ISLAMOLOGI
- PENGERTIAN
- Pengertian Islam
- Islamologi
- Latar belakang studi Islamologi
- STUDI ISLAM DAN
RUANG LINGKUPNYA
- Studi Islam Normatif
- Studi Islam Non Normatif
- Studi Aspek Budaya
dan Masyarakat Islam
- NABI MUHAMMAD SAW.
- Riwayat Singkat Hidupnya.
- Muhammad Adalah Penutup Sekalian Nabi
c. Sesudah
Muhammad Masih Perlukah Kedatangan Nabi Isa Untuk Kedua Kalinya?
d. Isa bin Maryam
Tidak Mengadili Kaum Muslim
- TEOLOGI ISLAM
- Pengertian Teologi
- Aliran Teologi dalam Islam
- Rukun Islam
- Rukun Iman
- Hukum Islam
5. FILSAFAT DAN TASAWWUF DALAM ISLAM
a. Filsafat Dalam Islam
b. Tasawwuf Dalam Islam
c. Perbedaan Antara Filsafat Dengan Tasawwuf
- DIALOG ANTAR UMAT
KRISTEN DENGAN UMAT ISLAM
- Dialog Antar Umat
Beragama, Essensi Dan Kendala-kendalanya.
- Dialog Antar Umat
Kristen Dengan Umat Islam, Sesuai Penyataan Konsili Vatikan II
- Dimensi Pewartaan Dalam Dialog Antar Agama
7. PAHAM-PAHAM
AGAMA ISLAM DI INDONESIA
a.
Paham yang diikuti oleh banyak sekali umat Islam, dan
telah memainkan peranan penting dalam pergaulan internal umat Islam di
Indonesia, yaitu:
(1)
Muhammadiyah
(2)
Nahdlatul Ulama (NU)
b.
Paham yang kehadirannya
telah memberikan dampak berupa “kegiatan sosial” atau keresahan sosial yang
cukup berarti:
1.
Ahmadiyah
2.
Lembaga Dakwah
Islam Indonesia (LDII)
3.
Darul Arqom
4.
Inkarus Sunah
5.
Gerakan Usroh
6.
Jamaah Tablig
7.
Al Qiyadah Al Islamiyah
8.
Aliran Sorga Eden
9.
Aliran Brayat Agung
10.
Aliran Humalea
(Puangmalea)
ISLAMOLOGI
1.
PENGERTIAN
a.
Pengertian Islam
-
Islam bukan Muhammadanisme
Kalangan Muslim tidak menyenangi penggunaan term
Muhammadanisme sebagai sinonim dengan Islam. Kendatipun Islam dikenal sebagai
agama yang diterima dan dibawa oleh Muhammad SAW. (Sallallahu ‘Alaihi Wa
Sallama, yang berarti: Semoga Tuhan memberkatinya dan damai atasnya), namun
penamaannya bukan hasil ijtihad atau hasil olah pikir pribadi Muhammad sendiri.
Melainkan Muhammad menerimanya secara langsung dari Allah SWT (Subhanahu Wa
Ta’ala, yang artinya:
Penamaan Islam dengan sebutan Muhammadanisme oleh
orang Barat, menurut pandangan yang berkembang di kalangan Muslim, rupanya
dipengaruhi oleh kebiasaan menyebutkan Kristianisme, Hinduisme, Budhisme dan
lain-lain. Abu A’la Mawdudi, seorang intelektual dan penulis tenar dari
-
Islam bukan singkatan dari kelima waktu Sholat Wajib.
Kebanyakan orang beranggapan bahwa kata Islam adalah
merupakan singkatan dari nama kelima waktu sholat wajib Islam, yakni Isya’,
Subuh, Lohor, Ashar, Maghrib. Pandangan tersebut tidak dapat
dipertanggungjawabkan baik berdasarkan Al-Qur’an maupun Hadits. Apabila kelima
waktu sholat wajib itu ditransliterasikan secara benar, maka akan nampak
sebagai berikut: ‘Isya’, Subh, Dhuhur, ‘Ashr dan Maghrib[2].
-
Islam menurut artian Etimologis
-
Islam menurut artian Terminologis
Setelah kita melihat arti etimologisnya, kini kita
mencoba melihat makna terminologisnya. Banyak ahli yang mengajukan arti Islam
sebagai Wahyu Ilahi. Syeikh Mahmud Shaltut dari Universitas Al-Azhar (Kairo)
merumuskan sebagai berikut: “Islam adalah
agama Allah yang diperintahkan kepada Nabi Muhammad SAW., untuk mengajar
tentang pokok-pokok serta peraturan-peraturan dan menugaskannya untuk
menyampaikan agama tersebut kepada seluruh manusia serta mengajak mereka untuk
memeluknya.”[3]
Sementara itu Ahmad Abdullah Al-Madoosi, cendekiawan
dari Urdu College, Karachi (Pakistan), menulis bahwa: “Agama (Islam) adalah kaidah hidup yang diturunkan kepada manusia dari
masa ke masa sejak manusia menghuni bumi ini dan terwujud dalam bentuknya yang
terakhir dan sempurna dalam Al-Qur’an
yang diwahyukan Tuhan kepada nabi-Nya yang terakhir Muhammad SAW, satu kaidah
hidup yang memuat tuntunan yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup manusia,
baik spiritual maupun material.”[4]
Dari kedua rumusan tersebut dapatlah dimengerti bahwa
Islam tidak saja dipahami sebagai suatu sistem keagamaan murni (ad-din) tetapi
juga sebagai pengatur dimensi hidup manusia. Islam pun memberikan pelbagai
patokan normatif untuk sistem budaya, sosial, ekonomi dan politik (al-dawla).
Karena itu sering kita mendengar ungkapan klasik yang mengatakan bahwa Al-Islam
din wa dawla (Islam agama dan Negara).
-
Islam menurut Al-Qur’an
Di dalam Al-Qur’an kata
Al-Islam mengandung beberapa pengertian sebagai berikut:
a)
Islam adalah lawan dari
shirk (Al An’aam:14)
Katakanlah:
Sesungguhnya aku diperintahkan supaya aku menjadi orang yang pertama kali
menyerah diri (kepada Allah), dan janganlah sekali-kali kamu masuk golongan
orang-orang mushrik.
(Innani umirtu an akuna awwala man aslama wa la takunanna min
al-mushrikina).
b)
Islam adalah lawan dari
kufr (Ali ‘Imran: 80)
Apakah dia
menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah menganut Islam? (Aya’murukum
bil-kufri ba’da id antum muslimuna?).
c)
Islam sinonim dengan ikhlas
pada Allah (An Nisaa’:125)
Dan
siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah. (Wa man
ahsanu dinan mimman aslama wajhahu lillahi).
d)
Islam adalah ketundukan, kepatuhan dan penyerahan diri
pada Allah.
