dunia Islam berbahasa Arab, puasa itu lebih dikenal dengan Sawm (jmk: Siyam) yaitu salah satu rukun Islam dengan ketentuan menahan diri dari makan dan minum atau dari segala apa yang membatalkannya, mulai dari terbit hingga terbenamnya matahari dengan syarat-syarat tertentu. Waktu yang ditetapkan oleh Al-Qur’an (S.Al-Baqarah : 183-185) adalah bulan Ramadhan. “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”

Dari ayat tersebut nampak bahwa puasa itu sudah ada sebelumnya. Dan yang dimaksudkan adalah puasa Yahudi, yang biasa dilakukan pada bulan Muharram, tanggal 10, dari matahari terbit hingga terbenam.

Meskipun sawm (puasa) itu diwajibkan bagi semua Muslim dan Muslimat, namun dalam keadaan tertentu ada orang yang dikecualikan. Mereka itu adalah orang yang sudah tua, orang sakit, wanita hamil dan yang menyusui. Kecuali orang tua, maka orang-orang lain diwajibkan untuk menggantikan sebanyak jumlah hari yang ditinggalkan setelah keadaan memungkinkan untuk berpuasa lagi. Bisa juga diganti dengan membayar kafarah (denda) atau fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin setiap hari selama ia tidak berpuasa.

Puasa Ramadhan mulai diwajibkan atas kaum Muslim semenjak tahun kedua Hijriyah. Menurut imam San’ani bahwa Sawm itu berarti mencegah makan, minum dan jima’ (persetubuhan) pada siang hari atas dasar ketetapan hukum agama.

Di samping puasa wajib pada bulan Ramadhan, ada juga puasa sunnat, yang disunnatkan atau dianjurkan, antara lain:

·       Puasa hari Senin dan Kamis.

·       Puasa ‘Ashura, 10 Muharam.

·       Puasa 6 hari dalam bulan Shawal sejak tanggal 2 hingga 7 Shawal.

·       Puasa pada hari ‘Arafah tanggal 9 Zulhijah bagi mereka yang tak menunaikan ibadah haji.

Namun ada juga hari-hari yang dilarang berpuasa, yaitu:

·       Idul Fitri, tanggal 1 Shawal.

·       Idul Adha, tanggal 10 Zulhijah.

·       Hari Tashriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah.

Di samping mengungkapkan dimensi kesalehan lahiriah sebagai pemenuhan hukum agama, puasa itu juga memiliki nilai-nilai moral, yakni mengungkapkan rasa solidaritas umat Islam terhadap

 

sesamanya yang miskin dan berkekurangan, ikut merasakan penderitaan mereka yang miskin dan lapar, latihan mengekang diri terhadap rangsangan-rangsangan jasmaniah, latihan mengontrol emosi, dan lain-lain.

 

(d)   Zakat

Kata Zakat berarti suci dan subur; pembersihan. Dalam Fiqh, Zakat berarti memberikan sebagian harta yang ditentukan kepada yang berhak menerimanya. Sebagai salah satu rukun Islam, Zakat berarti pemberian sebagian harta kepada orang-orang yang berhak menerimanya, yakni:

(1)       Para faqir (jmk. Fuqara) yakni orang yang tidak mempunyai harta benda sedikitpun dan tidak sanggup berusaha sebab cacat.

(2)       Para miskin (jmk. Masakin) yaitu orang yang mempunyai harta benda atau mampu berusaha tetapi tidak mencukupi kebutuhannya.

(3)       Para ‘amilin yakni para petugas zakat.

(4)       Mu’alaf, yaitu mereka yang dibujuk hatinya, yang terdiri dari 4 golongan, yaitu:

·       Mereka yang memihak dan tetap membantu Islam dan Muslim.

·       Mereka yang dibujuk agar tidak menekan kaum Muslim karena perbedaan agama.

·       Mereka yang baru masuk Islam.

·       Mereka yang belum masuk Islam tetapi berharap tetap mencintai keluarganya yang masuk Islam.

(5)       Hamba yang akan dimerdekakan dengan perjanjian.

(6)       Para mujahid fi sabiliLlah (S.Al Baqarah: 189).

(7)       Para musafir.

Zakat hendaknya dibedakan dengan sadaqah atau persembahan sukarela sebagaimana disebutkan dalam S. Al Mujaadilah:12, dst. Zakat adalah kewajiban atas hak milik yang berbeda-beda tingkatannya. Maka ditetapkan sebanyak antara dua setengah sampai duapuluh persen (berbeda-beda prakteknya di pelbagai Negara) dari penghasilan uang atau benda. Zakat bukan pajak. Di mata kaum Muslim, zakat itu juga memiliki nilai moral, yakni pemanfaatan harta milik sesuai dengan kehendak Allah demi karya amal dan menghindarkan penumpukan harta atau tendensi materialisme.

 

(e)   Haji (Ziarah ke Mekkah)

Haji adalah ziarah ummat Islam ke Mekkah (ke Masjid Al-Haram) bagi orang-orang yang sanggup. Yang menjadi dasar bagi kewajiban menunaikan ibadah Haji adalah S. Ali Imran: 96-97, yang berbunyi: ‘Inna awwala baytin wuzi’a lil-nas alladi bimakkata mubarakan wa hudan lil-‘alamin. Fihi ayatun bayyinatun, maqamu Ibrahim, wa man dakhalahu kana aminan, wa lil-Lahi ‘ala al-Nasi Hijju al-bayti wa man kafara fa-inna Allaha ghaniyyun ‘an al-‘alamin.’ (Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Mekkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam).

Haji atau ziarah itu dibedakan atas haji yang sebenarnya, yang dilakukan pada bulan Zulhijah (bulan terakhir tahun Hijriyah), dan haji kecil (‘umrah) yaitu sebagian ritual haji yang dilakukan di luar waktu haji yang tidak ditentukan waktunya dan dapat dilakukan sepanjang tahun.

 

d.     Rukun Iman

Iman berarti kepercayaan; keyakinan sepenuhnya; mempercayai dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan tindakan segala apa yang dibawa Nabi Muhammad dari Allah. Sebuah Hadits merumuskan makna iman sbb.: ‘Iman adalah pengakuan dalam hati, ucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan tindakan.’

Dengan rukun iman dimaksudkan ajaran-ajaran iman yang menjadi landasan setiap perbuatan (amalan) orang Muslim. Ada 6 (enam) rukun iman, yaitu :

 

(1)       Iman akan Allah yang Esa (Tawhid)

Rukun iman yang pertama ialah beriman/percaya sungguh-sungguh dengan sepenuh hati/ikhlas, kepada Allah SWT, yang Maha Esa; Pencipta dan Penguasa alam semesta ini dengan segala isinya, baik yang dhohir maupun yang ghoib/batiniyah/ ruhaniyah. Inilah ajaran yang fundamental dan penting dari Muhammad. Iman akan keesaan Allah ini diungkapkan dalam kalimat Shahadat Tawhid “La Ilaha Illa Allah (Tidak ada Tuhan selain Allah)” Bdk S. Albaqarah: 163; S. Al A’raaf:158; S. Al Ikhlash : 1-4. Kalimat itu merupakan tumpuan dasar Islam. Pengungkapan kepercayaan ini pulalah yang membedakan seorang Muslim sejati dari kaum kafir (tak beriman), mushrik (orang yang mempersekutukan Allah dengan dewa/i lain) atau dahriya (kaum atheist).

Tawhid mengandung arti bahwa Allah itu Esa Dhat-Nya; Esa sifat-sifat-Nya; dan Esa Af’al-Nya (perbuatan-Nya). Yang dimaksud dengan Esa Dhat-Nya ialah bahwa tidak ada Tuhan lebih dari satu dan tak ada sekutu bagi Allah. Esa sifat-Nya mengandung arti bahwa tidak ada Dhat lain yang memiliki satu atau lebih sifat-sifat ketuhanan yang sempurna. Esa af’al-Nya, mengandung arti bahwa tak seorangpun dapat melakukan pekerjaan yang telah dikerjakan oleh Allah, atau mungkin dilakukan oleh Allah. Juga mengandung arti bahwa tidak ada Dhat lain yang mempunyai wibawa terhadap Dia.

 

Syirk (Mushrik):

Lawan dari Tawhid adalah Mushrik, atau mensharikatkan Allah, yaitu menempatkan sesuatu betapapun kecilnya, di samping atau sejajar dengan Allah. Mushrik merupakan dosa yang terbesar. Ada 4 (empat) bentuk Syirk:

·       Menyembah sesuatu selain Allah, misalnya: batu, patung, pohon, binatang, kuburan, benda-benda langit, kekuatan alam atau manusia yang dianggap setengah dewa atau penjelmaan Tuhan atau anak laki-laki atau anak perempuan Tuhan.

·       Menyekutukan sesuatu dengan Allah. Artinya, menganggap barang-barang itu mempunyai sifat-sifat yang sama seperti sifat Tuhan. Kepercayaan bahwa ada Tiga Pribadi ketuhanan dan bahwa Sang Putera dan Sang Roh Suci itu kekal, Mahatahu dan Mahakuasa seperti Allah, seperti kepercayaan agama Kristen; atau bahwa Tuhan itu yang menciptakan kejahatan berdampingan dengan Tuhan yang menciptakan kebaikan seperti kepercayaan agama Zaratustra; atau bahwa benda dan roh itu sama kekalnya seperti Allah dan mawjud sendiri seperti Dia seperti kepercayaan agama Hindu, semua itu juga termasuk golongan syirk.

·       Sebagian manusia mengambil sebagian yang lain sebagai Tuhan, misalnya dengan mengikuti secara membabi buta segala apa yang diperintahkan oleh pemimpin besar mereka (S.At Taubah:31).

·       Mengambil hawa nafsunya sebagai Tuhan, artinya mengikuti ajakan hawa nafsu secara membabi buta.

 

                                       Asma’ul husna (Nama-nama yang amat mulia) dari Allah:

         Allah diyakini mempunyai 20 sifat dan juga memiliki 100 nama yang indah (al asma al husna). Nama yang pertama adalah Allah itu sendiri. Yang lain, misalnya Al Wahid (Yang Maha Esa); ar Rahman (Yang Maha Pengasih), al Qayyum (Yang hidup dan berdiri pada Dhat-Nya sendiri); al Qadir (Maha Kuasa), al Khaliq (Sang Pencipta); al Mutakalim (Yang bersabda kepada manusia); dll.

         Orang Muslim yang saleh mencoba selalu mengucapkan keseratus nama Allah yang indah itu dengan pertolongan sebuah tashbih yang berupa sebuah untaian 100 butiran.

 

(2)       Iman akan para Malaikat-Nya.

Malaikat ialah makhluk halus yang menjadi perantara Allah dan Rasul-rasul-Nya dengan membawa pesan wahyu dari Allah. Menurut Hadits yang diriwayatkan oleh A’ishah malaikat itu diciptakan dari Nur (Cahaya), sedangkan jin diciptakan dari Nar (Api). Beriman akan malaikat didasarkan pada S. Al Baqarah: 177 dan 285:”Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan ……

Rasul telah beriman kepada al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang beriman, semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya…”

Ada beberapa fungsi Malaikat, antara lain:

·       Sebagai pembawa Wahyu Allah kepada Rasul-Nya (S. Asy-Syu’araa:192-194).

·       Sebagai pengantara untuk meneguhkan para Nabi dan kaum Muslim (S. Al Baqarah : 87; 253 dan S. Al Anfal:9).

·       Pembawa azab bagi umat yang zalim dan mengingkari ayat-ayat Allah (S. Al Baqarah:210).

·       Penolong dan pemohon ampun bagi mereka yang di bumi (S. Asy- Syuura: 5; S. Al Mu’min:7).

·       Penolong demi meningkatkan kerohanian manusia (Qaaf:21).

·       Pencatat segala perbuatan manusia (S. Al Infithar:10-13).

Berapa jumlah Malaikat seluruhnya hanya Tuhan yang mengetahui. Manusia tak akan dapat menghitungnya. Tetapi ada 10 nama Malikat yang wajib diketahui oleh kaum Muslim, yaitu:

·       Jibril, yakni Malaikat yang bertugas membawa wahyu Tuhan kepada Rasul-Nya. Disebut juga Ruhul Qudus, Ruhul Amin. Dialah yang memimpin para Malaikat di langit.

·       Mikail, yakni Malaikat yang bertugas di bidang pengaturan rezeki, hujan dan angin.

·       Izrail, yakni Malaikat yang bertugas mengambil nyawa bagi makhluk hidup.

·       ‘Atid, yaitu Malaikat yang bertugas menuliskan semua pekerjaan dan perbuatan manusia yang tidak baik, yang senantiasa mendampingi manusia di sisinya, bersama Malaikat Raqib.

·       Raqib, yaitu Malaikat yang bertugas menuliskan semua pekerjaan dan perbuatan manusia yang baik. Ia senantiasa mendampingi manusia di sisinya bersama Malaikat ‘Atid.

·       Munkar, yaitu Malaikat yang bertugas menanyai mayat dalam kubur, bersama Malaikat Nakir.

·       Nakir, yaitu Malaikat yang bertugas menanyai mayat dalam kubur, bersama Malaikat Munkar.

·       Israfil, yakni Malaikat yang bertugas meniup serunai sangkakala atas perintah Tuhan, menandakan hari kiamat telah tiba. Tiupan kedua  membangkitkan lagi segala orang mati untuk dikumpulkan dan diperhitungkan segala amalannya.

·       Malik, yakni Malaikat yang bertugas menjadi juru kunci Neraka.

·       Ridwan, yakni Malaikat yang bertugas memegang kunci dan menjaga surga.

 

 

(3)       Iman akan Kitab-kitab-Nya.

Kitab adalah Kalam Allah, firman atau kalimat dan kata-kata Allah yang diturunkan-Nya sebagai wahyu dengan perantaraan Malaikat Jibril kepada Rasul-rasul-Nya. Islam mengajarkan bahwa dalam kurun waktu tertentu Allah memberikan wahyu-Nya kepada manusia tertentu dengan perantaraan Malaikat Jibril itu. Wahyu yang diberikan kepada para Rasul-Nya itu berupa sebuah Kitab Suci yang merupakan kutipan langsung dari induk Kitab Suci (ummul Kitab) yang tersimpan di Surga (al lauh al mahfudz = Ketetapan Tuhan yang berlaku untuk seluruh umat manusia maupun alam semesta). S. Al Baqarah : 213 mengatakan: “Manusia itu adalah umat yang satu, maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.”

Ada 5 (lima) Kitab yang diakui dalam Al-Qur’an, yaitu:

·       Suhuf, yang diturunkan kepada Ibrahim (S. An Najm:36).

·       Tawrat, yang diturunkan kepada Musa (S. Al-Maa’idah:44).

·       Zabur, yang diturunkan kepada Dawud (S. An Nisaa’:163; Shaad:17).

·       Injil, yang diturunkan kepada ‘Isa al-Masih’ (S. Ali Imran:3; 48; 65; S. Al Maa’idah: 46;66;68;110; S. Al A’raaf:157; S. At Taubah:111; S. Al Fat-h:29; S. Al Hadiid:27).

·       Al Qur’an, yang diturunkan kepada Muhammad SAW.

                                      

                                       Karena semua Kitab Suci tersebut berasal dari satu sumber yang sama, kesemua Kitab itu seharusnya sama. Tetapi ternyata saling berbeda, karena umat manusia yang bersangkutan telah menyelewengkannya. Islam berkeyakinan bahwa kebanyakan teks yang berbicara tentang Islam ataupun tentang Muhammad telah dihilangkan atau dipalsukan dalam Kitab-kitab Allah selain Zabur dan Al Quran. Pemalsuan teks-teks seperti itu dikenal dalam dunia Islam dengan istilah tahrif (falsifikasi atau korupsi, pemalsuan). Karena itu, Allah memberikan Al-Qur’an kepada segenap umat manusia melalui Muhammad, dalam bahasa Arab, dan merupakan Kitab Suci terakhir. Umat Islam meyakini bahwa Al Qur’an adalah Kitab yang tersempurna dari segala Kitab yang pernah ada. Al Qur’an diberikan oleh Allah dengan maksud meluruskan petunjuk-petunjuk yang pernah diwahyukan-Nya. Al Qur’an merupakan petunjuk yang terakhir dan tersempurna dari Allah.

                                       Kedudukan Al-Qur’an dalam kehidupan umat Islam sangatlah sentral, melebihi kedudukan Muhammad sendiri. Dalam Al Qur’an termuat wahyu Ilahi sendiri secara sempurna, tanpa cacat sedikitpun. Termuat di dalamnya segala sesuatu yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia dalam segala aspeknya, baik yang menyangkut hubungannya dengan Tuhan (ibadah) maupun yang mengatur perikehidupan antar manusia (mu’amalat). Bidang mu’amalat ini tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat keagamaan belaka, melainkan juga ekonomi, sosial, politik, budaya, militer, dan lain-lain, baik yang bersifat pribadi maupun umum. Bahkan dikatakan bahwa ilmu pengetahuan modern seperti Iptek dengan hasilnya berupa satelit, pesawat terbang dan sebagainya sudah termuat dalam Al Qur’an. Karena itu Al Qur’an sangat dihormati. Membacanya merupakan suatu ibadat yang sangat mendatangkan pahala, tidak hanya bagi yang membacanya melainkan juga bagi yang mendengarkannya. Karena itu muncullah berbagai seni membaca Al Qur’an. Seni membaca Al Qur’an tersebut sekarang dipertandingkan dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), yang berarti pertandingan pembacaan Al Qur’an. Supaya sebanyak mungkin orang dapat memperoleh pahala, pembacaan Al Qur’an tidak hanya di dalam hati, tetapi dengan suara yang dapat didengarkan juga oleh orang lain. Bahkan untuk pembacaan Al Qur’an itu dewasa ini dipergunakan secara luas alat komunikasi massa, seperti radio, TV, atau pengeras suara biasa.

                                       Di dalam Al-Qur’an disebutkan juga berbagai tokoh dari Perjanjian Lama, tetapi cerita yang ada hanyalah sepotong-sepotong, tidak merupakan suatu ceritera yang utuh. ‘Isa Ibn Maryam dikemukakan secara panjang lebar sebagai seorang Nabi yang istimewa, lahir melalui mukjizat (tanpa ayah), mengajar dan membuat banyak mukjizat. Ia pun terberkati, kudus, murni, Rasul Allah, jalan orang saleh, pengantara, bahkan disebut sebagai Kalimat Allah dan Roh Allah. Akan tetapi dia bukanlah Allah. Maria diceritakan berkaitan dengan ‘Isa al Masih ibn Maryam ini. Bagian Al-Qur’an yang memuat hal ini dinamakan Surat Al Maryam.

 

(4)       Iman akan para Rasul dan Nabi-Nya.

Umat Islam beriman bahwa Tuhan telah mengutus Nabi dan Rasul-Nya ke tengah pergaulan hidup manusia untuk membawa mereka dari kegelapan kepada cuaca hidup yang terang benderang. Dalam Islam, term Nabi dilihat lebih sempit maknanya bila dibandingkan dengan term Rasul. Para Nabi hanya diutus kepada umat pilihan tertentu; sedangkan Rasul diutus kepada segenap agama. Jadi tidak semua Nabi itu Rasul, tetapi semua Rasul adalah Nabi. Iman kepada Nabi dan Rasul-Nya ini didasarkan pada:

S. Yunus:47 : ‘Wa kulli ummatin rasulun” (Dan tiap-tiap umat mempunyai rasul..)

S. Faathir:24: ‘Inna arsalnaka bil-haqqi bashiran wa nadiran wa in min ummatin illa khala fiha nadirun.’ (Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan). Jumlah Nabi dan Rasul itu banyak sekali. Sebuah Hadits mengatakan bahwa jumlah Nabi ada 124.000 orang. Dari antaranya ada 25 orang yang tertulis di dalam Al-Qur’an; yakni: Adam; Idris; Nuh; Hud; Sholeh; Ibrahim; Lut; Ismael; Ishaq; Yakub; Yusuf; Ayub; Zulkifli; Shu’aib; Musa; Harun; Dawud; Sulaiman; Ilyas; Ilyasa’; Yunus; Zakaria; Yahya; Isa; Muhammad. Dari antara mereka, ada 5 Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi (teladan bagi kesabaran dan ketabahan hati); yaitu: Nuh; Ibrahim; Musa; Isa; Muhammad.

Islam mengimani bahwa jika nabi-nabi lain itu diutus kepada kelompok umat tertentu, maka Nabi Muhammad itu diutus untuk seluruh umat manusia, malahan sebagai rahmat bagi semesta alam. S. Al Anbiyaa’: 107: “Wa maarsalnaka illa rahmatan lil-‘alamin” (Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam).

 

(5)       Iman akan Hari Kiamat.

Iman akan Hari Kiamat berarti percaya bahwa sesungguhnya hari itu pasti datang dan selanjutnya manusia akan memasuki akhirat sebagai lanjutan dari kehidupan di dunia ini. Bagi orang yang taqwa dan yang mengerjakan amal saleh di dunia, di akhirat itu ia akan mendapat pahala dari Allah. Sebaliknya bagi yang berbuat kejahatan akan mendapat siksaan di neraka (Bdk S. Al Ahqaaf:55 dan S. Al Anbiyaa’:32). S. Al Hajjj:7 menegaskan sbb.: ‘wa anna al-Sa’ata atiyatun la rayba fiha wa anna Allaha yah’athu man fi quburi.’ (Dan sesungguhnya saat itu (hari kiamat) pastilah datang, tak ada keraguan padanya: dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang dari kubur).

Hari kebangkitan dari kubur itu (hari kiamat) kadang-kadang disebut dalam Al-Qur’an dengan nama-nama lain, sebagai berikut:

·       Yawm al-qiyamah (hari kiamat). ‘Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)’ (S. Al Qiyaamah:1-2).

·       Yawm al-Fasl (hari keputusan). “Sampai hari apakah ditangguhkan (mengazab orang-orang kafir itu)? Sampai hari keputusan. Dan tahukah kamu apakah hari keputusan itu? Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan” (S. Al Mursalaat:12-15).

·       Yawm al-hisab (hari perhitungan): “Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (S. Shaad:26).

·       Yawm al-fath (hari kemenangan): “Katakanlah: ‘Pada hari kemenangan itu tidak berguna bagi orang-orang kafir iman mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh.’ (S. As Sajadah:29).

·       Yawm al-jam’i (hari berkumpul): “Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memberi peringatan kepada ummul Qura (penduduk Mekkah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. Segolongan masuk surga dan segolongan masuk neraka.” (Asy Syuura’:7).

Imam Raghib mengajarkan, bahwa ada 3 (tiga) macam kiamat, yaitu:

·       Kiamat Kubra atau kiamat besar, yaitu dibangkitkannya manusia untuk diperhitungkan segala amal kebajikannya.

·       Kiamat Wustha atau kiamat tengah-tengah, yaitu matinya suatu bangsa atau suatu generasi.

·       Kiamat Sughra atau kiamat kecil, yaitu matinya seseorang.

 

                                       Bagaimana ajaran Islam tentang kebangkitan badan? Apakah pada hari kebangkitan jiwa manusia akan mendapatkan kembali tubuhnya yang terbuat dari tanah yang sudah ditinggalkan di dunia ini? Dalam Al Qur’an tidak ada satu ayatpun yang menerangkan bahwa tubuh yang pada waktu manusia meninggal dunia ditinggalkan di dunia ini akan dikembalikan kepada yang bersangkutan lagi. Sebaliknya ada beberapa ayat yang secara terang-terangan menerangkan bahwa manusia akan menjadi ciptaan yang baru sama sekali. (Bdk S. Al Waaqiah: 47; 58-62).

 

 

(6)       Iman akan Qadar dan Taqdir.

Beriman akan taqdir berarti percaya bahwa segala sesuatu yang telah, sedang dan akan terjadi adalah menurut ketentuan Allah terhadap hamba-hamba-Nya, baik secara perseorangan maupun bersama-sama. Sedangkan beriman akan Qadar berarti percaya akan Allah yang masih memberikan kesempatan bagi manusia untuk memilih dan menentukan mana yang paling baik melalui pertimbangan akal dan budinya.

               Dengan demikian iman akan qadar dan taqdir mengandung makna bahwa Allah telah menciptakan dunia yang teratur dan manusia harus bertindak sesuai dengan hukum-hukum alam. Allah memberi kesempatan bagi manusia untuk mempelajari dan menguasai alam raya sehingga menjadi kuat imannya. Singkatnya, manusia diwajibkan berikhtiar sekuat tenaga, tetapi menyerahkan hasil usahanya kepada taqdir Allah. Beberapa ayat berikut ini menyiratkan bahwa sejak awal penciptaan, Allah senantiasa menunjukkan keagungan kuasa-Nya sambil memberikan kesempatan bagi manusia untuk menentukan pilihannya yang bebas.

·       S. As Sajadah (Sujud) :13-14:”Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk (baginya), akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) dari pada-Ku; Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia bersama-sama.”

·       S. Yusuf:40: “Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

 

e.  Hukum Islam (Al Ahkamul Khamsah)

                                      

Tujuan hidup manusia adalah mencari ridha Ilahi, mencari perkenanan Allah, hidup sedemikian rupa sehingga Allah tidak marah, melainkan berkenan. Perbuatan-perbuatan yang berkenan pada Allah disebut halal) mendatangkan pahala bagi pelaku-pelakunya. Sebaliknya, perbuatan yang menimbulkan kemarahan Allah (disebut haram) akan menimpakan hukuman pada pelakunya. Semua hal di dunia ini (benda dan kelakuan manusia) masuk dalam salah satu dari 5 golongan ketentuan dalam shari’at (Al Ahkamul Khamsah = lima hukum Islam).

·       Wajib, Fardhu, yaitu kewajiban agama yang harus dilakukan tiap pribadi Muslim, seperti rukun Islam yang lima.

·       Sunnat, Mandub, Mustahab, yaitu salah satu ketentuan hukum dalam shari’at, yang berarti dianjurkan agar sebaiknya dilaksanakan. Namun tidak berdosa jika ditinggalkan, mendapat pahala kalau dilaksanakan.

·       Mubah, Ja’iz, yaitu boleh dikerjakan dan boleh pula tidak dikerjakan, tidak apa-apa kalau tidak dikerjakan.

·       Makruh, yaitu jenis ketentuan hukum shari’at; yang mengatakan bahwa sesuatu hal atau perbuatan sebaiknya ditinggalkan (tidak dilakukan); tetapi tidak sampai berdosa, jika melakukannya.

·       Haram, yaitu benar-benar dilarang mengerjakannya; berdosa jika mengerjakannya.

        

Adakah sesuatu hal itu halal atau haram, tidak ditentukan oleh nilai intrinsiknya, melainkan oleh keputusan Allah sendiri. Halal – haramnya sesuatu dapat diketahui dari Al Qur’an sendiri. Bila tidak ada di dalam Al Qur’an, diaculah sumber yang kedua yakni Sunnah Nabi, yakni perkataan, tingkah laku dan perbuatan nabi Muhammad sendiri. Sunnah Nabi dikumpulkan di dalam kitab-kitab yang disebut Kitab Hadits. Hadits berarti tradisi, tetapi di sini hanyalah tradisi atau adat kebiasaan Muhammad itu sendiri. Bila baik di dalam Al Qur’an maupun Hadits Nabi sesuatu tidak dapat dipecahkan, maka para ulama Islam menyelidiki dan menyimpulkannya (ijtihad) dengan jalan qiyas (persamaan, kemiripan masalah dengan yang terdapat dalam al Qur’an atau Sunnah Nabi), secara Ijma’ (kesepakatan di antara para ulama).

Keempat hal ini (Al Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma’ dan Qiyas) dinamakan Usul al Fiqh dalam sistim hukum Islam.

Dalam penafsiran dan penyusunan hukum Islam ini muncul pelbagai aliran atau Mazhab, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. Yang terpenting sekarang ini ialah: Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali. Pada prinsipnya setiap orang Muslim boleh memilih untuk dirinya sendiri Mazhab mana yang dianut. Islam di Indonesia pada umumnya menganut Mazhab Syafi’i.

 

 

 

 

 

  1. FILSAFAT DAN TASAWWUF DALAM ISLAM

 

a.   Filsafat Dalam Islam

      Dalam sejarah agama dan kebudayaan Islam, terdapat lima abad di mana telah terjadi kegiatan berfilsafat yang mengagumkan, yakni antara kurun 100H/720 sampai 595H/1198. Selama kelima abad itu para ahli pikir Muslim terdorong untuk menggumuli kedudukan manusia di hadapan Tuhan dan sesama serta alam dunia dengan bertitik tolak pada akal murni. Mereka memikirkan tentang hakikat insani yang terakhir dan terdalam, masalah dhat (essensi) dan wujud (eksistensi) hidup secara kritis dan sistimatis. Hasil pemikiran atau pergumulan mereka itu disusun secara sistimatis sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara logis atau rasional. Itulah yang disebut falsafat atau hikmat. Sedangkan para pemikirnya disebut failasuf (jamak: falasifa) atau hakim (jamak: hukama).

 

      Dari aspek praktis, filsafat berarti alam pikiran atau alam berpikir. Dengan demikian berfilsafat berarti berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh, melakukan refleksi rasional (fikr, ma’rifat atau ra’y) tentang seluruh realitas untuk mencapai hakikat dan memperoleh hikmat. Di sini nampak bahwa unsur rasional menjadi syarat mutlak bagi kegiatan ilmiah tersebut. Oleh karenanya, iman dan wahyu sesungguhnya tidak masuk dalam proses pemikiran filosofis. Hanya sering terjadi, bahwa dalil Kitab Suci misalnya, dapat membantu para filsuf dalam mencari hakikat kebenaran itu.

 

      Guna memiliki gambaran tentang pengertian filsafat menurut para pemikir Muslim, baiklah ditampilkan berikut ini pandangan kedua filsuf Muslim yang tenar:

·       Al-Farabi (w 950M), filsuf terbesar sebelum Ibn Sina mendefinisikan filsafat sebagai “ilmu pengetahuan tentang alam mawjud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.”

·       Al-Kindi (800-870M) dalam bukunya Al Falasifah al Ula (filsafat pertama) menulis, bahwa “yang paling tinggi dan mulia dari antara segala kegiatan seni manusia adalah filsafat, yang merupakan pengetahuan akan hakikat segala sesuatu sejauh kemampuan manusia.”

       Dan tujuan para filsuf dengan pengetahuannya ialah mencapai kebenaran dan bertindak sesuai dengan kebenaran tersebut.

 

Filsuf-filsuf terkenal:

 

·       Al Kindi (800 – 870M), seorang keturunan Arab asli, dengan karya utamanya adalah: Kitab al Falasifah al Ula.

 

 

·       Al Farabi (870 – 950M). Ayahnya seorang Irak, ibunya wanita Turkestan. Ia belajar di Bagdad, lalu menetap di Aleppo (Suriah) sampai wafatnya. Karya-karyanya: Al Jam’u bayna Ra’yi Al Hakimayni Aflatun al-Ilahi wa Aristu (Pertemuan pendapat kedua filsuf Plato dan Aristoteles); Ara’u Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Pikiran-pikiran asasi dari penduduk kota/negeri Sempurna); Tahsil al Sa’adah (Mencari kebahagiaan).

 

·       Ibn Sina (Avicenna) (980 – 1037M). Ia berkebangsaan Turki-Iran, lahir di kota Afshana dekat Bukhara dari sebuah keluarga berhaluan Shi’ah. Karyanya meliputi pelbagai bidang ilmu pengetahuan seperti fisika, matematika, logika, metafisika, kedokteran dan lain-lain. Buku-bukunya antara lain: Kitab al Shifa’ (Penyembuhan); Kitab al Najah (Kesuksesan); Al Isharat wa al tanbihat (Petunjuk-petunjuk dan informasi); Al Qanun fi al Tibb (Ensiklopedi Medis); Hayy ibn Yaqdhan (Kehidupan Ibn Yaqdhan); Mantiq al Mashriqiyyin (Logika Timur).

 

·       Al Gazali (1059 – 1111M). Lahir di Tus (Tusia), Horasan di Iran. Ayahnya penenun benang wol, buta huruf, miskin namun jujur. Karya-karya Al Gazali antara lain: Tahafu al Falasifah (Kerancuan para Filsuf); Ihya’ ‘ulum al-Din (Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama); Al Maqsad al Asma’, Sharh Asma’ Allah al Husna (Pembahasan mengenai nama-nama baik Allah secara menyeluruh, masalah-masalah kalam dan tasawwuf); Iljam al-A’wam ‘an ‘Ilm al-Kalam (Mengendalikan kaum Awam dari ilmu teologi).

 

b.   Tasawwuf Dalam Islam

     

Dalam sejarah perkembangan umat Islam, ilmu Fiqh (hukum Islam) menempati peranan yang utama. Karena terlalu menekankan hukum, muncullah penghayatan keagamaan yang sangat legalistis (asal sesuai dengan hukum). Hubungan dengan Allah menjadi kering, sehingga tidak memuaskan mereka yang ingin mencari Tuhan terdorong oleh cinta rindu terhadap-Nya, yang tidak hanya sekedar memenuhi peraturan-peraturan. Maka muncullah gerakan mistik dalam umat Islam. Cara penghayatan keagamaan ini dikenal dengan nama Tasawwuf, sedangkan orang yang menjalankan cara hidup ini disebut Sufi. Tasawwuf adalah ilmu yang amat menekankan penghayatan ketuhanan melalui pengamalan-pengamalan nyata dalam olah rohani yang mengutamakan intuisi. Jadi ia merupakan orientasi keagamaan yang lebih bersifat pembatinan tindakan (interiorisasi tindakan). Tujuannya adalah ma’rifat Allah, yaitu pengenalan akan Allah dalam suatu kondisi rohani yang merasakan keintiman dan keakraban dengan-Nya.

 

Dengan demikian, terasa bahwa seseorang yang mencapai tingkatan hidup sempurna sebagai insan kamil atau wali Allah merupakan orang yang bijaksana yang hidupnya mencerminkan tingkah laku Allah di atas bumi.

 

      Beberapa pelopor tasawwuf dalam Islam, antara lain  adalah:

·       Ibrahim bin Adham (w. 777M).

·       Rabi’ah al ‘Adawiyah (w. 802M).

·       Haris bin Asad al Muhasibi (w. 857M).

·       Abu Yazid al Bistami (w. 877M).

·       Al Husayn ibn Mansur al Hallaj (w. 922M).

·       Al Saraaj (w. 988M).