Az Zumar:54 : Dan kembalilah
kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab
kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). (Wa anibu ila rabbikum wa aslimu lahu min qabli an ta’tiyakum al-‘adabu
thumma la tunasaruna).
b.
Islamologi
Islamologi adalah ilmu
tentang agama Islam.
Ilmu:
Ilmu ialah suatu kegiatan studi atau penelitian
tentang sesuatu yang disusun dalam suatu sistim
atau metode yang lazimnya tergantung pada fakta yang diamati dan
dieksperimentasi serta tergantung pada hukum-hukum alam yang umum, sehingga
diperoleh kebenaran-kebenaran baru dalam ranah tertentu.
Islam:
Islam di sini dipahami dengan makna yang berbeda-beda
antara dua kelompok. Kelompok pertama yakni kaum beriman Muslim yang
memandangnya sebagai norma dan ideal keagamaan. Sedangkan kelompok kedua yakni
para cendekiawan, baik Muslim maupun Non Muslim yang lebih memandangnya sebagai
suatu obyek studi dan sasaran penelitian.
Dalam kaitan dengan ‘norma’, suatu perbedaan jelas
hendaknya dibuat antara Islam normatif dan Islam aktual. Islam normatif adalah
Islam ideal atau Islam yang dicita-citakan sebagaimana tersurat dan tersirat
dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah yang autentik, tetapi yang belum tentu
terwujud dalam tingkah laku sosial politik umat Islam sehari-hari. Dalam Islam
normatif itu termuat segala ketentuan, norma-norma dan nilai-nilai yang
diterima umat Islam sebagai perwujudan wahyu Ilahi.
Sedangkan Islam aktual adalah Islam historis atau
Islam sejarah sebagaimana yang telah dipahami dan diterjemahkan ke dalam
konteks sejarah oleh umat Islam dalam menjawab aneka tantangan yang kompleks
dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan budayanya. Di dalam Islam aktual
itulah tercakup aneka gerakan, praktek dan cita-cita yang ada dalam masyarakat
Islam di pelbagai zaman dan tempat.
Dari sudut pandangan ilmiah,
kita tidak beralasan untuk mengatakan bahwa suatu masyarakat Islam tertentu
dapat mewakili Islam normatif ataupun Islam ideal lebih baik dari masyarakat
Islam lainnya. Oleh karena itu, studi tentang ajaran (doktrin) Islam yang
universal hendaknya senantiasa dibarengi dengan usaha memahami aneka pola
penghayatan iman di pelbagai komunitas Muslim lokal yang diharapkan mampu
menjelaskan pelbagai cita-cita dan praktek ke-Islaman yang beraneka ragam.
Kendati Islam diterima sebagai kebenaran abadi yang bersifat universal dan
berlaku di segala tempat dan zaman, namun cita-cita dan prakteknya harus
dipelajari sebagaimana ‘adanya’ pada tempat dan zaman yang berbeda-beda. Sealur
dengan pandangan ini, studi antropologi Islam sebagaimana dirintis oleh
Evans-Pritchard (1949), Geertz (1960),
Bowen (1993), Heffner (1985), Barnes (1995, 1996), dan lain-lain merupakan
sumbangan besar dalam studi Islam.[5]
c.
Latar belakang studi Islamologi
Pada awal mula timbulnya studi Islam, terdapat
prasangka yang berkembang di kalangan Muslim bahwa proselitisme dan apologetika
merupakan motivasi utama dari orang-orang Kristen dalam mempelajari Islam. Proselitisme adalah usaha
atau ide yang berikhtiar menarik dan meyakinkan seseorang untuk menganut suatu
agama ataupun Partai Politik baru yang berbeda dengan yang telah dianutnya.
Sedangkan apologetika adalah suatu seni, ilmu dan praktek berargumentasi dalam
pembelaan atau penjelasan suatu ideologi, kepercayaan dan lain-lain. Dewasa
ini, nampaknya orang-orang Kristen mempelajari Islam bukan karena kedua hal
tersebut. Mereka memiliki motivasi luhur dalam mempelajari Islamologi. Di
antara begitu banyak motivasi patut dikemukakan ketiga hal yang berikut:
1) Motivasi
Ilmiah
Dalam
tingkat akademis dan filosofis sebagaimana yang dilakukan dalam dunia
pendidikan tinggi, para mahasiswa dituntut untuk melakukan refleksi ilmiah
tentang berbagai realitas. Salah satu realitas di dunia umumnya dan di
2) Motivasi
Ideologis
Ideologi dan falsafah Negara sebagaimana tersurat
dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 serta pelbagai peraturan
perundang-undangan lainnya menghimbau segenap rakyatnya, termasuk masyarakat
akademis untuk senantiasa membina dialog antar agama. Kendatipun ada segelintir
kelompok minoritas fanatik dan berpikiran sempit berikhtiar menaburkan benih
konflik antar Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA), himbauan-himbauan
moral untuk kerukunan dan toleransi senantiasa dikumandangkan untuk:
a) Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai
dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab.
b) Hormat-menghormati dan bekerja sama antar pemeluk
agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina
kerukunan hidup.
c) Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaannya.
d) Tidak memaksakan satu agama dan kepercayaan kepada
orang lain.
Tak dapat dipungkiri bahwa suatu hal yang dapat
memupuk dan menunjang terwujudnya keempat butir pemikiran toleransi tersebut
adalah faktor pengenalan, pengetahuan atau pemahaman tentang agama lain,
khususnya Islam. Kita diajak untuk mengenal persamaan dan perbedaan antar
agama-agama serta keunikan dogmatis dan ritual yang dimiliki oleh agama
tertentu. Berdasarkan pertimbangan itulah maka studi Islam ini kita lakukan
sebagai orang Katolik agar memperoleh pemahaman, pengetahuan serta wawasan
dasar tentang agama Islam.
3) Sikap Gereja Post Konsili Vatikan II yang semakin
dialogal
Konsili Vatikan II telah menandai
suatu era baru dalam Gereja yang semakin dialogal dan terbuka terhadap
agama-agama dunia, khususnya Islam. Oleh karena itu, kita para anggota Gereja
dan khususnya para calon tokoh Gereja hendaknya memiliki sikap baru itu. Kita
juga diharapkan untuk menyebar-luaskan sikap baru dan positif itu. Adapun sikap
baru Gereja itu timbul dan berkembang dari pelbagai macam faktor, seperti:
a) Faktor Internal Gerejani
Kita memahami bahwa pada
masa sebelum Konsili Vatikan II, Gereja bersikap monolog dalam struktur dan
mentalitasnya. Namun sikap baru yang diprakarsai oleh Kardinal Nicolas dari
Cusa mencapai puncaknya pada Konsili Vatikan II. Gereja sebagai institusi mulai
menerima dialog sebagai suatu panggilannya yang fundamental. Gereja tidak lagi
mengacu pada adagium (prinsip dan ajaran) lama bahwa Extra Ecclesiam Nulla
Salus (Di luar Gereja tidak ada keselamatan). Sebaliknya, Gereja mulai menerima
kemungkinan adanya benih-benih keselamatan di luar Gereja.
Sikap
baru itu terungkap jelas dalam pelbagai dokumen Konsili Vatikan II, seperti
Nostra Aetate, Ad Gentes dan Lumen Gentium, serta ensiklik-ensiklik Paus,
seperti Pacem in Terris, Ecclesiam Suam dan Populorum Progressio. Term dialog
yang dipandang sebagai norma dan ideal mulai diperkenalkan kepada Gereja oleh
Paus Paulus VI dalam ensikliknya Ecclesiam Suam pada tanggal 6 Agustus 1964.
Faktor-faktor internal gerejani yang mendorong timbulnya sikap dialog itu dapat
dikategorikan sebagai berikut:
(a) Faktor Biblis-Kristologis
Kendatipun makna dari dialog itu
masih kabur dan dipahami secara berbeda, tokh bagi orang Kristen term tersebut
telah berakar pada tradisi yang sangat tua dan bersumber pada Injil. Pola
dialog itu sesungguhnya mencontoh dari pola hidup Yesus sendiri. Yesus Kristus
yang diutus ke tengah-tengah domba yang hilang dari rumah Israel senantiasa
berusaha mengatasi pelbagai rintangan sosial, politik dan agama. Ia berbicara
dengan seorang Samaria (Luk 17:11-19; bdk. Luk 9:51-56). Ia mendengarkan
seorang wanita Samaria (Yoh 4:1- 42). Ia mengagumi iman si kepala pasukan
Romawi yang hambanya disembuhkan (Mat 8:5 – 13 dan Luk 7: 6 – 9). Menanggapi
ungkapan perasaan batin terdalam dari kepala pasukan Romawi yang berkata:
“Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku, katakan saja sepatah
kata, maka hambaku itu akan sembuh”, Yesus justru mengagumi imannya yang besar
itu. Kata-Nya: “Iman sebesar ini, tak pernah Ku-temukan di kalangan umat
Israel”. Dapat dikatakan bahwa seluruh hidup Yesus ditandai oleh elemen-elemen
komunikasi iman yang terbuka dan dialogal. Kitab Suci mengemukakan dengan jelas
bahwa Yesus sering melewati waktu-Nya dalam kesunyian (diam), dalam aksi
(mengajar) dan dalam dialog.[6]
Oleh karena itu, setiap orang
Kristen hendaknya meniru teladan Yesus, sebagaimana diamanatkan Petrus,
rasul-Nya yang pertama: “Tetapi kuduskanlah Kristus dalam hatimu sebagai Tuhan!
Dan siap-sedialah setiap waktu untuk memberi pertanggungan-jawab kepada
tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang harapan yang
kamu miliki. Lakukanlah itu dengan lemah lembut dan hormat.”(1 Petr 3:15 – 16).
Dengan demikian mereka akan tahu bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, jika kamu
mencintai satu sama lain.
(b) Contoh Hidup Para Kudus
Di antara sekian banyak contoh
yang patut diangkat dari sejarah misi Kristen dalam kaitannya dengan dialog
adalah kesaksian hidup St. Fransiskus dari Asisi dan Charles de Foucauld.
Fransiskus yang pendiri Ordo Fratum Minorum (OFM) dalam Regola Non Bollata
(1221) menulis sebagai berikut:
“Para sesama saudara (Fransiskan), yang oleh inspirasi
Ilahi berkeinginan pergi ke tengah orang Muslim…boleh membina kontak spiritual
dengan mereka (Muslim) dalam dua jalan. Jalan pertama yakni tidak
berargumentasi dan berdebat, tetapi hendaknya mereka lebih menjadi subyek cinta
Allah dan memberi kesaksian bahwa mereka adalah orang-orang Kristen. Jalan
kedua yakni bila mereka melihat bahwa situasi berkenan kepada Allah, hendaknya
mereka mewartakan Sabda Allah.”[7]
Charles de Foucauld (1858-1916) memiliki pengalaman
yang unik pula. Beliau menghayati misinya di antara kaum Muslim lewat sikap
bersatu dengan Allah dalam sunyi dan kesederhanaan, dalam kesatuan dengan kaum
miskin dan dalam persaudaraan yang universal. Sebagai seorang muda keturunan
bangsawan dari Perancis, ia hidup berfoya-foya dan malas ke gereja. Tetapi
berkat bimbingan Ilahi, perlahan-lahan ia berubah menjadi tentara penjelajah
(c) Konsili Vatikan II dan Paus Paulus VI
Konsili Vatikan II telah menandai suatu
era baru dalam hubungan Gereja dengan penganut agama-agama lain. Konsili
menyadari bahwa dialog adalah suatu kebutuhan fundamental Gereja yang
terpanggil untuk bekerja sama dalam rencana Allah lewat bentuk-bentuk
kehadirannya, lewat respek dan cinta
terhadap semua orang. Paus Paulus VI telah berusaha memberi isi dari
sikap baru itu secara eksplisit dalam dokumen-dokumen Konsili dan
ensiklik-ensikliknya. Patut disebut Ecclesiam Suam, Nostra Aetate dan Ad
Gentes.
Dalam
Ensiklik Ecclesiam Suam (1964), Paus Paulus VI berbicara tentang dialog sebagai
sikap yang harus dikembangkan Gereja zaman ini. Beliau menekankan pentingnya
dialog penuh semangat persaudaraan dengan semua manusia. Keterbukaan
fundamental memberi warna baru ensiklik ini, yang berbeda dengan
dokumen-dokumen terdahulu yang sering bernada polemik. Dalam ensiklik ini Paus
membedakan adanya lingkaran-lingkaran konsentris dari empat kelompok manusia
yang dengannya Gereja harus berdialog. Lingkaran pertama dan yang terluas
mencakup semua manusia. Lingkaran kedua mencakup semua orang beriman. Lingkaran
ketiga mencakup semua orang Kristen. Dan lingkaran keempat khusus mencakup
anggota Gereja ke dalam.
Berkaitan
dengan lingkaran kedua, Paus Paulus VI mengajak Gereja untuk membina dialog
dengan kaum Theistis (Kaum Beriman) khususnya Islam.
Gagasan yang sama tentang
dialog juga dikemukakan dalam dokumen-dokumen Nostra Aetate No.3, Lumen Gentium
No. 16, Ad Gentes No. 10; 11; 12.
Dalam
terang pelbagai dokumen Konsili Vatikan II itu, Paus Paulus VI memahami dialog
bukan saja sebagai diskusi, melainkan mencakup pelbagai hubungan antar agama
yang positif dan konstruktif dengan individu-individu dan komunitas beriman
lain, yang diusahakan demi saling pemahaman dan saling memperkaya. Hal itulah
yang beliau tegaskan dalam Konggres Ekaristi Internasional di Bombay, India,
tahun 1968.