 

Hampir semua wali yang menyebarkan Islam di Pulau Jawa adalah orang-orang sufi (mistik) ini. Sembilan wali (Wali Sanga) penyebar agama Islam di Jawa adalah: Sunan Kalijaga; Sunan Kudus; Sunan Muria; Sunan Giri; Sunan Bonang; Sunan Drajat; Sunan  Gunungjati (Faletehan); Sunan Ampel dan Maulana Malik Ibrahim.

 

 

 

 

c.   Perbedaan Antara Filsafat Dengan Tasawwuf.

 

            Ada empat perbedaan mendasar antara Filsafat dengan Tasawwuf:

 

NO

FILSAFAT

TASAWWUF

1

Lebih menekankan pada renungan rasional.

Mengutamakan rasa atau batin serta latihan-latihan rohani secara praktis.

2

Bermula dari sikap ragu tentang segala kebenaran yang ada demi memperoleh kebenaran yang sungguh-sungguh dapat diper-tanggungjawabkan

Didorong oleh rasa belum puas hanya dengan kepercayaan-kepercayaan konseptual yang dihidangkan oleh agama. Ia bukan mau mencapai kebenaran baru, tetapi demi pemantapan keyakinan yang telah ada lewat penghayatan spiritual.

3

Kebenaran yang dicapai oleh filsafat hanya bisa didekati dan tak pernah dicapai secara final.

Kenyataan sejati bisa dihayati dan dicapai secara final. Dengan kata lain,Tasawwuf dapat berakhir pada haqq al-yaqin.

4

Dalam filsafat manusia semakin menyadari keterbatasan ilmunya.

Dalam tasawwuf, semakin tinggi ma’rifat (pengetahuan) para sufi semakin mereka merasa sempurna sebagai insan kamil (manusia sempurna).

 

 

 

 

6. PAHAM-PAHAM AGAMA ISLAM DI INDONESIA

 

Semua agama dunia yang berkembang di Indonesia datang dari luar negeri. Demikian juga berbagai aliran, mazhab, maupun paham yang berkaitan dengan agama Islam, berasal pula dari luar negeri. Sebetulnya jumlah aliran atau paham yang berkembang di Indonesia itu banyak sekali, namun di sini hanya akan dibahas beberapa saja dari mereka.

    1. Paham yang diikuti oleh banyak sekali umat Islam, dan telah memainkan peranan penting dalam pergaulan internal umat Islam di Indonesia, yaitu:

(1)                              Muhammadiyah

(2)                              Nahdlatul Ulama (NU)

    1. Paham yang kehadirannya telah memberikan dampak berupa “kegiatan sosial” atau keresahan sosial yang cukup berarti:

(1)                              Ahmadiyah

(2)                              Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII)

(3)                              Darul Arqom

(4)                              Inkarus Sunah

(5)                              Gerakan Usroh

(6)                              Jamaah Tablig

(7)                              Al Qiyadah Al Islamiyah

 

(1)   Muhammadiyah

Muhammadiyah merupakan nama sebuah organisasi masyarakat yang bergerak dalam bidang dakwah, sosial dan pendidikan yang berdasarkan Islam. Mereka menyebut organisasi itu Persyarikatan Muhammadiyah. Persyarikatan itu didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan, seorang ulama dan menjadi imam dan penghulu (qadi) Masjid Keraton Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat pada tahun 1912. Muhammadiyah tidak pernah disebut sebagai mazhab atau aliran dalam Islam. Mereka beranggapan bahwa Muhammadiyah adalah sebuah metodologi untuk memahami Islam secara sebenarnya, sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad. Itulah sebabnya, organisasi ini disebut Muhammadiyah, yang berarti mengikuti ajaran Muhammad SAW. Dan anggota wanita dari persyarikatan Muhammadiyah disebut Aisyiah.

 

(2)   Nahdlatul Ulama (NU)

Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya, tahun 1926, oleh K.H.M. Hasyim Asyari. Landasan Jam’iyah (Organisasi) NU  adalah paham Islam menurut Ahlus Sunah Wal Jamaah. Sedangkan dasar paham keagamaan NU adalah sumber ajaran Islam itu sendiri, yaitu Qur’an, Sunah Rasul, Ijmak, dan Qiyas, dengan mengikuti salah satu mazhab, terutama Imam Syafi’i.

Sejak berdirinya, NU mempunyai pengalaman unik dalam kehidupan maupun sikap politiknya. Menurutnya, Indonesia ini, bahkan ketika masih dijajah Belanda adalah Darul Islam (Keputusan Muktamar XI di Banjarmasin, 1936).

 

 

Kata Darul Islam, bukan dalam pengertian politik, melainkan pengertian agama Islam, yang lebih bermakna sebagai wilayah Islam atau negeri Islam, dan bukan negara Islam. Di masa penjajahan Jepang, aspirasi politik NU disalurkan lewat Masyumi, bersama Ormas-ormas Islam yang lainnya.

 

(3)   Ahmadiyah

Organisasi Ahmadiyah lahir tahun 1889, di India, oleh Mirza Ghulam Ahmad. Dia menyatakan diri sebagai mujjadid (pembaharu), setelah menyadari bahwa para ulama Islam tidak berdaya dalam menghadapi proses Kristenisasi.

Di kemudian hari, organisasi ini terpecah menjadi dua, karena alasan yang sangat fundamental. Perpecahan itu diawali dengan sikap Khalifah II, Basirudin Mahmud Ahmad yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran Islam yang dibawa oleh pendirinya. Dia mengubah nama Ahmadiyah menjadi Jemaat Ahmadiyah, yang juga dikenal sebagai Ahmadiyah Qadian. Mereka menunjukkan pandangan, bahwa Mirza Ghulam Ahmad, pendiri gerakan Ahmadiyah adalah betul-betul Nabi. Dan menurutnya, orang Islam yang tidak bai’at kepada Mirza Ghulam Ahmad adalah kafir.

Sementara itu, Ahmadiyah yang asli, yang lebih dikenal dengan nama Anjumam Asya’ati Islam Lahore atau Gerakan Ahmadiyah, dipimpin oleh Maulana Ahmad Ali. Gerakan ini percaya, bahwa Nabi Suci Muhammad SAW. adalah Khatamin Nabiyyin, dalam arti Nabi yang terbesar dan terakhir; dan sesudah Nabi Muhammad tidak akan datang nabi lagi. Menurut mereka, Mirza Ghulam Ahmad adalah Mujjadid, almasih dan mahdi, tetapi bukan nabi dan tidak pernah mengaku sebagai nabi. Gerakan ini menyatakan bahwa kaum muslimin yang tidak bai’at kepada Mirza Ghulam Ahmad tidak kafir, tetapi menanggung rugi.

Masuknya jemaat ini ke Indonesia terjadi dalam kurun waktu yang berbeda. Gerakan Ahmadiyah Lahore, masuk ke Indonesia sekitar tahun 1924, dengan datangnya  dua orang mubaligh bernama Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Beg, di Yogyakarta. Sedangkan lahirnya jemaat Ahmadiyah (Ahmadiyah Qadian) di Indonesia bermuda sejak kehadiran seorang mubaligh dari Pakistan, bernama Maulana Rahinat Ali, tahun 1924.

 

(4)   Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII)

LDII didirikan di Surabaya, pada tahun 1972, oleh Nurhasan Al Ubaidah. Mula-mula bernama Lemkari (Lembaga Karyawan Dakwah Islam Indonesia). Namanya menjadi LDII, karena Lemkari sudah menjadi nama dari organisasi karatedo Indonesia.

Inti ajaran yang dikembangkan oleh LDII adalah kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, yang selama ini banyak ditinggalkan oleh umat Islam. Di samping itu perpecahan di kalangan umat Islam terjadi karena tidak memiliki pemimpin pemersatu yang sangat ditaati oleh umat. Mereka beranggapan bahwa mempelajari ilmu-ilmu agama selain Qur’an dan Hadits, seperti fiqih, tauhid, akhlak, dan sebagainya, percuma saja dan menyesatkan. Mereka merasa tidak terikat dengan satu mazhab, kecuali hanya mengacu pada Qur’an dan Hadits sahih.

 

Untuk menjadi murid aliran ini tidak gampang. Harus melalui seleksi ketat. Tidak sembarang orang dapat mengikuti pengajian mereka. Hanya dari mantan murid aliran itu sajalah dapat diketahui ajaran mereka. Padahal, kesetiaan murid terhadap ajaran sangatlah tinggi. Akibatnya, amat sulitlah bagi orang luar untuk dapat mengetahui selengkapnya ajaran aliran tersebut. Mereka beranggapan, bahwa orang yang tidak sepaham dengan mereka dihukum kafir atau syirik. Dan setiap orang kafir dan syirik adalah najis. Konsekuensinya, mereka harus diusir dari kalangan Jamaah, meskipun tadinya adalah anggota keluarga, seperti anak, orang tua, isteri maupun suami. Menurut mereka, umat Islam di Indonesia wajib berbai’at dan taat kepada Nurhasan Al-Ubaidah, karena ia adalah satu-satunya amir di negeri ini.

 

(5)   Darul Arqom

Tokoh pendiri Darul Arqom di Indonesia adalah seorang keturunan Arab, bernama Syekh Muhammad As Suhaimi bin Abdullah. Tokoh tersebut oleh para pengikutnya sering disebut dengan panggilan Syekh Suhaimi atau Kyat Agung. Menurut penuturannya, dia masih keturunan generasi ke-33 dari Nabi Muhammad. Dia telah belajar dari Pondok Sulu Tiang Lowano di Jawa Tengah, dan Pondok Termas Pacitan Jawa Timur. Kemudian dia belajar di Mekah, dengan perhatian khusus pada kajian tasawuf. Selanjutnya dia mengabdikan diri di kompleks Masjid Makruf Singapura selama 4 tahun. Sampai akhir hayatnya dia membina sebuah pesantren Selangor Malaysia. Namun para pengikutnya beranggapan bahwa Syekh Suhaimi tidak meninggal, hanya menghilang dan menetap di sebuah hutan Cepogo Pacitan di Jawa Timur.

Keberadaan Darul Arqom di Indonesia diperkirakan diketahui sejak tahun 1988, dan sudah berkembang di beberapa daerah, seperti Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, maupun Jawa Barat. Secara fisik para pengikut Darul Arqom mudah diketahui dari pakaiannya. Pengikut prianya berjubah dan bersorban seperti orang Arab, sementara pengikut wanitanya berpakaian seperti pakaian muslimah lain, yaitu berjilbab, rok longgar dan bercadar.

Kegiatan mereka, di samping melakukan kegiatan ekonomi dalam semacam sebuah masyarakat tertutup, setiap usai shalat  fardlu mereka melakukan wirid tertentu, dengan jumlah tertentu, layaknya pengikut aliran tarekat.

 

(6)   Inkarus Sunah

Paham Inkarus Sunah merupakan salah satu paham yang meresahkan masyarakat Islam di Indonesia. Sebutan Inkarus Sunah sebetulnya bukan berasal dari kelompok tersebut. Mereka menamakan diri dengan Ahlul Qur’an atau Jamaah Ahli Qur’an, maupun Jamaah Qur’ani. Semua itu menunjukkan bahwa mereka mengingkari sunah Nabi, sebagaimana tercantum dalam Kitab-kitab Hadits, sehingga tepat kalau mereka disebut Inkarus Sunah atau mengingkari sunah sebagai acuan beragama. Jumlah pengikut resmi paham ini tidak banyak.

Keberadaan paham Inkarus Sunah di Indonesia tidak diketahui kapan datangnya, namun mulai dikenal sejak tahun 1978. Mereka menamakan diri “Orang Qur’an”, dan hanya mendasarkan pada Qur’an dalam proses pencarian hukum tentang permasalahan hidup keagamaan.

Penggunaan sumber selain Qur’an, termasuk sunah maupun fatwa ulama, mengakibatkan kesyirikan atau kekafiran. Sunah atau hadits yang disebut sekarang sebagai perkataan Nabi Muhammad atau dihubungkan dengan Rasulullah adalah bohong dan palsu, sebab hal itu hanya dongeng tentang Nabi Muhammad. Menurut paham ini, tugas Rasulullah hanya menyampaikan Qur’an. Di luar itu, sebagai pandangan-pandangannya tidak dapat menjadi argumen  bagi agama Islam.

Pusat kegiatan mereka ada di Masjid Al-Burhan di dekat pasar Rumput Jakarta Selatan. Penyebaran ajaran mereka didasarkan pada buku-buku tulisan empat tokoh aliran ini, yaitu Nazwar Syamsu, Yunus Nasution, Dalimi Lubis, dan Irkham Santosa.

 

(7)   Gerakan Usroh

Di masa Orde Baru, terutama dalam paruh kedua tahun 80-an terlihat gejala menarik dalam gerakan Dakwah Islamiyah di Indonesia, yaitu munculnya usrah, yang ditandai maraknya kegiatan Islam di kampus-kampus. Gejala tersebut menandai maraknya kesadaran beragama di kalangan intelektual muda, terutama melibatkan para mahasiswa maupun dosen di kampus-kampus non agama.

Mereka, antara lain beranggapan, bahwa masjid-masjid kampus yang dibiayai oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, itu haram dipakai. Mereka juga melarang menggunakan dana dari orang tua yang menerima gaji sebagai PNS. Mereka menolak bersalaman dengan lain jenis. Mereka menolak membuka cadar dalam perkuliahan. Dan lebih dari itu, mereka hidup secara eksklusif, menutup diri dari pergaulan dengan umum dengan tata nilai tersendiri pula.

Kegiatan agama maupun pengkajian agama mereka lakukan dalam kelompok-kelompok kecil yang akrab, sehingga lebih dikenal sebagai usrah. Usrah berarti keluarga, atau keakraban dalam keluarga kecil yang bersifat patriarkh yang dipimpin oleh seseorang yang dituakan. Mereka mengadakan pengajian rutin maupun berkala, dan memilih proses belajar mengajar yang intensif, seperti ceramah, diskusi, dan tanya jawab. Untuk itu mereka mengundang nara sumber ahli yang sepaham.

 

(8)   Jamaah Tablig

Sejak paruh kedua tahun 1980-an, masyarakat Islam Indonesia dikejutkan oleh gejala baru dalam kegiatan dakwah, yaitu dakwah yang dilakukan oleh orang-orang India yang mendatangi masjid-masjid di berbagai kampung di Indonesia. Mereka datang, kemudian meminta waktu untuk berbicara dalam majelis atau  dakwah di masjid-masjid. Mereka menyapa hadirin dengan panggilan saudara seiman, yaitu brother and sister. Ketika mereka tidak diijinkan untuk memberi pengajian, misalnya karena acaranya sudah diatur rapi oleh panitia, mereka tidak kecewa. Lain kali mereka datang lagi, dan bahkan meminta ijin menginap di masjid, tanpa meminta bantuan apapun dari masyarakat. Untuk beberapa lama mereka tinggal di situ, memasak sendiri di sekitar bangunan masjid dan makan bersama-sama dari satu wadah. Mereka juga berusaha untuk membantu masyarakat dalam memperbaiki peribadatan umat yang sempat mereka kunjungi.

Kegiatan ini mereka sebut jaulah (bahasa India) yang berarti kunjungan keluar rumah untuk berdakwah. Yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap pengikut jamaah, menyisihkan waktu khusus untuk keluar rumah melaksanakan dakwah ke tengah-tengah masyarakat. Tidak segan-segan mereka melakukan door to door pada warga masyarakat, baik di rumah, kerumunan, maupun ke warung-warung. Materinya sangat sederhana, yaitu mengingatkan agar umat selalu melaksanakan Ibadah yang benar, berperilaku baik kepada sesama warga masyarakat maupun taat kepada pemerintah.

Jamaah Tablig mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1985 oleh Maulana Saad. Sampai sekarang yang menjadi pemimpin jamaah adalah Ahmad Zul Fakar, seorang purnawirawan perwira menengah TNI AD. Mereka menjadikan Masjid Kebon Jeruk di Jakarta sebagai pusat di Jakarta.

Salah satu ciri fisik dari pengikut jamaah ini adalah dalam berpakaian. Seperti pengikut jamaah-jamaah pengajian yang lain, pakaian wanitanya adalah busana muslimah tanpa cadar. Bagi jamaah pria pun tidak berbeda dengan jamaah lain, yaitu baju koko dan celana dengan ujung bawah sebatas di atas mata kaki dan mengenakan kopiah  putih. Mereka memelihara jenggot dan mencukur bersih kumis. Semua itu mereka lakukan untuk mengikuti sunah Rasul.

 

(9)   Al Qiyadah Al Islamiyah

Aliran ini muncul sekitar  tahun 2006, oleh Ahmad Musadeq, di Jawa Barat. Ia memproklamirkan diri sebagai Imam Mahdi, yaitu Nabi terakhir, yang mendapat wahyu dan diutus untuk mengajarkan kebenaran. Karena ajarannya meresahkan masyarakat, maka segera dinyatakan sesat oleh Pemerintah RI, dan pengikut-pengikutnya  kembali bertaubat. Ahmad Musadeq sendiri akhirnya juga bertaubat, dan kembali ke pangkuan Islam yang benar.

 

(10) Aliran Sorga Eden

      Awal Januari 2010 kepolisian Cirebon menangkap Ahmad Tantowi, pimpinan Sekte Sorga Eden yang tinggal di kampung Pengkang, Kelurahan Harjamukti, Cirebon. Aliran ini sempat membikin marah umat Islam, karena Ahmad Tantowi memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan. Dia tinggal serumah dengan para pengikutnya, baik laki-laki maupun perempuan, serta melakukan pergaulan bebas dengan pengikut-pengikut wanitanya.