Sebagai
perwujudan institusional dari hasrat ingin bertemu dan berkontak dengan para
penganut tradisi dan keagamaan lain di dunia, maka pada hari raya Pentakosta
1964, Paus Paulus VI membentuk satu Sekretariat di Vatikan, yang disebut
“Sekretariat Untuk Orang-orang Non Kristen.” Lembaga ini merupakan satu lembaga
yang berbeda dari Kongregasi Suci Untuk Evangelisasi. Sejak tahun 1989,
sekretariat ini telah berganti nama menjadi “Sekretariat untuk Dialog
Antaragama.”
(d) Konsili Vatikan II dan Paus
Yohanes Paulus II
Paus
Yohanes Paulus II pun tidak ketinggalan berusaha menjabarkan dan mengamalkan
himbauan Konsili Vatikan II dalam praksis pontifikalnya.
Beliaupun telah menjabarkan
semangat dialog itu dalam pelbagai dokumen gerejani serta pidato-pidato resmi
dalam sejumlah lawatannya ke manca negara. Patut dicatat beberapa peristiwa
penting, berikut ini:
Ensiklik Redemptor Hominis (4 Maret 1979).
Sejalan dengan himbauan pelbagai
dokumen Konsili Vatikan II, Paus Yohanes Paulus II pun melihat nilai-nilai
luhur dan positif dari agama-agama bukan Kristen. Dalam Ensiklik Redemptor
Hominis beliau menulis sebagai berikut:
“Dengan rasa hormat yang mendalam terhadap nilai-nilai
spiritual yang besar dan keutamaan-keutamaan hal-hal spiritual, yang di dalam
kehidupan bangsa manusia terungkap di dalam agama dan kemudian di dalam
kesusilaan, dengan dampak-dampak langsung atas seluruh kebudayaan. Dalam
pelbagai agama itu terdapat banyak perenungan tentang satu kebenaran
benih-benih sabda, yang menegaskan bahwa sekalipun jalur yang ditempuh mungkin
berbeda-beda, terdapat hanya satu tujuan yang menjadi aspirasi terdalam roh
manusia sebagaimana terungkap di dalam usahanya mencari Allah....dan arti
kehidupan manusia sepenuhnya (RH No.11).
Deklarasi tentang kebebasan beragama juga mengungkapkan
sikap Gereja yang mendalam akan kebebasan manusia. Apabila Kristus dan
Rasul-rasul-Nya mewartakan dan memelihara kebebasan manusia itu, sambil
menghormati akal budi, kehendak dan hati nuraninya, maka kita pun hendaknya
demikian (RH No. 12).
Dengan penjelmaan-Nya, Dia, Putera Allah, dengan cara
tertentu telah mempersatukan diri-Nya dengan setiap orang. Dan keprihatinan
Gereja yang fundamental adalah kehidupan di dalam dunia yang semakin sesuai
dengan martabat luhur manusia dalam semua aspeknya; dengan kata lain semakin
manusiawi. Di sini tak dibicarakan manusia yang abstrak, tapi manusia yang
konkrit, oleh karena setiap orang termasuk di dalam misteri penebusan dan
dengan setiap orang Kristus telah mempersatukan diri-Nya selama-lamanya melalui
misteri ini (RH No. 13).
Manusia itu merupakan jalan bagi Gereja – jalan yang
dalam arti tertentu merupakan dasar semua jalan yang harus ditempuh Gereja –
sebab manusia tanpa perkecualian apapun saja – telah ditebus oleh Kristus, dan
sebab manusia dengan cara tertentu bersatu dengan Kristus, sekalipun manusia
tidak menyadari hal itu: Kristus yang telah wafat dan dibangkitkan pula bagi
kita semua, menyediakan bagi manusia – semua manusia dan setiap orang – terang
dan kekuatan supaya dapat melaksanakan panggilannya yang luhur itu (RH.No.14;
bdk GS. No.10 c).
Ensiklik Redemptoris Missio (7 Desember 1990).
Ensiklik
Redemptoris Missio merupakan ajakan bagi Gereja dan para petugasnya untuk
memperbaharui keterlibatan misionernya dengan pola penginjilan baru dalam dunia
modern. Suatu hal patut dipahami bahwa dalam penginjilan baru itu, Injil sama
sekali tidak mengurangi kebebasan manusia, tidak mengurangi rasa hormat yang
mesti diberikan kepada setiap kebudayaan dan kepada apa saja yang baik dalam
tiap-tiap agama. Berangkat dari kesadaran itu, maka RM 55-57 menandaskan
beberapa hal mengenai “dialog dengan saudara dan saudari yang beragama lain”
sebagai berikut:
Dialog
antar agama merupakan bagian dari misi penginjilan Gereja. Jika dipahami
sebagai metode dan sarana-sarana untuk saling memperkaya dan saling mengenal,
maka dialog tidak bertentangan dengan tugas perutusan kepada para bangsa (Ad
Gentes); sesungguhnya, dialog itu mempunyai suatu kaitan khusus dengan tugas
perutusan itu dan merupakan salah satu dari ungkapannya (RM No.55).
Dialog
tidak berasal dari kepedulian-kepedulian taktis ataupun dari kepentingan diri
sendiri, melainkan suatu kegiatan yang memiliki prinsip-prinsip Penuntunnya,
tuntutan-tuntutan dan kelayakannya sendiri. Dialog dituntut oleh suatu rasa
hormat yang mendalam akan segala sesuatu yang telah dihasilkan dalam diri
manusia oleh Roh yang bertiup ke mana saja dihendaki-Nya (RM No. 56, bdk RH No.
12).
Kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Maroko (19 Agustus
1985).
Dalam
aneka lawatannya ke manca Negara (a.l. Turki 1979, Zaire, Kongo, Kenya dan
Ghana pada 1980, Pakistan 1981 dan Indonesia 1989) Paus Yohanes Paulus II
senantiasa mewartakan amanat tentang Allah yang Esa dan Universal, yang diimani
dan disembah oleh aneka agama. Kebenaran dasar itu ditegaskannya sebagai berikut:
“Allah itulah yang diakui para pertapa trappist dalam
kesunyiannya atau bahkan para pertapa Camaldolese. Kepada-Nya kaum Bedouin di
gurun bersujud kalau tiba saatnya untuk berdoa. Dan mungkin demikian pula
halnya pemeluk agama Budha, yang dalam kontemplasinya berkonsentrasi untuk
menyucikan pikiran dan mempersiapkan jalan ke nirvana.