 

(11) Aliran Brayat Agung.

Pada bulan Januari 2010 juga di desa Gelung, Panarukan, Situbondo, seseorang yang menamakan dirinya Pangeran Agung, memproklamirkan suatu aliran yang disebut Aliran Brayat Agung. Majapahit. Aliran ini sesat karena melarang para pengikutnya untuk melakukan Sholat, berpuasa. Bahkan aliran ini menghina Nabi Muhammad. Karena itu KH. Abdus Shomad pimpinan MUI Jawa Timur menegaskan bahwa aliran ini melecehkan Islam.

 

(12)Aliran Humalea (Puangmalea)

      Pada akhir Januari 2010, kepolisian Polewali Mandar, Sulawesi Barat menangkap Syamsudin. Dia adalah pemimpin aliran Humalea (Puangmalea). Ia menganggap dirinya sebagai Nabi Khaidir. Ajarannya menyimpang dari kaidah Islam. Misalnya: menurutnya, orang-orang di luar aliran ini adalah setan. Katanya, ajarannya disarikan dari Kitab Taurat, Zabur, Shuhuf dan Injil. Kitab Suci mereka bernama Kitab Kalimullah. Aliran ini mengajarkan perkawinan batin. Anggota kelompok ini hanya sholat sekali seminggu, dilakukan di air, tanpa busana. Kiblat Sholatnya tidak ke arah Mekkah, melainkan menghadap ke selatan.

 

 

 

 

7.   DIALOG ANTAR UMAT KRISTEN DENGAN UMAT ISLAM

 

           Pada zaman kita ini makin dirasakan pentingnya dialog antar orang beriman. Hal ini disebabkan oleh semakin mendalamnya kesadaran akan pluralitas masyarakat. Kesadaran ini menyebabkan banyak orang Kristen bertanya-tanya: “Apakah dialog menggantikan mandat mewartakan Injil? Apakah hubungan antara dialog antar orang beriman/beragama dengan tugas pewartaan? Sejauh mana pewartaan Injil masih relevan?”

           Dalam uraian berikut akan dibicarakan secara khusus dialog antara Kristen dengan Islam, dengan harapan kita dapat mengembangkan sikap dialog serta mampu menjalin kerja sama yang lebih harmonis dengan umat Islam.

         Pertama-tama akan diuraikan terlebih dahulu essensi dialog antar agama serta kendala-kendalanya. Selanjutnya, akan diuraikan kemungkinan-kemungkinan dialog iman antara Kristen dengan Islam mengenai beberapa pokok iman.

 

a.   Dialog antar umat beragama, essensi dan kendala-kendalanya.

 

         Hubungan antara Gereja Katolik dan Islam mempunyai sejarah tertentu. Yakni suatu sejarah yang penuh gejolak. Gereja Katolik (Gereja Barat) pernah memandang Islam sebagai suatu ancaman dan bahaya yang harus diperangi. Islam dan agama-agama bukan Kristen lainnya dianggap sebagai agama kafir. Umatnya dianggap lebih rendah dan kurang dapat menggunakan akal budinya dengan baik. Semuanya ini dibarengi dengan suatu pengenalan yang sangat sedikit atau hampir tidak ada tentang Islam dan agama-agama lain. Memang di sana-sini terdengar suara-suara dan terlihat sikap-sikap yang lebih positif, terutama sejak akhir abad ke-19. Akan tetapi, jumlahnya masih terlalu kecil untuk mempengaruhi sikap seluruh Gereja Kristen.

       Untunglah, Konsili Vatikan II membawa perubahan dan pembaharuan. Sejak saat itu Gereja secara resmi memasuki suatu era baru, era dialog dengan agama-agama bukan Kristen.

 

        1) Essensi dialog                                    

 

      Budaya dialog di antara umat beragama terasa semakin berkembang. Dan perkembangan tersebut telah memberikan pengalaman baru kepada para pemuka agama, terutama dalam lingkup sosialitas keagamaan. Konsili Vatikan II telah membentuk komisi yang menangani dialog ini (Pontifical Commission, Council for Inter-Religious Dialogue). Lalu pada tahun 1971 Dewan Gereja-gereja sedunia juga membentuk sub unit dialog.

      Di kalangan Islam, juga dilakukan kegiatan-kegiatan dialog dengan caranya masing-masing. Pada dasarnya teologi dialog memang ada pada agama-agama di dunia ini, bahkan jauh sebelum institusi-institusi dialog tersebut dibentuk secara formal.

    

 

      Kitab-kitab Suci Agama Samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam pada khususnya) banyak mengungkapkan adanya dialog. Di India, Raja Asoka yang hidup jauh sebelum tahun Masehi (abad ketiga sebelum Masehi) telah meletakkan prinsip-prinsip tersebut dengan dipahat di batu cadas.

 

Pemahaman tentang dialog ini sedikitnya ada dua macam pengertian, yakni:

(a)   Dialog diartikan sebagai pembicaraan antara “dua” pihak untuk dapat saling memahami, saling memberi penjelasan tentang masalah yang dipandang perlu bagi kedua belah pihak, tapi mungkin juga untuk mengetahui kelemahan masing-masing pihak.

(b)   Dialog dalam arti ”dia-leghe”, yaitu berbicara dalam forum terbuka, dalam usaha mencari jalan bersama untuk menemukan realitas dan pemecahan masalah-masalah yang dihadapi bersama, dan bergerak menuju tujuan yang ingin diwujutkan bersama.

 

                  Menurut H.M.Tholhah Hasan, dialog antar umat beragama sekarang, kiranya akan lebih bermanfaat, apa bila ditekankan pada pengertian kedua tersebut, dari pada hanya berbicara antara dua pihak, apa lagi menyangkut prinsip-prinsip teologi, yang bisa-bisa akan menambah ketertutupan komunikasi, dan pembicaraan menjadi lebih bersifat apologetis. Berbeda halnya jika kita berdialog mengenai masalah: Bagaimana upaya meningkatkan kehidupan bermoral. Bagaimana mengembangkan peran nilai-nilai agama dalam upaya kesadaran kualitas lingkungan. Bagaimana cara melindungi martabat manusia menghadapi dominasi teknologi. Bagaimana meningkatkan dimensi transendental dalam kehidupan modern. Dan lain-lain. Di sini kita akan saling menyumbang wawasan dan pengalaman, tanpa resiko (atau dengan resiko minim) ketersinggungan teologi dan tradisi masing-masing.

 

            2)  Pandangan dan sikap Islam terhadap non Islam.

                   Pandangan dan sikap Islam (Muslim) terhadap golongan non Islam (non Muslim)  berangkat dari prinsip-prinsip teologi Islam sebagai berikut :

(a)        Sumber segala kebenaran dan kebaikan adalah Allah. Dialah kebenaran dan kebaikan absolut. Kebenaran-kebenaran yang lain bersifat nisbi.

(b)       Hakikat hidayah (pentunjuk) iman adalah kekuasaan dan kasih sayang-Nya. Manusia tidak memiliki otorita untuk merekayasa keimanan.

(c)        Manusia adalah makhluk mulia yang diciptakan oleh Allah. Oleh karenanya, maka martabat dan hak-hak manusia harus dihormati.

(d)       Manusia pada hakekatnya berasal dari satu jalur keturunan (dari Adam). Oleh karenanya, mereka adalah bersaudara. Perbedaan ras, bahasa, nusa, budaya maupun agama tidak menjadi alasan saling memusuhi satu sama lainnya.

(e)        Hidup di dunia ini bersifat sementara dan terbatas, akhirnya kita akan kembali pada Allah.

(f)        Perbedaan-perbedaan pandangan, keyakinan, persepsi, sikap, pengakuan dan lain-lain, akhirnya Allah juga yang akan menilai dan memutuskan di dalam mahkamah-Nya nanti.

(g)       Surga dan neraka tidak semata-mata ditentukan oleh perbuatan manusia di dunia ini. Tapi, belas kasih dan kemurahan Allah-lah yang akan lebih menentukannya.

     

      Dari prinsip-prinsip teologi tersebut, Islam menetapkan sikap dan pandangannya terhadap golongan atau umat non Islam, antara lain sebagai berikut :

“Islam memandang sesama manusia ini pada prinsipnya sebagai saudara.” Konsep persaudaraan (ukhuwah) itu dapat dibagi ke dalam tiga kategori :

(a)        Ukhuwah Islamiah (persaudaraan sesama manusia Muslim), didasarkan pada hubungan-hubungan keyakinan, religiusitas, dan lain sebagainya.

(b)       Ukhuwah Whatoniyah (persaudaraan sebangsa dan setanah air), didasarkan pada kepentingan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, lebih menyentuh aspek sosialitas beragama.

(c)        Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan sesama umat manusia), didasarkan atas kebutuhan dan tanggung jawab bersama di dalam menyelamatkan hidup umat manusia, menjaga martabat dan eksistensinya. Hal ini lebih menyentuh aspek environmental keberagamaan kita.

      Ketiga sikap Ukhuwah tersebut diupayakan dapat berlangsung secara harmonis, seimbang dan tidak saling mengorbankan. Sikap ini dalam tingkat implementasinya kerap kali terhambat realitas lingkungan yang tidak kondusif, yang tidak mendukung pengembangannya.

 

      Islam membagi golongan Non Islam menjadi dua macam:

(1)       Orang-orang kafir atau musyrik, termasuk di dalamnya golongan atheis dan penyembah berhala, atau penyembah selain Allah. Kepada mereka Islam tidak ada maksud untuk mengganggu atau memusuhi. Tetapi Islam juga tidak mau diganggu atau dimusuhi (S. Al Kafirun: 1-6). Islam menghendaki hidup berdampingan dengan mereka dalam semangat pluralisme.

(2)       Orang-orang pemegang Kitab Suci (Ahlul Kitab), dikhususkan umat Yahudi dan Nasrani. Islam mengakui bahwa di antara kita (Islam, Yahudi dan Nasrani) ada beberapa titik temu (Kalimatin sawa’) seperti :

-        Tuhan kita sama, yakni Allah.

-        Kita sama-sama meyakini akan menuju ke “kehidupan ukhrawi”, setelah melewati kematian.

-        Kita sama-sama menjunjung tinggi aspek transendental.

-        Kita sama-sama menghormati nilai-nilai dan kesopanan dalam hidup.

 

3)     Dasar-dasar dialog :

a)     Dari pihak Islam :

      Adanya keanekaragaman berasal dari Allah.

Perbedaan-perbedaan di antara kita memang ada, baik yang menyangkut teologi, hukum, maupun ritus dan lain-lain. “Seandainya Allah menghendaki, bisa saja kita sama dalam segala hal, namun bukan begitu yang dikehendaki-Nya. Tuhan rupanya melihat kita dalam kompetisi (S. Hud:118),” dan Tuhan sendiri nanti yang akan menilai.

Islam merasa dekat dengan orang Nasrani.

Di dalam Al Qur’an ada ayat yang menyatakan:”Bahwa golongan yang banyak bermusuhan dengan orang Islam adalah golongan Yahudi dan musyrikin, sedang yang dekat persahabatannya adalah orang-orang Nasrani” (S. Al Maidah: 82). Semoga  proposisi Qur’ani semacam itu dapat diaktualisasikan.

Misi Islam tidak mengenal “Paksaan Agama” (la ikroha fi ad-Dien) seperti ditegaskan dalam Al Qur’an (S. Al Baqarah : 256). Malah Nabi Muhammad sebagai Rasul Tuhan diperingatkan Allah: “Jika Tuhanmu menghendaki, tentu semua orang yang ada di atas bumi akan beriman semua. Apakah engkau akan memaksa manusia agar mau beriman” (S. Yunus: 99). Tugas risalah (misi) Rasul Tuhan adalah: menyampaikan dengan jelas, tentang berita wahyu yang diterimanya, kepada umat manusia, tetapi bukan memaksa mereka. (S. Al Maidah : 99; S.An Nahl : 35, 82; S.An Nur:54).

 

Dari sikap demikian, dikembangkan prinsip “kebebasan beragama”, sejak masa Nabi Muhammad sampai sekarang. Meskipun Islam mengharamkan pemeluknya makan babi atau minum khamer (minuman keras), namun Islam tidak melarang orang-orang bukan Muslim memakan babi atau minum khamer. Bahkan menurut mazhab Hanafi, apabila ada orang membunuh seekor babi milik orang bukan Muslim, atau memecahkan guci-guci khamer mereka, dia wajib memberi ganti rugi, entah di minta atau pun tidak diminta.

Hubungan sosial antara orang Islam dan non Islam diarahkan agar saling menghormati, saling membantu, saling menjaga perasaan. Nabi Muhammad sendiri menghadiri undangan walimah (Kenduri/ selamatan) mereka (non Islam), ikut menghantar jenazah mereka. Ibnu Abbas, salah seorang sahabat ternama, yang bertetangga dengan seorang Yahudi, selalu mengirimi hadiah makanan kepadanya.

Umumnya para ulama Islam, membolehkan umat Islam memakan makanan saudara-saudaranya (para Ahlul Kitab), bergaul dalam lingkungan keluarga yang berbeda agama, menghalalkan binatang sembelihan Ahlul Kitab, dan mengawini wanita dari kalangan mereka.

Dialog antar agama dianjurkan, dengan pesan agar dilakukan secara konstruktif, memperhatikan logika dan etika dialog (S. Al Ankabut : 46;  S. An Nahl :125).

b)     Dari pihak Katolik :

(1) Dialog bukan taktik sementara yang lahir dari sikap oportunis, melainkan lahir dari pengalaman, refleksi, dan kesulitan-kesulitan hidup itu sendiri.

(2)  Dialog menunjukkan sikap Gereja yang terbuka.

(3)   Kesetiaannya kepada umat manusia, kepada kebutuhan-kebutuhannya baik pribadi maupun sosial (kelompok):

               - Karena memiliki sesuatu untuk dikomunikasikan.

               - Bersama yang lain menuju ke keberadaan yang lebih penuh.

               - Saling melengkapi dan saling memurnikan.

               - Tukar-menukar yang memajukan perdamaian.

(4)   Iman kepada Allah Tritunggal;

            - Dalam Allah Bapa ada persatuan dan saling berhubungan: cinta dan rahmat Allah yang terungkap dalam ciptaan. Dialog itu: menemukan kasih Allah dalam ciptaan.

            - Dalam Putra yang mengasihi:  kasih yang menyatukan.

                           - Dalam Roh Kudus yang berkarya mengantar orang kepada kebenaran, Roh Kudus berkarya di luar batas-batas Gereja yang tampak (RH 6;LG 16;GS 22;AG 15).

      Paus Yohanes Paulus II, ketika memberikan sambutan dalam   sidang paripurna Secretariatus Pro Non Christianis, tanggal 27 Februari- 3 Maret 1984, menyatakan: “Bagi Gereja, dialog didasarkan atas kehidupan Tuhan sendiri, yang Esa dan Tritunggal. Tuhan adalah Bapa seluruh keluarga umat manusia, Kristus telah menggabungkan setiap orang kepada Diri-Nya (Redemptor Hominis 13), Roh Kudus berkarya di dalam setiap pribadi, oleh karena itu dialog juga didasarkan atas cinta kasih kepada pribadi manusia sebagaimana adanya, yang merupakan jalan yang utama dan fundamental bagi Gereja (Redemptor Hominis:14) dan berdasarkan hubungan yang ada antara kebudayaan dan agama-agama yang dianut orang-orang.”

(a)   Usaha tegaknya Kerajaan Allah, tujuan terakhir: Gereja sendiri adalah benih dan awal Kerajaan itu (LG 5, 9).

(b)   Pengakuan akan benih-benih/nilai-nilai kerajaan yang tertabur dan tersimpan dalam tradisi keagamaan :

-        OT 16 : unsur-unsur yang benar dan baik.

-        GS 92: hal-hal berharga, baik yang bersifat keagamaan maupun manusiawi.

-        AG 18 : benih-benih kontemplasi.

-        AG 9   : unsur-unsur kebenaran dan rahmat.

-        AG 11; 15: benih-benih sabda.

-        NA 2: Cahaya kebenaran yang menyinari umat manusia.

(c)   Ketulusan motivasi untuk menemukan kekayaan yang telah diberikan Allah dan menyirami harta itu dengan cahaya Injil (AG 11; 41).

 

4)     Bentuk-bentuk dialog.

Menurut pengalaman, ada banyak cara pengungkapan dialog antara lain:

(a) Dialog kehidupan: keseharian, kesaksian, pengabdian; dilaksanakan oleh semua dan setiap orang.

(b) Dialog karya: karya sosial, ekonomi, politik; oleh organisasi-organisasi yang bersama-sama menghadapi masalah-masalah dunia, seperti keadilan, kedamaian, kebebasan.

(c)  Dialog para ahli: dilaksanakan untuk:

-        Mendalami warisan keagamaan masing-masing.

-        Menghargai nilai-nilai rohani partner dialog.

-        Menerapkan keahlian untuk bersama-sama menghadapi masalah-masalah global dunia.

(d)   Berbagi pengalaman  keagamaan, untuk;

-        Berbagi pengalaman doa, kontemplasi, iman, cara-cara mencari yang mutlak.

-        Memelihara nilai-nilai tertinggi dan cita-cita rohani manusia.

 

5)     Kendala hubungan antar agama.