Dialog dengan dunia dewasa ini merupakan dialog
penyelamatan, dan awal-awalnya harus dicari justru dalam perjanjian. Itulah
dialog awal yang fundamental antara Allah dengan manusia. Mengapa? Mungkin
karena manusia semakin hari semakin dalam menyingkapkan akar-akar dari
eksistensinya di dunia. Dan mungkin karena kita sekarang berada di ambang suatu
eskatologi baru. Dan eskatologi hanya dapat dipahami sepenuhnya kalau kita kembali
ke asal mula, kepada masalah-masalah yang paling mendasar yang secara implisit
mengandung kebenaran yang tertinggi.[8]
Searah dengan amanat dasar di
atas, dalam pidatonya di hadapan ribuan kaum muda Muslim di Cassablanca
(Maroko), Paus Yohanes Paulus II menegaskan sebagai berikut: “Saya yakin bahwa kita harus menerima dengan
gembira nilai-nilai keagamaan yang kita miliki secara bersama-sama dan
bersyukur kepada Allah. Orang Kristen dan Muslim hendaknya bergandengan tangan
membangun dunia yang dalamnya Allah mendapat tempat utama, untuk menolong dan
menyelamatkan manusia.”
Dialog
Kristen dan Islam dewasa ini lebih mendesak dari pada di masa silam. Dialog itu
hendaknya mengalir dari kesetiaan kita kepada Allah. Dan dialog itu
mengandaikan bahwa kita tahu bagaimana berhadapan dengan Allah dalam iman; dan
memberi kesaksian akan Allah dalam kata dan perbuatan di dalam dunia yang dari
hari ke hari semakin sekular dan ateistik.[9]
Hari Doa Untuk Perdamaian di Asisi, Italia (27 Oktober
1986).
Menyadari
bahwa perdamaian dunia yang dicita-citakan tak akan terwujud tanpa keterlibatan
agama-agama dunia lewat doa yang tiada henti-hentinya dipanjatkan, maka Paus
Yohanes Paulus II memprakarsai kegiatan doa di Asisi pada tanggal 27 Oktober
1986. Hari itu adalah hari yang tak terlupakan dalam sejarah hubungan (dialog)
antar agama-agama. Sebab pada hari itulah berkumpul para pemimpin dan
tokoh-tokoh agama Katolik, Protestan, Islam, Hindu, Budha dan lain-lain. Mereka
bukan mengisi hari istimewa itu dengan diskusi-diskusi ilmiah ataupun dengan
seminar tentang perdamaian dunia. Tapi mereka mengisinya dengan ketekunan
berdoa demi perdamaian.
b)
Faktor Eksternal Gerejani
(1) Pluriformitas Agama Dunia
Yang
paling utama di antara pelbagai faktor eksternal gerejani adalah pluriformitas
agama dunia, yang dari hari ke hari semakin berkembang luas. Pada masa lampau,
umumnya agama tertentu itu terbatas ruang ekspansinya dalam wilayah geografis
tertentu. Misalnya: Hinduisme terbatas di India; Kristen terbatas di Eropa dan
jajahannya, Islam terbatas di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Tetapi
dewasa ini situasi telah berubah. Pesatnya laju pembangunan di bidang
komunikasi menunjang perkembangan pluriformitas tersebut. Sarana komunikasi dan
transportasi di zaman modern telah memungkinkan orang berpindah tempat dengan
mudah. Dunia ini terasa bagaikan semakin sempit. Migrasi orang Turki, Maroko,
Iran, Pakistan dan Tunisia ke Amerika, Australia dan Eropa Barat dapat terjadi
dengan mudah. Di sana kaum Muslim itu telah memanfaatkan secara intensif
pelbagai media massa (radio, televisi dan surat kabar) guna melakukan dakwah
dan mewartakan kekayaan spiritualnya. Demikian juga Hinduisme telah menyebar
luas di kalangan generasi muda di Eropa. Agama Kristenpun sudah jauh lebih awal
keluar dari batas-batas geografisnya dan hampir menjangkau seluruh pelosok bumi
ini. Oleh karena itu, dewasa ini terdapat kesempatan bagi setiap agama untuk
bertemu dan berdialog dengan agama-agama lain.
(2) Kesadaran akan “penyelamatan dunia sebagai totalitas”
Dalam
pelbagai agama dunia pernah berkembang kesadaran akan “dunia sebagai
totalitas.” Misalnya, seputar abad ke-18 di kalangan Muslim berkembang paham
bahwa hanya merekalah yang memiliki “agama rasional”, yang sepenuhnya cocok
dengan kodrat manusia yang rasional itu. Tak ada misteri-misteri serta hal-hal
supra human dalam Islam. Paham ini pernah berkembang luas di kalangan Muslim
India dan Pakistan berkat tokoh-tokoh seperti Shah Wali ‘Ullah dan Sayyid Ahmad
Khan. Mereka berpendapat, bahwa selama
agama Islam itu rasional dan cocok dengan kodrat manusia, maka haruslah agama
itu disebarkan demi keselamatan segenap umat manusia di dunia sebagai suatu
totalitas. Dengan demikian, terjadilah perjumpaan dengan agama-agama lain dalam
suasana dialog.
(3) Runtuhnya kolonialisme
Pada
satu sisi, runtuhnya kolonialisme ikut membasmi mental superior kolonial yang
telah lama bercokol dalam benak para bangsa penjajah. Pada sisi lain, ambruknya
kolonialisme itu ikut menumbuhkan kembali penghargaan terhadap agama-agama lain
dan kebudayaan-kebudayaan tua setempat. Hal ini bisa disimak dari perubahan
sikap negara-negara Eropa yang Kristen terhadap Negara-negara bekas jajahannya
seperti Mesir, Libanon dan juga Indonesia.
(4) Pandangan baru tentang manusia integral
Dewasa
ini telah muncul juga paham baru yang memandang manusia sebagai suatu kesatuan
yang integral antara yang rohani dan jasmani. Keprihatinan sosial mulai mengacu
pada kondisi hidup manusia yang konkrit. Dengan demikian penanganan masalah
sosial ekonomi dan kemiskinan, pengungsian dan korban bencana alam di pelbagai
pelosok dunia, tidak lagi mempertimbangkan paham agama yang dianut. Sebaliknya,
kepedulian sosial itu lebih merujuk pada dimensi kemanusiaan yang integral dan
universal. Oleh karena itu, kerja sama dan dialog antar agama dibutuhkan demi
kegiatan sosial serupa itu. Pelbagai badan internasional, seperti WHO, FAO,
dll. merupakan wahana ekspresi dialog yang bersifat lintas agama serta
berorientasi pada konsep manusia integral itu.
(5) Sikap positif dari segelintir Muslim untuk berdialog
Terlepas
dari adanya kelompok fundamentalis dan ekstrim yang tetap berusaha dengan
pelbagai cara untuk meng-Islam-kan dunia serta menegakkan Negara Islam dan
penerapan shari’at di mana-mana, tokh masih dijumpai segelintir Muslim ataupun
lembaga-lembaga Islam yang terbuka untuk dialog. Patut disebutkan beberapa nama
seperti Prof. Dr. Mahmud Ayub (warga Amerika kelahiran Libanon), Prof. Dr.