Kendala hubungan antar agama yang selama ini kita upayakan pemecahannya, sampai sekarang ternyata masih cukup banyak. Hal tersebut terjadi antara lain karena:

(a)        Keterbatasan pengetahuan tentang teologi, budaya, tradisi, dari suatu golongan terhadap golongan lainnya, sehingga kerap mengundang rasa saling curiga, salah paham, salah penilaian. Kekeliruan dalam mempersepsi dan menilai suatu kasus keagamaan, seperti kasus yang dilakukan oleh seseorang, atau suatu kelompok, kemudian peristiwa tersebut oleh golongan lain dianggap sebagai sikap atau perilaku umum dari golongan yang terlibat kasus itu. Padahal kasus itu hanya perbuatan individual atau kelompok kecil saja, sedang yang lainnya sama sekali berbeda.

(b)       Adanya kecurigaan yang traumatik, seperti munculnya isu ”Kristenisasi” atau “Islamisasi”. Bahkan kecurigaan terhadap dialog antar agama. Banyak orang menilai, bahwa diselenggarakannya dialog antar agama merupakan “upaya kompromi” dari suatu kelompok, karena merasa misinya sedang mengalami kebuntuan, atau merasa kesulitan menghadapi suatu situasi yang memerlukan kelancaran komunikasi.

(c)        Terjadinya tragedi-tragedi Internasional, yang dapat menyulut kemarahan satu golongan kepada golongan lain, karena adanya kepentingan-kepentingan politik, ekonomi, atau militer, seperti yang pernah terjadi dalam tragedi Bosnia, Myanmar, Libanon. Masalah-masalah etnis, politis, dan lain-lain dapat diekspos menjadi masalah yang mengorbankan semangat solidaritas keagamaan. Misalnya masalah Bosnia memang memprihatinkan umat Islam di mana-mana, dan umat Islam menilainya seperti peristiwa Nazi terhadap Yahudi (bukan sekedar masalah politik, tapi sudah menyentuh masalah keagamaan dan kemanusiaan).

Dalam tingkatan nasional, peristiwa-peristiwa seperti tragedi Poso, Maluku, Mataram, ternyata menggugah semangat solidaritas keagamaan intern kelompok-kelompok yang bertikai, untuk bangkit bersama-sama menghadapi kelompok keagamaan lainnya.

(d)       Terbatasnya tokoh-tokoh agama yang bersedia memasuki kegiatan dialog antar agama dengan berbagai macam alasan. Yang terbanyak adalah alasan kekurang-efektifan dialog yang selama ini diikuti.

 

6)     Beberapa harapan.

Dialog antar agama merupakan sesuatu yang amat penting. Hanya saja perlu diambil langkah-langkah yang menarik bagi para tokoh agama yang mau terlibat di dalam dialog tersebut, antara lain:

(a)        Masalah-masalah yang menjadi tema dialog tidak lagi menyangkut masalah-masalah teologis yang sensitif. Lebih baik tema tersebut menyangkut masalah-masalah aktual yang menjadi tanggung jawab bersama di antara umat berbagai agama, seperti masalah kemiskinan, masalah lingkungan hidup, masalah gejala perilaku sadis, seks bebas,  pornografi, pornoaksi, narkoba, dan lain-lain.

(b)       Mengantisipasi bersama tentang dampak yang dapat terjadi dalam menghadapi arus globalisasi IPTEK, informasi canggih, kemajuan ekonomi, terhadap nilai-nilai keagamaan dan spiritual bangsa. Jika para intelektual sekuler sudah mulai gelisah menghadapi fenomena ini, dan juga mengambil langkah dengan kerangka sekuler, liberal dan humanistik, mengapa kita intelektual agama tidak mengambil langkah bersama menghadapi masalah-masalah yang begitu mendasar bagi kehidupan umat manusia.

(c)        Mengusahakan bersama-sama untuk meningkatkan dimensi transendental dalam kehidupan ini, dan meningkatkan kehidupan moral dalam masyarakat luas. Dalam setiap agama, dogma dan doktrin adalah penting. Tetapi perilaku hidup tidak kalah penting dari apa yang dikatakan oleh Kitab Suci, atau dari apa yang dikatakan oleh guru besar teologi dalam setiap agama. Dalam suatu diskusi pendidikan ada seseorang mengeluhkan bahwa anaknya mempunyai nilai bagus sekali dalam mata pelajaran agama di sekolah, tetapi di luar sekolah nakalnya setengah mati.

 

Selama ini rupanya kita terlalu memusatkan perhatian pada isi intelektualisasi agama, dan tidak cukup banyak perhatian kita pada internalisasi agama, dan pada internalisasi nilai serta disiplin nilai dan moral yang merupakan cermin dari agama.

 

 b)  Dialog iman antara Kristen dengan Islam sesuai pernyataan Konsili Vatikan II.

 

            Khususnya tentang hubungan dengan Islam, Konsili Vatikan II menyatakan sebagai berikut: “Dengan hormat Gereja memandang umat Islam, yang menyembah Allah Yang Mahaesa, Yang hidup dan berdiri pada Zatnya sendiri, Yang Mahamurah dan Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, Yang berfirman kepada manusia. Mereka berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada keputusan-keputusan Allah bahkan yang tersembunyi seperti halnya Abraham, yang menjadi acuan iman Islam. Mereka menyerahkan diri kepada Allah. Meskipun tidak mengakui Yesus sebagai Allah, namun mereka menghormati Dia sebagai nabi. Maria, ibu-Nya yang perawan, mereka hormati pula dan kadang-kadang mereka berdoa kepadanya dengan khidmat. Selanjutnya mereka menantikan hari penghakiman, saat Allah membangkitkan orang mati, membalas perbuatan mereka. Karena itu mereka sangat menghargai pula hidup moral dan beribadat kepada Allah terutama dengan doa, sedekah dan puasa. Karena selama abad-abad yang lampau tidak sedikit terjadi perselisihan dan permusuhan di antara umat Kristen dan Islam, Konsili Suci menghimbau kepada semua saja supaya melupakan masa lampau dan mulai mengusahakan  saling pengertian secara tulus serta bersama-sama berusaha membela dan memajukan keadilan sosial, nilai-nilai moral, perdamaian dan kemerdekaan bagi seluruh umat manusia (NA 3).”

            Konsili Vatikan II telah memberikan suatu pernyataan yang besar tentang Islam, tentang apa yang ”benar, baik dan suci” dalam agama Islam menurut Iman Kristen, tentang apa yang harus menjadi penghormatan dari pihak Katolik terhadap Islam sebagai dasar dialog.

 

Pernyataan Konsili Vatikan II mengenai hal ini menyangkut 7 (tujuh) hal, yaitu:

(1)   Iman akan Tuhan dalam Islam.

(2)   Iman.

(3)   Kristologi Islam.

(4)   Maria ibu Yesus dalam dialog iman.

(5)   Eskatologi Islam.

(6)   Moral dan Ibadat.

(7)   Himbauan untuk dialog.

 

 

 

 

 

Tujuh hal ini sebenarnya terdiri dari dua bagian, yaitu:

(1)   Pernyataan tentang sikap Gereja terhadap beberapa pokok iman Islam (No. 1 s/d 6)

(2)   Himbauan untuk dialog (No.7), yang menyangkut 2 dimensi,yaitu:

-  Sejarah.

-  Masa depan.

Pernyataan dan himbauan yang bagus ini hanya tetap merupakan kata-kata, kalau tidak dihayati dan didengarkan. Gereja harus mulai secara serius berdialog dengan Islam sebagai suatu panggilan imannya. Akan tetapi bagaimana? Itulah yang menjadi pertanyaan pokok bagi kita semua. Marilah kita melihat kembali pernyataan dalam Nostra Aetate artikel 3.

Pernyataan pokok dalam bagian pertama ialah ”Dengan hormat Gereja memandang pula umat Islam. ”Apa artinya” dengan penghormatan atau penghargaan” itu? Apa yang harus dilakukan untuk mempersiapkan jalan bagi Tuhan supaya menumbuhkan ”Benih-benih sabda” yang telah terdapat dalam iman Islam? Kita perlu memikirkan jawab atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, karena dialog antar iman mengandaikan bukan hanya pengenalan tentang iman agama lain, melainkan pula kemauan untuk melihat kembali peran kita sendiri dalam hubungan dengan iman tersebut dan kemauan untuk memberikan diri padanya. Pertemuan antar agama adalah suatu proses dinamis. Semua yang terlibat di dalamnya harus menafsirkan kembali pengertian imannya. Bagi kita umat Kristen, Kristus adalah tetap kepenuhan agama-agama bukan Kristen. Dia sekarang mau datang melalui kita untuk menggenapinya (Bdk Mat 5:17)

Namun dialog antar agama tidak bisa terbatas hanya pada dialog antar iman. Setiap agama menghayati imannya dalam konteks sejarah tertentu. Unsur kesejarahan ciri iman haruslah selalu diperhatikan. Iman yang hidup tidak terdapat dalam buku atau rumusan-rumusan, tetapi dalam hidup yang nyata. Jadi unsur kesejarahan ini haruslah selalu dilihat.

 

Pernyataan pokok dalam himbauan untuk dialog ialah:

·           “Konsili suci menghimbau kepada semua saja supaya melupakan masa lampau dan mengusahakan saling pengertian secara tulus.” Pernyataan ini mengandaikan bahwa dialog antar agama tidak dapat mengabaikan dimensi sejarah. Hubungan antar agama tidak dapat mengabaikan dimensi sejarah. Sejarah bukanlah sesuatu hal yang sudah lampau saja, melainkan sesuatu yang meninggalkan bekas dan mempengaruhi sistem sekarang. Berbicara tentang dialog antar umat Kristen dan Islam berarti pula berbicara tentang ”melupakan segala peselisihan dan permusuhan yang tidak sedikit terjadi di antara umat Kristen dan Islam di masa lampau.” Lalu apa artinya untuk Gereja di Indonesia di masa sekarang? Apa yang harus dilakukan untuk ”membina” saling pengertian secara tulus?

 

 

·           “Konsili suci menghimbau kepada semua saja supaya bersama-sama berusaha membela dan memajukan keadilan sosial, nilai-nilai moral, perdamaian dan kemerdekaan bagi seluruh umat manusia.” Pertanyaan kita: Apa yang harus dilakukan Gereja di Indonesia supaya kerjasama dalam hal-hal yang disebut itu dapat dimulai?

                                         

Demikianlah beberapa pokok persoalan dalam dialog Kristen Islam.

                     Berikut ini kita akan mendalami persoalan-persoalan tersebut secara singkat:

 

(1)       Dialog iman tentang iman akan Allah.

Gereja Katolik telah memperlihatkan keberanian yang besar untuk menyatakan secara resmi bahwa dengan hormat dia memandang umat Islam ”yang menyembah Allah yang Mahaesa, yang hidup dan berdiri pada Zat-Nya sendiri; yang Mahamurah dan Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang berfirman kepada manusia. ”Pernyataan ini juga menunjukkan bahwa dialog antar umat Kristen dan umat Islam pada tempat yang pertama adalah dialog antar orang-orang yang beriman. Yang menyatukan mereka ialah iman mereka kepada Allah dan terutama Allah sendiri. Keduanya harus berkembang dalam mencari Allah dan belajar melihat tanda kehadiran Allah yang penuh rahasia dalam sesama.

Ilmu Tawhid menyebutkan 20 sifat wajib dan 99 Nama   Luhur Allah. Dari jumlah sifat dan nama yang banyak ini Konsili Vatikan II menyebut enam yang paling berarti dalam perspektif dialog antar umat Kristen dan umat Islam. Di bawah ini akan diuraikan tiga dari keenam sifat dan nama tersebut.

(a)     J. Bakker SJ, menyatakan bahwa dalam iman akan keesaan Allah, Islam tidak kalah dari monoteisme Kristiani. Keesaan ini dinyatakan terus menerus dalam seluruh Al-Qur’an. Misalnya dalam S. Al Baqarah :163 dikatakan: ”Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Mahaesa; tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang Maha Pemurah lagi Maha penyayang.” Orang Kristen juga menyembah Allah yang Mahaesa. Kita menyembah Allah yang satu dan sama. Perbedaannya ialah ini, bahwa pada kita umat Kristen dinyatakan rahasia ini (bdk Mat 11:25) bahwa Tuhan itu Allah Yang Mahaesa, Tritunggal Yang Mahakudus. Keesaan Allah itu melampaui segala pengetahuan manusia.”[19]

Lalu apakah kita masih dapat menyaksikan bahwa kita adalah saudara mereka dalam iman kepada Allah Yang Mahaesa? Iman itu dibuktikan melalui hidup. Hanya melalui hidup orang dapat melihat bahwa kita sungguh-sungguh beriman kepada Allah yang Mahaesa atau tidak. Tuhan itu Allah Yang Maha. Itu berarti bahwa Dia tidak ada duanya, tidak ada bandingannya.

 

Konsekuensinya ialah bahwa kita harus mengasihi Tuhan, Allah kita, “dengan segenap hati kita dan dengan segenap jiwa kita  dan dengan segenap kekuatan kita”(Ul 6:5, Mrk 12: 29-30). Orang tidak dapat mengabdi kepada dua tuan, kepada Allah dan kepada Mamon (Mat 6:24, Luk 16:13). Kalau orang mengabdi kepada Mamon, itu berarti dia menduakan Tuhan.

Keesaan Allah itu melampaui segala pengetahuan dan pengertian (bdk Ef 3:19). Itulah rahasia yang dinyatakan kepada kita, tetapi yang belum diberikan kepada saudara-saudara kita umat Islam. Apakah rahasia ini menjadi doa, penyembahan yang penuh hormat dan takut dan madah kita pula? St. Paulus berlutut dan berdoa dengan sungguh-sungguh supaya kita juga dapat memahami “Betapa lebar, panjang, tinggi dan dalamnya kasih Kristus dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun Ia melampaui segala pengetahuan (Ef 3:18-19). Misteri Tritunggal Yang Maha Kudus itu bukanlah teka-teki matematika, melainkan rahasia kemutlakan Allah, rahasia tentang Dia Yang Mahakasih dari keabadian. Lalu mengapa kita tidak berdoa seperti St. Paulus? Bukankah karena kita masih kurang hidup di dalam misteri ini?

                            

(b)     Dengan penuh hormat Gereja memandang umat Islam yang menyembah Allah Yang Mahamurah. Nama Allah ini sudah terdapat pada pembukaan Al Qur’an, (S. Al Faatihah) dan hampir semua surat di dalam Al Qur’an dibuka dengan menyebut nama itu. Nama Ar Rahman (Maha Pemurah) memberi pengertian ”bahwa Allah melimpahkan karunia-Nya kepada makhlukNya.” Menurut J. Bakker, sebutan Rahman itu paling dekat dengan sifat kebapaan Tuhan dari Kitab Suci Kristen. Nama Allah ini dipilih oleh Konsili untuk menekankan kepada kedua belah pihak sifat pengampunan dari Tuhan yang harus menjiwai mereka. Lalu apa yang harus dikerjakan oleh seorang Kristen? Dia harus pertama-tama memperdalam imannya tentang belas kasihan Allah. Seluruh Kitab Suci dapat dikatakan dijiwai oleh Injil tentang belas kasihan Allah. Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru menekankan bahwa iman kepada Allah Yang  Mahamurah harus berbuah dalam hidup. Allah “menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan” (Hos 6:6). Itu berarti bahwa Gereja harus pertama-tama mendekati orang-orang berdosa, dan mereka yang tersingkirkan dan direndahkan dari pada bergaul dengan orang-orang benar (Bdk Mat 9:9-13). Kesaksian lain yang harus ia berikan dari imannya ini ialah tahu mengampuni musuh-musuh dan tidak menyimpan atau membalas dendam: ”Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati (Luk 6:36).” Karena Allah itu Mahamurah, maka kita tidak dapat membatasi kemurahan dan kebaikan hati-Nya. Contoh-contoh kemurahan hati benar-benar dapat membuka mata iman seseorang untuk percaya bahwa Tuhan itu adalah Yang Mahamurah.

         Kerahiman Tuhan adalah suatu misteri yang tak terselami karena berulang-ulang Kitab Suci menyaksikan pula tentang murka Allah. Ini berarti Tuhan tidak tahan melihat dosa dan ketegaran hati manusia dalam dosa, terutama apa bila orang-orang kecil diperlakukan secara tidak adil dan ditindas (Bdk mis. Yes 1:21-26) dan keselamatan mereka diabaikan (Mrk 3:1-6). Dialog iman akan Allah yang Mahamurah tidak dapat mengabaikan misteri murka Allah. Janganlah orang menganggap sepi kemurahan, kesabaran dan kelapangan hati Allah, sebab: “Tidakkah engkau tahu, bahwa maksud kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan?(Rom 2:4).”

  (c)      Dengan penuh hormat Gereja memandang umat Islam yang menyembah Allah “yang berfirman kepada manusia.”

             Dialog iman akan Allah yang berfirman kepada manusia termasuk salah satu pokok yang sangat sulit. Perlu diingat bahwa Islam melihat dirinya sebagai pemilik sabda Allah. Dalam keagamaan, Islam sudah sempurna, sehingga tidak bisa menerima apa-apa dari orang lain. Sebaliknya, keaslian Kitab Suci Kristen disangkal. Menurutnya, wahyu Kristen telah dipalsukan oleh orang-orang Kristen sendiri yang memasukkan gagasan-gagasannya yang berbeda dengan gagasan-gagasan alkitabiah awali (Bdk S. Al Baqarah : 42, 78-79; S. At-Taubah : 30-31). Apakah mungkin ada dialog iman dalam hal ini?