Nurcholish Madjid, K.H. Abdurrahman Wahid, dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat.
Pada umumnya sikap dialogal mereka itu didasarkan pada ayat-ayat Al Qur’an,
yang menegaskan “bahwa yang bisa memperoleh keselamatan tidak hanya pengikut
Nabi Muhammad saja, melainkan juga para ahli Kitab (ahl al-Kitab)” sebagaimana
diisyaratkan dalam S. Al Baqarah:62; S. Ali ‘Imran:19; S. Ali ‘Imran:83-84.
Komaruddin malahan lebih jauh menimba hikmat toleransi dari dokumen Konsili
Vatikan II, ketika ia menulis:
“Dibandingkan Islam, ajaran Gereja baru pada 1965, pada
Konsili Vatikan II, faham inklusifisme ini secara eksplisit diakui, bahwa
keselamatan dan kasih serta pengampunan Tuhan bisa juga berlaku bagi umat Islam
dan pemeluk agama lain yang menyembah Tuhan Yang Esa, yang akan mengadili
manusia di hari kebangkitan nanti.”[10]
Beberapa ayat positif dari Al
Qur’an yang sering dirujuk oleh para pakar Muslim antara lain sebagai berikut:
S. Al Maa’idah : 48 :
Berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu.” (bdk. Juga dengan S. Al Baqarah: 148)
(Lau sha’a Allah laja’alakum ummatin wahidatan wa lakin liyablukum fi ma
atakum fastabiqu al-khayrat. Ila Allahi marji’ukum jami’an. Fayunabi’ukum bima
kuntum fihi takhtalifuna).
S. Al Mu’min : 4 : Hindarilah
diskusi Agama.
“Tidak ada (janganlah) yang memperdebatkan tentang
ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang kafir.” (bdk. Juga
dengan S. Al Mu’min: 34-35; S. Al Hajj: 8-9 dan S. Al Hajj: 67-69). (Ma
yujadilu fi ayat Allah illa al-ladina kafaru).
S. Al Ankabut : 46 : Bersikap
wajar.
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan
dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang zalim di antara mereka, dan
katakanlah: “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada
kami dan yang diturunkan kepadamu, Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami
hanya kepada-Nya berserah diri.” (Wa la tujadilu ahla al-Kitab illa bilati hiya
ahsanu illa alladina zalamu minkum wa qulu: Amanna bil-ladi unzila ilayna wa
unzila ilaykum wa illahunna wa ilahukum wahidun wa Nahnu muslimuna).
S. Al Kaafiruun : 6 : Respek
terhadap kebebasan beragama.
“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (bdk S. Al-Baqarah:
256; S. Al Anfaal: 29; S. Al Qashash:56; S. Ibrahim:4). (Lakum dinukum wa liya dini).
S. Al Maa’idah : 82-83 : Sikap
bersahabat dengan orang Nasrani.
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras
permusuhannya terhadap orang-orang beriman ialah orang-orang Yahudi dan
orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat
persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata:
‘Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani’. Yang demikian itu disebabkan
karena di antara mereka itu terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, karena
sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (Latajidanna ashadda al-Nasi
‘adawatan lil-ladina Amanu al-ladina qalu: Innana nasara. Dalika bi-anna minhum
qissisina wa ruhbanan wa annahum la yas-takbiruna).
S. Al Hujurat 13: Bekerja sama
dengan umat beragama lain dalam hal duniawi.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.” (Ya Ayyuha al-Nas Innana
khalaqnakum dakarin wa untha wa ja’alnakum shu’uban wa qaba’ila lita’arafu).
S. Al Mumtahanah : 8 : Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik
dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kamu karena agama
dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. (La yanhakum Allahu ‘an al-ladina lam yuqatilukum fi al-din wa lam
yukhrijukum min diyarikum).
2. STUDI ISLAM DAN RUANG LINGKUPNYA
Studi Islam
adalah kegiatan mempelajari agama Islam dan juga aspek-aspek kebudayaan serta
masyarakatnya. Berdasarkan subyek, obyek studi dan ruang lingkupnya, dapatlah
kita bedakan tiga jenis studi Islam, sebagai berikut:
a. Studi Islam Normatif
Studi Islam normatif sering dipandang
sebagai studi Islam dalam arti sempit. Jenis studi ini merupakan aktivitas
mempelajari Islam yang umumnya dilakukan oleh kaum Muslimin demi mencapai
pengetahuan tentang kebenaran-kebenaran religius. Hasil studi dari kelompok
Muslimin ini bisa menjadi norma-norma demi kehidupan beragama Islam. Yang
tercakup dalam studi ini adalah pelbagai ilmu tentang agama Islam, seperti ilmu
tafsir, ilmu Hadits (tradisi lisan dari Nabi Muhammad), fiqh (yurisprudensi
Islam) dan ilmu al-Kalam (Teologi). Pada zaman dahulu, studi Islam jenis ini
lazim dilakukan di Masjid-masjid dan Madrasah (sekolah agama). Tapi kini bisa dilakukan di pelbagai Universitas dan
Institut Agama Islam.
b. Studi Islam Non Normatif
Studi Islam Non Normatif sering disebut
studi Islam dalam arti luas. Studi jenis ini pada umumnya dilakukan di pelbagai
Universitas. Studi ini mencakup dua aspek yang oleh kaum Muslimin dipandang
sebagai “Islam yang sesungguhnya” (Real Islam) dan “Islam yang dihidupi”
(Living Islam). Studi jenis ini dapat dilakukan baik oleh Muslim maupun non
Muslim dan dikenal dengan nama Studi Islam.
Timbulnya minat ilmiah terhadap studi
Islam berawal dari usaha memberikan jawaban kritis atas sejumlah pertanyaan
tentang Muhammad dan Islam yang umumnya tersebar di Eropa pada abad
pertengahan. Pada masa itu, meskipun filsafat Arab sangat diminati dan
dikagumi, namun Islam tetap dipandang sebagai saingan atau bahkan sebagai musuh
dan ancaman besar bagi kekristenan di Eropa.
Usaha awal untuk mempelajari dan
memahami Islam secara ilmiah dirintis oleh Peter Agung, seorang Abas Ordo
Benediktin di Cluny (Perancis) pada 1094-1156. Beliau membentuk dan membiayai
sebuah tim penterjemah. Salah satu hasilnya adalah terjemahan Kitab Suci Al
Qur’an perdana dalam bahasa Latin oleh Robert Ketton (1143). Lalu pada awal
abad ke 16, bahasa Arab, Bahasa
Studi Islam lalu memuncak pada riset
ilmiah tentang trend (gerakan ataupun tendensi) modern dalam Islam dewasa ini.
Studi ini berusaha meneliti dan menggambarkan bagaimana Islam menjelma ke dalam
kehidupan publik, pemerintahan, ideologi dan politik nasional, hukum, partai
politik dan organisasi keagamaan di pelbagai Negara dengan segala
kompleksitasnya seperti bahasa, adat-istiadat dan budaya yang beraneka ragam.
Singkatnya, modernisasi dalam Islam dicoba untuk dipahami dan dijelaskan sesuai
dengan konteks di mana perubahan itu terjadi. Karena dalam setiap negara,
pelbagai kelompok umat termasuk pemerintahnya memiliki artikulasi yang khas
tentang Islam meskipun pola tertentu dapat disinyalir bersifat universal bagi
semua masyarakat Islam.
c.
Studi Aspek Budaya dan Masyarakat Islam
Dalam
lingkup terluas, studi Islam jenis ini tidak saja diarahkan pada Islam sebagai
agama dalam arti sebenarnya. Tapi lebih dari itu, diperhatikan pula konteksnya
yang paling luas, yakni sejarah, literatur, antropologi dan sosiologi. Sebagai
pedoman untuk studi Islam dalam arti terluas, dapatlah dimanfaatkan beberapa
pertanyaan dasar berikut ini:
1)
Kelompok-kelompok macam manakah yang menunjang dan menyebarkan Islam di suatu
tempat (masyarakat atau Negara) serta bagaimanakah interpretasi Islam yang
mereka miliki? Siapakah pemimpin dari kelompok-kelompok tersebut? Bagaimanakah
Islam itu beradaptasi (atau berinkulturasi) dalam konteks sosial, politik dan
kebudayaan para penganutnya di pelbagai tempat dan masyarakat tertentu?
2) Manakah paham dasar dan perubahan yang terjadi dalam pelbagai institusi
keagamaan seperti Ikhwan al-Muslimin (1926) di Mesir yang didirikan untuk
mengembalikan Islam pada basisnya Qur’an dan Sunnah Nabi; Muhammadiyah (1912),
Nahdatul Ulama (1926), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI); Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Muamalat (BM) di Indonesia turut mempercepat
perubahan dalam masyarakat luas? Manakah konsekuensi dari perubahan-perubahan
sosial itu untuk institusi-institusi keagamaan tersebut secara timbal balik?
3) Fungsi-fungsi sosial umum manakah
yang disumbangkan oleh pelbagai ide dan praktek Islam dalam masyarakat
tertentu, terpisah dari makna religiusnya? Sebagai contoh: Jilbab dan seragam
sekolah, Azan dengan menggunakan loud-speaker, fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) pada tahun 1981 yang mengharamkan Umat Muslim mengambil bagian dalam
Perayaan Natal Bersama, dan lain-lain.
3. NABI
MUHAMMAD SAW.
Muhammad
adalah nama Nabi agama Islam. Nama ini berarti “orang yang dipuji“, atau „orang yang
diagungkan“. Sedangkan nama lainnya adalah Ahmad,
yang merupakan bentuk superlatif, yang berarti „Orang yang paling terpuji“.
Kedua nama tersebut berasal dari kata hamada,
(„memuji“, „mengagungkan“). Secara tradisional, setiap nama Nabi Muhammad, baik
dengan nama asli maupun dengan nama gelar, diikuti dengan menyebutkan ungkapan
„Shalallahu `Alayhi Wa sallam“ (Semoga Allah memberkahinya dan menganugerahkan
kedamaian kepadanya), atau dengan ungkapan „`Alayhis shalatu was salam“ (Semoga
berkah dan kedamaian dilimpahkan kepadanya). Praktek yang demikian ini juga
diungkapkan berkaitan dengan penyebutan nama Isa ibn Maryam (Yesus), dan juga
pada nama nabi-nabi yang lainnya, dan juga terhadap Malaikat Jibril. Ungkapan
`Alayhis salam (semoga kedamaian terlimpahkan kepadanya) juga dipandang telah
mencukupi dalam penyebutan seperti di atas.
Menurut pandangan Islam, Bibel juga memberikan
kepadanya sebuah nama, yakni Shiloh. Di dalam Kej 49:10, dikatakan: „sampai dia
datang yang berhak atasnya (Shiloh), maka kepadanya akan takluk bangsa-bangsa.“
Kalangan Islam menafsirkan, bahwa karena Isa (Yesus) adalah bagian dari
Daud dan juga Yehuda, maka nabi yang
datang sesudah mereka, tiada lain adalah Muhammad.
a. Riwayat Singkat hidupnya.
Dia lahir pada dini hari Senin,
12 Rabiul Awal Tahun Gajah, bertepatan dengan tanggal 20 April 571. Muhammad
hanya 3 hari dalam haribaan bundanya Siti Aminah. Kemudian ia diserahkan kepada
beberapa ibu susuan, antara lain Halimatus Sa’diyah binti Abi Zuaid dari
kabilah[11] Hawazin. Ketika usianya
baru 6 tahun, ibunya, Aminah, meninggal dunia di desa Abwa’, sekembalinya dari
ziarah ke makam suaminya, Abdullah. Lalu beliau diasuh oleh kakeknya Abdul
Muthalib, yang meninggal 2 tahun kemudian. Ia lalu diasuh oleh pamannya, Abu
Talib. Ketika usianya menginjak 25 tahun, ia kawin dengan seorang janda kaya
raya berusia 40 tahun, bernama Khadijah.
Selain menikahi Khadijah,
berturut-turut Muhammad juga menikahi:
(1) Sawdah, wanita 35 tahun,
janda seorang sahabat bernama Sakran.
(2) A`isyah, wanita umur 6
tahun, anak perempuan Abu Bakar
(3) Hafshah, wanita umur 18
tahun, anak perempuan Umar ibn Khattahab. Hafshah adalah janda Khunnayas.
(4) Zaynab binti Khuzaymah,
janda Ubaydah.
(5) Umm Salamah, janda Abu
Salamah.
(6) Zaynab (40 tahun) binti
Jahsh.
(7) Zuwayriyyah binti Haris.
(8) Ummu Habibah, anak perempuan
Abu Sufyan, pimpinan kafir yang memeluk Islam.
(9) Safiyyah (17 tahun),
janda Khinanah, seorang pemimpin Yahudi di Khayber.
Disamping isteri-isteri yang
sudah disebut di depan, setidaknya Muhammad memiliki dua harem (selir): Rayhanah,
yang didapat sewaktu penaklukan Yahudi Bani
Quraisyah, ia adalah seorang keturunan Yahudi. Yang seorang lagi bernama
Maryah, seorang hamba yang diterima nabi sebagai hadiah dari Muqawqis, seorang
gubernur Byzantium yang berkuasa di Copti Mesir.
Kebanyakan wanita yang dinikahi
Muhammad adalah para janda yang orang lain tidak menaruh perhatian kepadanya.