Bacalah Yo 5:39-47 Yesus mengecam orang-orang Yahudi karena meskipun mereka menyelidiki Kitab-kitab Suci yang memberi kesaksian tentang Dia, mereka tidak mau datang kepadaNya. Karena mereka tidak percaya kepada Kitab Suci, mereka juga tidak mungkin percaya kepadaNya. Apakah dialog iman dengan demikian sudah tidak mungkin lagi? Pasti tidak! Tuhan Yesus juga berbeda pendapat dengan orang-orang Yahudi tentang penafsiran-penafsiran tertentu atas Kitab Suci. Ada kalanya Dia memperdalam pengertian mereka (bdk. Mrk 7:1-23), lain kali Dia menunjukkan mana yang lebih penting (Mat 23 : 16-22) atau yang lebih besar (Yoh 7:19-24). Lalu apa artinya hal itu untuk dialog iman dengan Islam? Ini berarti bahwa kita dapat meyakinkan tentang kebenaran atau ketidakpalsuan Kitab Suci kita melalui iman kita yang hidup yang dibuktikan dalam perbuatan (bdk Mat 5:20). Kita harus menjadi Kitab Suci yang hidup.

 

(2)    Dialog iman tentang iman.

Dengan hormat Gereja memandang umat Islam yang berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada keputusan-keputusan Allah, bahkan yang tersembunyi, seperti halnya Abraham, yang menjadi acuan iman Islam, menyerahkan diri kepada Allah.

Iman adalah jawaban kepercayaan dan ketaatan kepada Allah. Orang Islam adalah orang yang menyerahkan dirinya secara ikhlas kepada Allah. Islam adalah kepatuhan dan penyerahan diri kepada Allah (S. An Nissa: 125; S. Az-Zumar : 54).

Contoh utama orang yang menyerahkan diri kepada Allah bahkan kepada keputusan-keputusan yang bertentangan dengan akal budi manusia, ialah Abraham. Kedudukan bapa bangsa Israel ini dalam agama Islam mungkin lebih sentral dibandingkan dengan kedudukannya dalam agama Yahudi atau Kristen. Tak ada tokoh Alkitabiah yang begitu kerap disebut di dalam Al Qur’an seperti Abraham. Jauh lebih penting lagi ialah apa yang dikatakan tentang dia. Abraham adalah sahabat Allah (S. An Nissa’: 125), penentang penyembahan berhala, dan pejuang monoteisme (S. Ash-Shaffaat: 83-89). Dialah teladan iman yang sempurna dan bersama Ismael mendirikan Ka’bah (S. Al Baqarah :124-129). Agama Islam dapat disebut agama Abraham (S. Ali Imran : 67-68,95).

Kita adalah manusia-manusia yang beriman dan kita dipersatukan dalam sikap kita yang paling dalam.

Dialog iman harus membuka mata kita akan kesaksian-kesaksian iman atau penyerahan diri kepada Allah yang menakjubkan di luar kekristenan. Kerap kali kita menyaksikan bahwa orang bukan Kristen dapat lebih beriman dari pada orang Kristen. Kitab Suci sendiri telah menyaksikan hal itu. Firaun (Kej 12:10-20) dan Abimelekh (Kej 20) ternyata lebih memiliki sikap takut akan Allah dari pada Abraham. Dan masih ada cukup banyak tokoh-tokoh iman lain dari kalangan kafir seperti Naaman (2 Raj 5), Rut, perempuan Siro-Fenesia (Mrk 7:24-30) dan perwira dari Kapernaum (Mrk 8:5-13). Puncak tokoh imam dari kalangan kafir adalah kepala pasukan yang berdiri berhadapan dengan Yesus yang tergantung di salib. Ketika melihat matiNya demikian, berkatalah ia:  “Sungguh, orang ini adalah anak Allah! (Mrk 15:39).”

Kerajaan Allah bukan terdiri dari perkataan, tetapi dari perbuatan (1 Kor 4:20). Mereka datang dari Timur dan Barat serta duduk bersama-sama dengan Abraham di dalam Kerajaan Sorga (bdk Mat 8:11).

 

(3)     Kristus dalam dialog iman.

a.      Kristus adalah batu sandungan dalam dialog Kristen-Islam. Dia ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan dan untuk menjadi tanda yang menimbulkan perbantahan bukan hanya bagi banyak orang di Israel (Bdk Luk 2:34), melainkan untuk seluruh umat segala zaman. Akan tetapi, karena Roh Kudus adalah Roh Allah sendiri, maka kekristenan dari pihaknya dapat dan harus tetap membuka pintu untuk dialog.

      Konsili Vatikan II mengakui bahwa meskipun umat Islam tidak menerima Yesus sebagai Allah, namun Gereja tetap memandang mereka dengan hormat karena “mereka menghormati dia sebagai nabi.”

      Sebenarnya dalam Al Qur’an ada pernyataan yang amat tinggi tentang Yesus yang tidak dikatakan tentang Muhammad. Yesus diakuinya misalnya sebagai firman Allah (kalimat Allah) dan Ruh Allah (Surat An Nissa’:171).

 

      Akan tetapi, Konsili tidak dapat menggunakan kedua gagasan itu tanpa menimbulkan kesalah pahaman karena kedua pernyataan itu dimengerti secara lain oleh Islam. Hal ini penting kita perhatikan. Sebagai orang Kristen kita tidak berhak untuk menafsirkan Al Qur’an menurut pengertian kita. Setiap tafsiran Al Qur’an haruslah diberikan menurut tradisi teologi mereka, demikian pula dengan istilah “Nabi.”

b.     Bagaimana kita harus mengerti penolakan Islam untuk menerima ke-Allahan Yesus? Romo G. Letellier, seperti dikutip oleh C.Gasbari di dalam bukunya yang terbit di Roma, tahun 1972, menulis “Bagi kita tidak ada kesukaran, setelah melihat misteri Tritunggal Yang Mahakudus, untuk menerima dan mengakui bahwa satu dari ketiga Pribadi Ilahi mengambil kodrat manusia pada waktu tertentu. Umat Islam sebaliknya bertolak dari sudut yang sama sekali bertentangan. Mereka melihat manusia konkrit dalam daging dan darah yang sebagai setiap manusia berada di dunia ini mulai dengan perkandungan dan kelahiran. Dia makan dan tidur seperti tiap manusia. Bagaimana orang Kristen dapat mengatakan bahwa Dia adalah Allah? Bagi mereka hal itu adalah suatu hujat terhadap Allah. Mereka harus mengatakan demikian. Bagi kita sebalikNya. Menyangkal ke-Allahan Kristus berarti menghujat Allah. Kita sebenarnya bertitik tolak dari sudut yang berbeda. Kita berkata tentang Inkarnasi (Penjelmaan). Mereka berbicara tentang peng-Allahan. Jelas, seperti mereka, kita juga  tidak meng-Allahkan Yesus. Orang Islam akan sangat bergembira kalau dia mengetahui hal itu. Kita sebenarnya menolak hal yang sama. Seperti dikatakan oleh Romo Hayek, bahwa sebenarnya dalam Al Qur’an Yesus disebut dengan sifat-sifat yang dikenakannya kepada Allah’ (Hal 95-96).

c.      Penolakan Islam akan ke-Allahan Yesus mengingatkan kita akan penolakan Yesus oleh orang-orang Yahudi seperti yang disaksikan oleh Injil Yohanes. Mereka ingin membunuh-Nya bukan saja karena Ia meniadakan hari Sabat, tetapi juga karena Ia mengatakan bahwa Allah adalah Bapa-Nya sendiri dan dengan demikian menyamakan diri dengan Allah (Yoh 5:18; bdk 10:33). Yesus benar-benar menjadi teka-teki bagi orang-orang Yahudi (bdk 6:42; 7:12, 25-27,31,40-44-45-52). Dia bahkan dikatakan kerasukan setan (Yoh 7:20;8:48; 10:20).

 Seluruh kenyataan ini harus mengingatkan kita bahwa beriman kepada Yesus adalah benar-benar suatu anugerah. Dalam dialog iman dengan umat Islam, kita pasti bertumbuh dalam kesadaran iman ini.

Kiranya anugerah ganda ini membawa kita kepada doa dan usaha pengenalan yang lebih mendalam akan misteri Kristus (bdk Ef 3:14-21).

 

 

(4)      Maria ibu Yesus, dalam dialog iman.

Maria, ibu Yesus, dihormati pula oleh umat Islam. Al Qur’an mengenal kelahiran Yesus dari perawan Maria tanpa sentuhan seorang lelaki (S. Maryam :16-36). Tentang arti Surat Maryam mungkin baik dikutip di sini penjelasan yang diberikan pada penutup surat tersebut dalam Al Qur’an terbitan Departemen Agama: “Surat Maryam mengemukakan hal-hal yang perlu diperhatikan manusia apa bila mereka memikirkan kejadian-kejadian di alam semesta dalam hubungannya dengan Penciptanya; ada kejadian yang terjadi sesuai dengan sunnah Allah dan dapat dipikirkan oleh manusia, dan ada pula kejadian yang luar biasa, aneh lagi ajaib yang pikiran manusia tidak sampai kepadanya. Kejadian yang luar biasa ini terjadi pada orang-orang yang telah dipilih oleh Allah, dan dikemukakan kepada manusia agar mereka percaya kepada Allah Maha Pencipta.”[20]

Umat Islam menghormati Maria dan kerap berdoa atau memohon bantuannya dengan khidmad. Praktek penghormatan ini berbeda dari negara ke negara ataupun dari bangsa ke bangsa. Bagaimana situasinya di Indonesia? Dalam dialog iman, bagaimana kita dapat mewujudkan rasa hormat Gereja atas penghormatan umat Islam kepada Bunda Maria?

Dr. B. Parera mengajukan suatu pertanyaan sekaligus usulan sebagai berikut:  “Dapatkah misalnya dilakukan dua hal ini?

·       Menambahkan doa ini dalam litani St. Perawan Maria: ”Perawan yang di hormati oleh saudara-saudara kami umat Islam.”

·       Membuat lukisan Bunda Maria di mana tampak bahwa Maria juga dihormati oleh saudara-saudara Islam.”

 

(5)     Dialog iman tentang eskatologi.

Iman akan hari kiamat (= kebangkitan orang-orang mati) termasuk salah satu dasar iman Islam. Dalam keterangannya tentang ajaran rukun iman ini J. Bakker mencatat: ”Eskatologi Islam secara doktriner belum selesai: kemungkinan penampakan Tuhan dalam cahaya kemuliaanNya masih diperdebatkan antara para ulama, tiada konsensus; rakyat jelata senang-senang tentang cerita Mungkar dan Nakir; dan dengan lukisan surga yang terlampau sensual (S. Al Waaqiah : 12-37; S. Ar Rahman :70-76; S. An Naba’: 31; S. Al Surat Insaan : 12-20,dll)

Adanya iman akan penghakiman yang terakhir, kebangkitan orang-orang mati dan ganjaran kekal, pada agama Islam sangat menggembirakan. Dalam dasar dan lubuk hati kita yang terdalam kita mempunyai iman dan pengharapan yang sama, meskipun ini, sikap dan ungkapan iman kita mungkin berbeda. Bagi kita, hidup abadi itu terletak dalam mengambil bagian dalam hidup Allah sendiri (Yoh 17:3; 1 Yoh 1:1-4).

Hidup itu sudah dimulai di dunia ini meskipun masih dalam perjalanan dan belum sempurna. Hukum terutama dalam hidup abadi itu adalah kasih (Mat 22:34-40) dan kita akan diadili berdasarkan hukum ini (Mat 25:31-46). Dari sebab itu kita diminta untuk selalu hidup berjaga-jaga di hadapan Allah dan berjaga-jaga dengan penuh cinta menantikan kedatanganNya (Mat 24:37-44, 45-51, 25:1-13, 14-30). Hidup abadi itu suatu anugerah dan karena itu janganlah kita bersikap sebagai orang upahan (Mat 20:1-16).

Sekali setahun, Gereja mengajak kita untuk merenungkan secara mendalam hidup abadi itu. Kita diajak untuk hidup berjaga-jaga menantikan kedatangan Kristus. Itulah masa Adven. Pertanyaan: Bagaimana kita menghayati masa ini dalam dialog iman dengan saudara-saudari kita umat Islam? Pernahkah kita memikirkan hal itu?

Kematian adalah pintu gerbang ke hidup yang akan datang. Di sekitar kematian ada banyak ungkapan kepercayaan dan iman manusia. Karena kita mempunyai pengharapan yang sama, maka dialog iman dengan saudara-saudari kita umat Islam di sekitar kematian dapat membuka kehidupan baru.Umat Islam percaya akan kebangkitan orang mati. Dapatkah iman ini membuka pintu untuk suatu dialog tentang misteri Paskah?

 

(6)      Dialog iman tentang hidup moral dan ibadat.

Gereja mengakui bahwa umat Islam “menghargai hidup moral.” Pernyataan ini sangat pendek, tetapi perlu untuk membuka dialog. Memang dalam tradisi Islam lebih ditekankan hukum dari pada moral. Akan tetapi Al Qur’an banyak mengandung ajaran-ajaran moral yang tinggi. Misalnya, S. Al Baqarah :148 dan 177: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepada-Nya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Bukankah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu adalah kebaktian orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.”

Lalu mengapa Gereja tidak menyebut misalnya hal cinta? Bukankah hal itu disebutkan pula dalam Al Qur’an? (Bdk. S. Al Mumtahanah:7 tetapi lihat pula S. Al Mumtahanah:1). Mungkin karena ajaran cinta kasih tidak sentral dalam Al Qur’an; atau untuk menghindarkan segala kesalah pahaman?

 

Dari kelima rukun Islam, Vatikan II menyebutkan tiga, yakni doa, sedekah dan puasa sebagai perbuatan ibadah yang dihargai oleh Gereja. Memang Injil menyebut ketiga hal itu pula dalam polemik dengan orang-orang Yahudi (Bdk Mat 6:2-18). Kita dapat berbicara pajang lebar tentang tema ibadat. Kita membatasi diri hanya hal shalat saja. Pertanyaannya: “Apakah kita mau mendoakan ibadat pada waktu seperti mereka? Mengapa doa Angelus untuk kaum awam itu seakan-akan sudah hapus dari tradisi Kristiani?”

 

(7)     Dialog iman dan warisan sejarah.

 Dialog Kristen-Islam adalah pertama-tama dialog iman atau dialog antar manusia beriman. Akan tetapi sebagai manusia beriman,  kita hidup dalam dunia. Kita adalah sekaligus manusia sejarah, manusia politik, manusia budaya. Iman itu kita hayati dalam sejarah, dalam politik dan dalam budaya. Seluruh kenyataan ini dalam hidup yang nyata membentuk suatu perpaduan yang sangat kompleks, baik dalam hidup perseorangan maupun dalam hidup sebagai lembaga atau jemaat. Kerap kali seluruh kenyataan yang kompleks ini tidak kita renungkan secara mendalam, sehingga hidup iman kita tidak berkembang semestinya.

Konsili Vatikan II mengakui, bahwa dalam perjalanan sejarah tidak sedikit terjadi perselisihan dan permusuhan di antara umat Kristen dan Islam. Semuanya ini menciptakan halangan-halangan yang tidak kecil untuk dialog iman. Sebab itu Konsili menghimbau kepada semua saja ”supaya melupakan masa lampau.” Himbauan ini haruslah diberikan, tetapi tidak gampang untuk dihayati. Tetapi apa artinya “melupakan” di sini? Apa yang harus dikerjakan oleh Gereja supaya ”perselisihan dan permusuhan itu” dilupakan?

Warisan sejarah pertama yang menyulitkan dialog ialah warisan politik-ekonomi. Dalam dunia Islam, Gereja (kekristenan) diidentikkan dengan Barat. Dan siapakah Barat itu? Mereka adalah orang-orang dari kebudayaan Kristen, penguasa tunggal dunia sejak abad ke 16 dengan kolonialismenya, pengeruk kekayaan dunia, angkuh dalam keunggulan teknik dan militernya, penyebar kapitalisme dan Marksisme, biang keladi kemerosotan akhlak di dunia. Itulah sisi hitam dari sejarah dunia Barat yang tidak begitu mudah dapat dilupakan oleh dunia Islam. Dari mana Gereja di dunia Islam berdiri? Dia didirikan oleh Barat, kekuatannya didukung oleh dunia Barat dan wajahnya adalah wajah Barat. Itulah sisi ”hitam” dari Gereja tercinta yang kita warisi. Itulah “kesalahan” sejarah yang kita warisi karena Gereja hidup dalam dunia, suatu kesalahan yang menjadi tanggung jawab kita untuk disilih. Itulah derita politik yang harus ditanggung Gereja. Setiap zaman mempunyai dosanya sendiri.

Lalu dalam konteks ini apa yang harus dikerjakan oleh Gereja untuk menyelesaikan (menyilih) dosa-dosanya dan membina dialog iman dengan Islam?

 

Warisan sejarah kedua, yang kita terima dari dunia Barat adalah warisan fitnah dan prasangka terhadap Islam. Prasangka-prasangka buruk terhadap Islam, misalnya bahwa Islam itu agama fatalisme, agama legalistis, agama penuh ketakutan, agama yang memiliki banyak kelemahan dan agama fanatik. Seorang penulis Islam, bernama Rana Kabbani, menyatakan bahwa dia tidak buta terhadap penyalah-gunaan yang banyak dilakukan atas nama Islam; dia kagum akan Barat, tetapi juga tidak dapat mendiamkan warisan fitnah dan prasangkanya.