Sebagian perkawinannya yang lainnya bersifat politis untuk membentuk
persekutuan Islam. Pada zaman itu poligami merupakan praktek yang biasa. Islam
melegalisir praktek tersebut dengan menetapkan persyaratan bahwa masing-masing
isteri haruslah diperlakukan secara adil, secara sama.[12]
Pada usia 40 tahun, yakni sekitar tahun 610,
Muhammad menerima wahyu yang pertama, ketika sedang mengasingkan diri tidak
jauh dari Makkah pada bulan suci Ramadhan. Di dalam sebuah gua yang bernama
Hira pada sebuah puncak gunung, Malaikat Jibril datang kepadanya dengan
menyampaikan permulaan risalah Tuhan. Setelah itu wahyu Al-Qur`an turun
terus-menerus secara sporadis, menanggapi berbagai peristiwa yang terjadi pada
masa awal Islam, dan memberikan petunjuk dan merespon sikap Nabi Muhammad dalam
kondisi yang mendesak.
Muhammad diutus oleh Allah
sebagai Rasul penutup, Nabi terakhir. Ia wafat pada 8 Juni 632, dan sesuai
dengan pesannya, ia dimakamkan di dalam rumahnya.
b. Muhammad
Adalah Penutup Sekalian Nabi.
S. Al Ahzab:40, mengatakan bahwa Muhammad
adalah Nabi terakhir atau penutup sekalian Nabi (khatamun nabiyyin). Kaum
Muslim mengakui bahwa ajaran tentang Muhammad sebagai penutup sekalian Nabi berlandaskan
firman Allah yang terang benderang. Jika sebelum dia, Tuhan telah mengutus
nabi-nabi untuk masing-masing bangsa, maka akhirnya Muhammad, sebagai Nabi
Penutup diutus bagi sekalian umat manusia. Hal ini didasarkan pada firman Tuhan
dalam Al Qur’an, misalnya:
·
S. Saba’ : 28: ‘Dan
Kami utus engkau untuk seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan
ancaman, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.’
·
S. Al Anbiyaa’:107: ‘Dan
Kami utus engkau sebagai rahmat bagi seluruh alam (makhluk).’
Kaum
Muslim juga mendasarkan ajaran tentang Muhammad sebagai khatamun Nabiyyin pada
Hadits. Misalnya sebuah Hadits sahih Bukhari meriwayatkan bahwa Muhammad
sendiri menjelaskan bahwa dirinya adalah khatamun nabiyyin. Katanya: “Perumpamaanku dan perumpamaan pada nabi
sebelumku adalah seperti perumpamaan orang yang membangun rumah, dan ia membuat
itu amat baik dan amat indah, kecuali sebuah batu yang ada di sudut; lalu
orang-orang mengelilingi rumah itu dan mengagumi bangunan itu, dan mereka
berkata: Mengapa batu sudut ini tak dipasang? Nabi Suci berkata: Akulah batu
sudut itu, dan akulah penutup sekalian Nabi.”
Hadits lain yang menerangkan Nabi Muhammad
adalah Nabi terakhir adalah sebagai berikut: “Bangsa Israel dipimpin oleh para Nabi; mana kala seorang Nabi
meninggal, datanglah Nabi lain menggantikannya; tetapi sesudahku tak akan ada
Nabi lagi, kecuali hanya para khalifah.”[13] (H.R. Bukhari).
Hadits
yang serupa dengan hadits tersebut ada banyak. Tidak heran jika ummat Muslim
memegang teguh ajaran bahwa Muhammad adalah Nabi terakhir. Sesudah dia, tak akan ada
Nabi lagi, entah Nabi lama ataupun Nabi baru. Tak diperlukan lagi seorang Nabi
sesudah Muhammad.
Keyakinan ini berbeda dengan ajaran Jemaat
Ahmadiyah. Menurut Jemaat Ahmadiyah, khattamun
nabiyyin bukan berarti nabi terakhir, sebab, menurut aliran ini khattam
berarti cincin atau stempel. Jadi menurutnya, khattamun nabiyyin berarti cincin
stempel para nabi. Maka menurut aliran ini, setelah Nabi Muhammad masih selalu
ada nabi-nabi lain, meski tidak mempunyai syari’at.[14] Maka Jemaat Ahmadiyah
meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah juga seorang nabi, tetapi bukan
pembawa syari’at baru.
c. Sesudah Muhammad Masih Perlukah Kedatangan
Nabi Isa Untuk Kedua Kalinya?
Sebagai akibat dari ajaran
Al-Qur’an dan Hadits-hadits tersebut, maka ummat Islam tidak dapat menerima
ajaran mengenai kedatangan Isa Al Masih untuk kedua kalinya kelak pada akhir
zaman. Memang ada sebuah hadits, yang meramalkan bahwa Al-Masih akan turun di
kalangan ummat Islam. Hadits itu berbunyi sebagai berikut: “Bagaimana perasaan kamu jika Ibnu Maryam turun di kalangan kamu, dan
ia adalah seorang imam dari golongan kamu (imamukum minkum)”.
(H.R.Bukhari). Oleh para ahli Islam dijelaskan, bahwa yang dimaksud oleh hadits
tersebut tentu bukan Isa bin Maryam yang berasal dari bangsa Israel itu. Ramalan itu jelas-jelas
mengatakan bahwa dia adalah “seseorang imam dari golongan kamu.” Jelas, bahwa
dia bukan Isa anak Maria.[15] Maka orang-orang yang
percaya akan kedatangan nabi Isa pada akhir zaman, dianggap menjatuhkan ajaran
tentang Muhammad adalah khatamun nabiyyin. Bahkan dianggap merongrong
derajad nabi dunia dan nabi penutup.
d. Isa bin Maryam Tidak Mengadili Kaum Muslim.
S. An Nisaa’:159 mengatakan: “Dan tidak ada seorang ahli kitab melainkan
akan beriman dengannya sebelum matinya, dan pada hari kiamat akan menjadi saksi
atas mereka.” Ayat ini tidak mengatakan bahwa Isa bin Maryam pada hari
kiamat akan datang mengadili semua orang, termasuk ummat Muslim. Dia hanya akan
menjadi saksi atas ahli kitab yang percaya kepada-Nya sebelum mati-Nya. Maka
kaum Muslim tidak memerlukan munculnya kembali Nabi Isa itu, sekalipun pada
akhir zaman. Cukuplah bagi kaum Muslim mengikuti ajaran Allah yang disampaikan
lewat Muhammad.
4. TEOLOGI ISLAM
a. Pengertian
Teologi dan awal mulanya
Dalam Islam, teologi dikenal
dengan nama ‘ilm al-kalam atau ‘ilm usul al-din (ilmu tentang dasar-dasar
agama). ‘Ilm al-kalam atau ‘ilm usul al-din lebih mengutamakan pemahaman
masalah-masalah ketuhanan lewat pendekatan yang rasional dan logis. Oleh karena
itu teologi merupakan bagian rasional dari tawhid yang bersama dengan syari’at[16