Dalam konteks ini, apa yang harus dikerjakan oleh Gereja untuk membuka jalan ke dialog iman dengan Islam? Sudah cukupkah Gereja memikirkan dan merenungkan semuanya ini dalam iman?

Sejarah itu bukanlah semata-mata sesuatu yang lampau. Dia hidup dan mempengaruhi masa sekarang. Warisan politik-ekonomi dan warisan fitnah dan prasangka itu menjadi beban yang tidak ringan dalam kebangkitan Islam. Kita tidak usah heran kalau sikap-sikap negatif berikut kadang-kadang muncul secara tajam: curiga, penolakan terhadap setiap bentuk pluralisme, iri hati serta ketakutan akan keberhasilan orang lain, fanatisme, sikap sektarian yang tidak membiarkan pihak lain memiliki pandangan lain, rivalitas, tuntutan-tuntutan sepihak dan pernyataan-pernyataan yang menegaskan kelebihan sendiri.

Panggilan dan tugas Gereja untuk menemukan dan menghayati dialog iman di tengah situasi semacam ini tidaklah ringan. Kami berikan contoh: apabila ada kecurigaan, Gereja bukan hanya tahu mengurangi kecurigaan, melainkan pula membangkitkan kepercayaan.

Lalu bagaimana harus menghadapi fanatisme, iri hati dan ketakutan? Dalam situasi semacam itu, dituntut dari Gereja kedewasaan iman yang lebih tinggi. Dialog antar agama membina dan memperkembangkan iman.

Kesulitan lain untuk mengadakan dialog sebagai akibat perkembangan sejarah, ialah tidak adanya keseimbangan dalam tingkatan intelektual dan ekonomi para peserta. Pada tahun 70-an, seorang penulis dari Tunisia, Prof. Muhammad Talbi, mencatat hal-hal sebagai berikut:

-            Dalam bidang ilmu, Kristianisme di abad ini telah memainkan peranan yang besar dalam memajukan ilmu, sebaliknya tidaklah demikian dalam dunia Islam. Dari dunia Kristen terdapat banyak ahli tentang Islam.

-            Perkembangan teologi Islam berhenti pada abad ke-12. dengan Al Ghazali: sesudah dia tidak ada tokoh-tokoh yang cukup berarti. Sebaliknya teologi Kristen terus menerus berdialog dengan pemikiran-pemikiran besar dan persoalan-persoalan zaman, sehingga selalu maju melalui krisis yang dialaminya.

 

 

 

                       Menatap masa depan Iman. 

 Kita telah merenungkan dialog Kristen-Islam sebagai dialog iman, dialog antar orang-orang beriman. Dari pihak kita, itu berarti kita mau menghormati ”benih-benih sabda” yang terdapat pada umat Islam, menghormati “kehadiran Allah yang penuh rahasia” di antara mereka dan mencari kepenuhan Terang Kebenaran yang dipantulkan oleh iman kita.

Penghormatan dan penghargaan kita terhadap benih-benih sabda itu kita wujudkan dengan manghayati iman kita secara mendalam dan mencari Terang Kebenaran yang menerangi seluruh umat manusia itu. Dialog iman menantang kita untuk memperdalam iman melalui renungan dan kehidupan, karena harta iman itu kita miliki ”dalam bejana tanah liat”(2 Kor 4:7) dan  “karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samara-samar…….Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna”(1 Kor 12:12). Dialog iman itu menantang dan mengundang kita untuk mengungkapkan kembali iman kita dengan lebih baik dan lebih jelas dalam konteks dunia Islam yang meminta kita untuk mempertanggung-jawabkan iman dan harapan kita (Bdk 1 Petr 3:-15). Hal ini sangat diperlukan Gereja di Indonesia karena teologi dan ungkapan iman kita, kita warisi dari suatu Gereja (Barat) yang tidak mengenal Islam.

Lalu apakah umat Islam mempunyai penghormatan dan pengharapan yang serupa terhadap kita? Kita tidak tahu! Tetapi setidak-tidaknya kita dapat berharap dan yakin!

Mengapa? Dalam dialog iman kita percaya pada Allah yang sama. Dia hadir di tengah dan di antara kita. Apabila kita benar-benar hidup dalam iman, maka kita percaya bahwa Allah akan bekerja di dalam saudara-saudara kita umat Islam, dan untuk melihat bahwa Dia berbicara dan berkarya melalui kita pula. Apabila Allah berkenan, Dia akan menganugerahkan rahmat pengakuan iman ini kepada mereka: ”Sungguh Allah ada di tengah-tengah kamu (1 Kor 14:25).”

Kristus adalah batu sandungan dalam dialog dengan Islam. Kenyataan ini harus menantang dan mengundang kita untuk mengenal Dia dengan lebih baik dan mengasihiNya dengan segenap hati. Memang Kristus adalah batu sandungan, tapi Dia telah datang, wafat di kayu salib dan bangkit untuk semua orang. Memang Dia menjadi batu sandungan, tetapi Allah telah mendamaikan dunia dengan diriNya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka (2 Kor 5:19).” Jadi dalam Kristus bisa ada perdamaian.

Benih sabda yang ada dalam pengakuan umat Islam tentang Kristus ialah bahwa Dia adalah Nabi. Kenyataan ini harus menantang Gereja di Indonesia untuk lebih memperdalam hal kenabian Kristus.

Dialog iman berarti berusaha dan terus menerus berusaha untuk memperdalam dan menghayati iman dengan lebih baik. Dari sebab itu, seorang Kristen yang mau hidup di dalam dialog iman dengan umat Islam mau tidak mau akan mendalami misteri-misteri pokok iman kita, seperti Tritunggal Yang Mahakudus, Inkarnasi (penjelmaan) dan Penebusan.

Dialog iman ini berarti pula dialog di dalam warisan sejarah hubungan Kristen-Islam yang amat kompleks. Bagaimana kita harus menatap masa depan di sini? Adalah menjadi tanggung jawab kita semua yang mau berdialog untuk mempelajari seluruh persoalan ini dengan lebih mendalam, dengan kepala dingin dan dengan penuh iman. Gereja harus berani keluar dari dirinya dan tidak boleh membiarkan dirinya dalam keamanan palsu.

 

        c.  Dimensi Pewartaan Dalam Dialog Antar Agama.

 

         1) Beberapa pertanyaan

              Makin pentingnya dialog antar iman pada zaman kita ini sebagai akibat semakin mendalamnya kesadaran akan keanekaragaman masyarakat. Dengan berkembangnya semangat dialog antar iman ini, banyak orang Kristen mulai bertanya-tanya :  ”Apakah dialog menggantikan mandat untuk mewartakan Injil? Apa hubungan antara dialog antar iman/agama dengan tugas pewartaan? Sejauh manakah pewartaan Injil masih relevan di era perkembangan dialog ini?”

 

         2)   Beberapa tipe mengenai sikap terhadap iman/agama lain.

      Dalam hubungan dengan agama Islam dan Muslim kita mencatat bahwa orang-orang Kristen sendiri mempunyai sikap berbeda-beda. Kerap kali sikap ini tergantung pada ide yang mereka miliki tentang Islam dan Muslim, di samping masalah ketidak-acuhan. Berikut ini diberikan contoh beberapa tipe yang ada:

(a)   Islam dipandang hanya sebagai salah satu agama lain saja.

          Orang-orang ini berpendapat bahwa anggota tiap kelompok religius diijinkan mengatur hal-halnya sendiri, sedangkan orang-orang lain tidak perlu campur tangan di dalamnya. Ada garis demarkasi jelas di antara agama-agama.

(b)   Interese pada dunia Islam dengan berbagai motif.

        Ada orang-orang yang merasa sudah puas dengan menilai komunitas Islam dari ”berbagai fakta” yang mereka baca dalam pers. Konklusi yang kemudian ditarik sering kali kurang tepat, bahkan salah sama sekali. Di samping itu ada juga orang-orang yang sungguh-sungguh mempunyai perhatian akan dunia Islam dan tidak puas dengan penilaian-penilaian yang tidak lengkap dan penuh prasangka itu.

(c)   Islam dipandang sebagai ideologi sosio-politis.

Mereka ini cuma memperhatikan segi diplomatis dan strategisnya. Dan ini tergantung pada pengaruh Islam dalam peristiwa-peristiwa dunia. Artinya, makna religius Islam itu dilalaikan, atau sama sekali tidak diperhitungkan.

 

(d)   Interese terhadap Islam dari sudut religius kultural.

Dalam sejarah agama-agama, Islam menggambarkan suatu kebudayaan, manifestasi pemikiran, atau suatu fenomena religius. Sudut pandang ini memang berguna bagi mereka yang ingin mengenal secara lebih baik agama-agama, tetapi tokh hanya berkisar pada permukaan saja, tidak masuk pada pengenalan mendalam tentang hakekat Islam.

 

3)     Mandat untuk mewartakan Injil.

            Mewartakan Injil adalah prioritas mandat Yesus yang bangkit yang diwarisi Gereja sepanjang sejarah. Ada dua bentuk pewartaan yang dapat kita catat, yaitu bentuk pewartaan dengan tujuan ”sentrifugal” dan tujuan “sentripetal.”

(a)  Bentuk pewartaan dengan tujuan sentrifugal.

                  Bahasa teologi dewasa ini semakin cenderung memberikan arti luas kepada pewartaan Injil dan bahkan mengidentifikasinya dengan misi Gereja. Segala aktivitas memajukan dan meneguhkan nilai-nilai dan ideal-ideal Kerajaan Allah terkandung dalam tugas pewartaan Injil. Tujuan ”sentrifugal” ini dijabarkan sebagai mengusahakan agar kekuatan Injil bertemu dan menggerakkan orang dalam berbagai situasinya untuk mencapai taraf hidup yang lebih manusiawi. Program kerja Yesus seperti terungkap dalam Luk 4:18-19 dipandang sebagai identik dengan tugas pewartaan Gereja ini. ”Roh Tuhan ada padaKu, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang”

(b) Bentuk pewartaan dengan tujuan sentripetal:

Kita mengenal pula pewartaan Injil dalam arti lebih sempit (tujuan “sentripetal”), yaitu suatu intensi untuk memanggil dan mengantarkan orang agar menerima Yesus Kristus sebagai Penyelamat dan/atau menjadikan orang anggota komunitas yang beriman kepadaNya. Dalam arti inilah pewartaan Injil dan dialog itu ada dalam situasi konflik.

Namun situasi tegang ini rupanya memang harus diterima dan dihayati dalam konteks panggilan dan karisma yang berbeda-beda. Barangkali justru situasi ini dapat sekaligus menjadi landasan dialog dan  “locus theologicus” yang subur.

 

Mandat untuk mewartakan Injil memang jelas dicatat oleh keempat Injil dan Kisah Rasul (Lihat Mat 28:18-20; Mrk 16:15-16: Luk 24:46-48; Kis 1:8; Yoh 17:18, 20, 21).

 

 

 

Mewartakan kabar baik kepada semua orang, memberikan kesaksian, menjadikan orang murid, membaptis, mengajar, dan lain-lain merupakan penjabaran dari mandat yang satu dan sama dari Yesus Kristus yang bangkit.

 

Tetapi kalau pewartaan itu berakibat penolakan dan bahkan penganiayaan serta bentuk-bentuk kesulitan lainnya terhadap murid-murid Tuhan, ini sudah merupakan konsekuensi logis. Kitab Suci sendiri memberikan contoh-contoh segar semacam itu. Sebagai misal, Petrus dan kawan-kawannya berkali-kali harus mempertanggung-jawabkan perbuatan dan kotbah-kotbahnya. Stephanus harus membela diri di hadapan Mahkamah Agama; lalu ia sendiri menuduh balik para hakim dan tua-tua Yahudi yang mendakwanya (Kis 7:51-53). Paulus memang sejak dipanggil sudah ditentukan untuk banyak menderita karena nama Yesus (Kis 9:16).

 

“Kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah. Semuanya ini Kukatakan kepadamu, supaya apabila datang saatnya kamu ingat bahwa Aku telah mengatakannya kepadamu (Yoh 16:2-4a; bdk Luk 10:16).”

“Siap sedialah pada waktu memberi pertanggungjawaban kepada  tiap-tiap orang yang meminta pertanggungjawaban tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat…(1 Petr 3:15).”

 

Dalam  praksis, Gereja harus menunjukkan solidaritas dan kerja sama dengan orang-orang lain terlebih dahulu sebelum berbicara tentang kesaksian dan pewartaan Injil (AG 11-13). “Sesuai  dengan situasi  dan kondisi konkret yang berbeda-beda, tugas perutusan itu dapat lebih menekankan kehadiran dan kesaksian di suatu tempat, pembangunan manusia seutuhnya dan dialog di tempat lain, dan pewartaan dan diskusi ilmiah di tempat lainnya lagi.” Demikianlah antara lain dikemukakan di dalam Dialogue and Proclamation No. 75-76.

 

Pelaksanaan mandat ini, seperti yang telah kita lihat, bukannya tanpa kesulitan. Dokumen Dialogue and Proclamation mencatat beberapa kendala itu, baik yang dari dalam maupun dari luar (No. 73-74).

Kendala dari dalam:

§      Kesaksian Kristen tidak sesuai/sejalan dengan iman. Artinya, ada gap antara kata dan perbuatan, antara pesan Kristiani dan hidup orang-orang Kristen.

§      Karena kalalaian dan rasa malu (“mempermalukan Injil”) atau karena orang memiliki ide-ide yang tidak tepat mengenai rencana keselamatan Allah.

§      Kurang menghargai dan menghormati orang-orang beriman lain dan tradisi religius mereka.

§      Superioritas kultural sementara orang Kristen. Mereka akan memaksakan nilai-nilai budaya mereka (yang dianggap identik dengan pesan Kristiani) kepada pentobat-pentobat baru yang berasal dari latar belakang kebudayaan lain.

 

Kendala dari luar:

·                          Sejarah sendiri membuat pewartaan Injil makin sulit. Metode-metode tertentu dalam evangelisasi di masa lampau telah membangkitkan ketakutan dan kecurigaan dari pihak orang-orang beragama lain.

·                    Pengikut-pengikut agama-agama lain takut bahwa misi evangelisasi Gereja akan mengakibatkan pengrusakan terhadap agama dan kebudayaan mereka.

·                    Beda pengertian mengenai hak-hak asasi manusia, atau kekurang hormatan atas hak-hak itu dalam praktek dapat mengakibatkan kekurang beresan beragama.

·                    Penganiayaan dapat menyebabkan pewartaan Gereja sangat sulit atau barang kali mustahil. (Tetapi dengan catatan bahwa salib adalah sumber hidup; ”darah para martir adalah benih bagi orang-orang Kristen dan bagi Kristianitas”).

·                    Identifikasi agama partikular dengan kebudayaan nasional atau dengan suatu sistem politik tertentu dapat menciptakan iklim tak toleran.

·                    Di beberapa tempat, pertobatan dilarang oleh hukum. Atau pentobat-pentobat ke kristianitas menghadapi problem-problem serius, seperti pengasingan dari komunitas agama asal dan dari lingkungan sosio-kultural mereka.

·                    Dalam konteks dunia yang pluralis, bahaya indifferentisme, relativisme dan/atau sinkretisme religius menciptakan kendala-kendala tertentu bagi perwartaan Injil.

 

4)     Dialog antar Iman/agama:

Dialogue and Proclamation no.9 mengatakan bahwa dialog dapat   dimengerti dengan berbagai cara:

·                    Pada level semata-mata manusiawi, dialog berarti berkomunikasi timbal balik demi tercapainya tujuan umum bersama; atau pada level yang lebih dalam, persatuan-persatuan (communion) antar pribadi.

·                    Dialog dapat mengerti sebagai sikap hormat dan persahabatan yang meresapi segala aktivitas misi evangelisasi Gereja. Inilah yang kita sebut sebagai “semangat” dialog.

·                    Dalam konteks keragaman agama, dialog berarti ”segala relasi yang positif dan konstruktif antar agama, relasi dengan individu-individu dan komunitas-komunitas beriman lain yang diarahkan untuk pengertian dan pengayaan timbal balik” dalam ketaatan kepada kebenaran dan dalam hormat kepada kebebasan. Dialog di sini mengandung baik kesaksian maupun pendalaman keyakinan masing-masing pihak.

      Redemptoris Missio No.55 menyatakan bahwa dialog antar agama adalah bagian dari misi Gereja. Sebagai metode dan cara untuk saling memahami dan saling memperkaya, dialog merupakan salah satu ungkapan misi Gereja. Dalam cahaya ekonomi keselamatan, tidak ada pertentangan antara mewartakan Kristus dan terlibat dalam dialog antar iman/agama. Keduanya memang berbeda, tetapi mempunyai hubungan erat. Meskipun Gereja dengan besar hati mengakui apa saja yang benar dan suci di dalam tradisi-tradisi religius lain seperti dalam agama Buddha, Hindu dan Islam yang memantulkan kebenaran dan menerangi manusia, Gereja tidak berhenti untuk mewartakan Kristus yang adalah jalan, kebenaran, dan kehidupan (Yoh 14:6; NA 2; Yohanes Paulus II, surat kepada sidang paripurna kelima FABC Bandung 23 Juni 1990.[21]

 

Sejauh diterima pandangan bahwa agama-agama pada prinsipnya merupakan usaha manusia mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai kemanusiaan itu sendiri, hakekat persona dan masyarakat - problem-problem kehidupan seperti kematian, penderitaan, pembangunan, konflik, dan lain-lain – orang-orang akan terdorong untuk melibatkan diri dalam dialog intens. Nostra Aetate (NA) memang merupakan sikap Gereja yang membuka diri, karena sadar akan pentingnya mencari jalan untuk mewujudkan persatuan antar umat manusia seperti yang dikehendaki oleh Yesus Kristus (Bdk Yoh 17:21).

 

Redemptoris Missio No.56 menyatakan bahwa lewat dialog, Gereja mencari cara untuk mengungkapkan “benih-benih sabda”(AG 11,15) dan “cahaya kebenaran yang menerangi semua orang” (NA 2) yang dijumpai pada individu-individu dan dalam tradisi-tradisi religius umat manusia.

 

Dengan kekayaan rohaninya, agama-agama atau partner dialog itu menantang Gereja untuk menemukan dan mengakui tanda-tanda kehadiran Kristus dan karya Roh Kudus di dalam tradisi-tradisi mereka. Juga Gereja didorong untuk menyelidiki secara lebih mendalam identitasnya sendiri dan untuk membagikan kesaksian mengenai kepenuhan wahyu yang ia terima dari kebaikan semua orang.

Artinya, di satu sisi dialog itu dapat saling memperkaya masing-masing pihak, yang pada gilirannya menghilangkan prasangka intoleransi dan salah pengertian. Di sisi lain, dialog mendorong orang untuk sampai pada penyucian batin dan pertobatan, sebagai buah bimbingan Roh Kudus yang berhembus kemana saja Ia mau (Bdk RM 12).

Redemptoris Missio No.57 menyatakan, bahwa dialog memang mempunyai berbagai macam bentuk dan ungkapan. Ada dialog antara para ahli untuk bekerjasama demi pengembangan akhlak dan perlindungan nilai-nilai religius. Ada dialog kehidupan, sebagai sharing pengalaman spiritual demi suatu masyarakat yang human dan bersaudara (Bdk Dialogue and Proclamation No.42).

 

Dalam bidang ini, peranan awam diakui sebagai tidak tergantikan.  Bahkan mereka dapat memberikan banyak kontribusi lewat riset dan studi. Disadari pula bahwa banyak misionaris dan komunitas-komunitas Kristen yang berada dalam kesulitan berdialog. Meskipun demikian, diharapkan bahwa mereka dapat memberikan kesaksian yang tulus tentang Kristus dan menjadi pelayan yang murah hati kepada orang-orang lain.

 

Dialog antar iman juga bukan tanpa kesulitan Dialogue and Proclamation No. 51-52 menulis, bahwa dialog  biasa saja tidak selalu gampang. Jauh lebih sulit lagi dialog antar iman/agama. Faktor-faktor manusia sangat mempengaruhinya. Kendala-kendala ini antara lain:

(a)   Orang tidak cukup berakar pada imannya sendiri.

(b)   Tidak cukup pengetahuan dan pengertian akan kepercayaan dan praktek-praktek agama-agama lain, yang menyebabkan kurangnya apresiasi akan maknanya, dan akhirnya juga mempunyai gambaran salah mengenai agama atau kepercayaan lain.

(c)   Perbedaan-perbedaan budaya, tingkat-tingkat pendidikan, pemakaian bahasa-bahasa yang berbeda.

(d)   Faktor-faktor sosio politik atau sejumlah beban masa lalu.

(e)   Salah pengertian akan arti ungkapan-ungkapan seperti pertobatan, pembaptisan, dialog, dan lain-lain.

(f)    Self-sufficient (cukup diri), kurang terbuka yang menyebabkan sikap-sikap defensif atau agresif.

(g)   Kurang yakin akan nilai dialog antar agama. Dialog hanya dilihat  sebagai tugas spesialis, atau hanya sebagai tanda kelemahan atau bahkan sebagai pengkhianatan iman.

(h)   Kecurigaan akan motif-motif orang-orang lain (partner) dialog.

(i)    Sikap polemik dalam mengungkapkan keyakinan-keyakinan agama.

(j)    Intoleransi, yang sering diperberat oleh asosiasi politik, ekonomi, rasial dan factor-faktor etnik. Kekurangan timbal-balik dalam dialog dapat menyebabkan frustrasi.

(k)   Ciri-ciri tertentu dunia dewasa ini, seperti tumbuhnya materialisme, ketidakacuhan religius dan pelipat gandaan sekte-sekte religius, menciptakan kebingungan dan meningkatkan problem-problem baru.

 

Uskup-uskup se-Asia (FABC) memberikan beberapa alasan mengenai pentingnya dialog:

·       Dalam dunia yang terbagi-bagi karena keyakinan agama, iman, dan ideologi yang berbeda-beda dan yang diwarnai oleh konflik-konflik, dialog menjadi sangat mendesak. Alasannya, demi harmoni dan perdamaian dunia yang dapat dibangun di atas dasar nilai-nilai luhur yang ada dalam tradisi-tradisi religius dan ideologi-ideologi humanis.

·       Dialog juga merupakan realisasi kesadaran akan  perintah  Allah untuk mencintai sesama. Melalui dialog, orang-orang Kristen bertumbuh dalam kesadaran akan kerekanannya dengan Allah dalam memajukan datangnya Kerajaan itu. Artinya, dialog mengarahkan orang kepada komitmen pastoral yang baru dan lebih ekstensif; melepaskan Gereja dari bahaya ghetto; menyatakan bahwa Gereja siap untuk suatu proses perubahan dan sekaligus memainkan peranan sebagai Gereja yang melayani; menjadikan Gereja komunitas doa karena kesadaran akan proses saling memberi dan menerima.

 

5)    Maksud tugas pewartaan.

 

(a) Pewartaan dialogal.

   Injil dan Surat-surat Yohanes secara mendalam mencatat bahwa ada interaksi antara pewartaan dan dialog. Ciri menonjol dari pewartaan Yohanes adalah membagikan pengalamannya sendiri sedemikian rupa sehingga sampai pada taraf interaksi yang responsif. “Hidup itu telah dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan sekarang kami bersaksi dan memberikan kepada kamu tentang hidup kekal, yang ada bersama-sama dengan Bapa dan yang telah dinyatakan kepada kami. Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritahukan kepada kamu juga, supaya kamupun beroleh persekutuan dengan kami” (Yoh 1:41,45-47; 4:29).

 

 

   Komisi Dialog dan Ekumene Konferensi Uskup-Uskup India mencatat, bahwa baik dialog maupun pewataan tentang Yesus Kristus itu termasuk misi Gereja di dunia. Dialog tidak dapat menjadi suatu peluputan dari atau suatu substitusi (mengganti) dari tugas pewartaan. Sejauh menyangkut orang-orang Kristen, dialog yang tulus dengan iman yang dalam akan Kristus melibatkan kesaksian (penyaksian) akan Dia. Dialog merupakan suatu sharing yang tulus akan iman seseorang yang dicirikan oleh keterbukaan kepada segala bentuk kebenaran.

Pewartaan Injil memang adalah suatu penawaran atau pemakluman dalam semangat dialog. Kabar Gembira tidak dapat dipaksakan atau diteruskan dengan tipu daya atau kelicikan. Ia hanya dapat disharingkan oleh dan dengan partner yang siap menerimanya dengan gembira.

Bentuk pewartaan Injil apapun yang melupakan semangat dialogal ini adalah merupakan pengkhianatan terhadap Yesus Kristus yang datang untuk memenuhi dan bukan untuk menghapuskan.

Dalam praktek, kedua dimensi misi ini (pewartaan dan dialog) bersama dengan karya pembebasan, perlu mendapatkan porsi yang seimbang. Hanya dengan ini, barangkali ketiganya menemukan ke-saling melengkapinya dalam hidup tiap orang dan di dalam komunitas-komunitas Kristen. Seperti diusulkan di atas, kita harus menghormati panggilan yang berbeda-beda itu, yang masing-masing menekankan salah satu aspek khusus dari keseluruhan kesaksian Gereja di dunia, tanpa menyangkal aspek-aspek lainnya.

 

(b)     Demi Kerajaan Allah.

   Untuk mengerti mandat pewartaan dan panggilan dialog ini, perlulah orang mengambil disposisi dan perspektif luas, yakni “Demi Kerajaan Allah.” Kita semua adalah peziarah atau pengembara menuju ke ”saat” Allah memerintah atas seluruh bangsa manusia (Bdk GS 1).

   Komisi Dialog dan Ekumene Uskup-uskup India menegaskan: ”Dialog itu sendiri adalah perwujudan Kerajaan, karena dialog mengundang kepercayaan, keterbukaan dan penerimaan. Dialog juga merupakan panggilan kepada masing-masing peserta untuk tumbuh ke arah ideal yang dimiliki semua orang beriman, meskipun mereka memakai kategori-kategori berbeda. Dialog macam ini mengandung suatu panggilan ke pertumbuhan dan pertobatan batin.”

  

   Yohanes Paulus II banyak kali menggarisbawahi pentingnya dialog dan kerja sama antar orang-orang beriman. Misalnya, dia menyatakan: “Gereja perlu mencari kemungkinan-kemungkinan baru dalam dialog dan kerja sama dengan penganut-penganut agama-agama lain dan dengan semua orang yang berkehendak baik, supaya cinta dan persaudaraan menang atas kebencian dan permusuhan” (Istambul, 30 Nopember 1979).

   Misi Gereja bertujuan untuk membantu realisasi Kerajaan Allah secara lebih luas. Konsili Vatikan II menulis “Karya misioner tidak lain dan tidak kurang dari pengejawantahan atau  penampakan rencana Allah serta pemenuhannya di dunia dan sejarahnya. Dalam sejarah itu Allah menyelesiakan secara nyata secara nyata sejarah keselamatan melalui karya misioner (AG 9).” Secretariatus Pro Non-Christianis, menyatakan bahwa tujuan dasar misi adalah untuk memajukan persatuan bangsa manusia yang terbagi-bagi dan mengusahakan penyembuhan luka-lukanya. Gereja, karenanya, maju sedikit demi sedikit menuju ke Kerajaan Allah dan pemenuhannya dalam communion sempurna seluruh bangsa manusia sebagai saudara-saudara di dalam Allah.

   Gereja sebagai abdi Kerajaan memajukan dua arah kebijaksanaan yang saling berkaitan (Redemptoris Missio 17). Di satu pihak, Gereja mengakui dan memajukan “nilai-nilai kerajaan”, seperti kedamaian, keadilan, kebebasan, persaudaraan, dll. Di lain pihak, Gereja menggalakkan dialog dengan orang-orang, budaya-budaya, dan agama-agama sedemikian rupa sehingga dengan saling memperkaya, ia dapat membantu dunia menuju ke pembaharuan dan semakin dekat ke Kerajaan. Gereja mendapat mandat untuk mengumpulkan “yang tercerai berai” dan mempersatukannya, bukan memecah belah.

   Kerajaan itu adalah suatu realitas universal, melampaui batas-batas Gereja. Di sini Gereja mempunyai peranan yang unik dan tidak tergantikan.

   Paulus VI, seperti dikutip dalam Redemptoris Missio 19, menyatakan bahwa Gereja bukanlah tujuan di dalam dirinya sendiri, melainkan terarah untuk menjadi milik Kristus, dalam Kristus dan bagi Kristus, dan juga sepenuhnya dari manusia, di antara manusia, dan bagi manusia. Ini jelas berdasar pada Kristus yang tidak hanya mewartakan Kerajaan tetapi bahwa di dalam diriNya sendiri Kerajaan itu hadir dan terpenuhi.

 

 

    (c)    Selanjutnya……….

               Tujuan dialog seperti digaris bawahi oleh Secretariatus Pro Non-Christianis, bukanlah untuk “mentobatkan” pihak yang lain (partner dialog). Juga bukan untuk membuat mitra dialog itu meragukan imannya. Sebaliknya, dialog itu bertujuan untuk merangsang mereka yang terlibat (partisipan) untuk tidak tinggal diam malas pada posisi yang sudah dimilikinya. Dialog membantu semua pihak dalam menemukan jalan untuk menjadi orang-orang yang lebih baik, dan memperbaiki relasinya satu sama lain sedemikian rupa, sehingga membuat dunia secara keseluruhan menjadi suatu tempat yang lebih baik untuk dihuni.

               Dialog antar iman/agama yang tetap memberi tempat bagi pewartaan dapat menjadi landasan bagi suatu “teologi kerukunan” atau “teologi rekonsiliasi/perdamaian” antar umat manusia (bdk Ef 2:14-17; 2 Kor 5 :18).

               Dalam hal ini orang tidak bisa melalaikan Islam sebagai suatu gerakan religius yang besar, yakni iman dan gerakan menuju Allah dan realisasi final semua potensi manusia. Bila gagal sampai pada tingkat ini, orang membuat diri dungu dalam dialog Muslim-Kristen atau Islam-Kristianitas. Demikianlah antara lain pernyataan Secretariatus Pro Non-Christianis.

               Konsili Vatikan II mengungkapkan rasa penghargaan dan hormat kepada kaum Muslim, bukan dari sudut oportunis atau perhitungan lainnya, melainkan  karena mereka mensharingkan iman yang membawa mereka dekat dengan orang-orang Kristen. “Orang tidak akan tahu Islam sungguh-sungguh bila orang tidak mengertinya sebagai orang yang beriman. Orang tidak akan memahami Muslim benar-benar sampai orang menemukan dalam diri Muslim itu nilai-nilai religius yang dihayatinya.” Itulah juga yang dinyatakan oleh Secretariatus Pro Non-Christianis.

               Karena itu, satu disposisi dasar yang perlu diambil oleh para partisipan dalam dialog antar iman adalah kesetiaan kepada kebenaran dan persahabatan yang tidak egois. Untuk sampai pada taraf ini, hal-hal elementer di atas, seperti yang dianjurkan Secretariatus Pro Non Christianis, perlu menjadi bahan acuan kita.

 

 

 



[1] A.A. Mawdudi, Towards Understanding Islam, (London: Islamic Foundation, 1980), hal.17. Bdk. Philipus Tule, SVD., Mengenal dan Mencintai Muslim dan Muslimat, (Maumere: Ledalero, 2003), hal. 19-20.

[2] Philipus Tule, SVD., Mengenal dan Mencintai Muslim dan Muslimat, (Maumere: Ledalero, 2003), hal.20.

[3] M.Shaltut, Islam sebagai Aqidah dan Shari’ah, terjemahan A.Gani & B.Hamdani Ali (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hal 15. Bdk. Philipus Tule, SVD., Ibid. hal 20-21.

[4] A.A.Al-Madoosi, Living Religions of the World: A Socio-political Study, (Karachi: Begum Asiha Bawahi Wakf, tanpa data), hal 7-8. Bdk. Philipus Tule, SVD., Ibid.

[5] Philipus Tule, SVD., ibid. hal. 24.

[6] Samartha, SJ., Courage for Dialogue (New York: Orbis Books, 1981), hal 11-12. Bdk. Philipus Tule, SVD, ibid. hal 4.

[7] Philipus Tule, SVD., ibid. hal 5

[8] Sandiwan Suharto dan Suhendro, Ziarah Sang Abdi Bapa Suci Yohanes Paulus II (Jakarta: P.T. Gramedia, 1989), hal 83.

[9] Lihat catatan dari Philipus Tule., SVD., ibid hal 13.

[10] Komaruddin Hidayat, Ketika Agama Menyejarah (Jakarta: IAIN Syarif Hidayattullah, 2001), hal 26-27. Bdk. Philipus Tule, SVD., ibid. hal 17.

[11] Kabilah berarti suku; kelompok; berasal dari bahasa Arab. Milik kabilah = milik suku, milik kelompok, bukan milik pribadi.

[12] Cyril Glasse, ENSIKLOPEDI ISLAM RINGKAS, (Jakarta: PT Grafindo Persada, Cet ke 3, 2002), hal. 187.

[13] Khalifah berarti pengganti, wakil, gelar jabatan pemimpin keagamaan atau pemerintahan. Seperti: Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, dll.

[14] Abu Su’ud, ISLAMOLOGI (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), p. 260

[15]Maulana Muhammad ‘Ali, Dinul Islam (Jakarta: Daru’l Kutubi’l Islamiyah di Lahore dan PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1976) hal 175-177.

[16] Syari’at adalah ajaran Islam yang menetapkan peraturan-peraturan soal hidup umat dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia berdasarkan firman Tuhan, hadits dan fiqh.

[17] Khawarij adalah golongan dalam tentara Ali yang kemudian justru menolak Ali dengan tidak menyetujui gencatan senjata dalam perang Siffin melawan Mu’awiyah. Golongan ini keras dalam aturan keberagamaan. Pandangan pokoknya ialah kehidupan yang baik. Mereka menganggap bahwa dirinya satu-satunya golongan yang kuat dalam memegang semua ajaran dan hukum Islam.

[18] Hadas berarti keadaan sedang tidak suci menurut ketentuan syara’, maka harus disucikan terlebih dahulu sebelum memenuhi syarat menunaikan ibadah tertentu. Dibedakan menjadi hadas besar dan hadas kecil.

[19]  J. Bakker SJ, dalam piagam” Nostra Aetate” Vatikan II: Tafsiran Zaman kita, Zaman Dialog Antar Agama, Serie Orientasi No.8, (Yogyakarta: Kanisius, 1972).

[20] Departeman Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Dan Terjemahannya (Jakarta: PT Serajaya Santra, 1986/1987), hal 437.

[21] SPEKTRUM XIX (1991) No 2,3 dan 4,  hal 42.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar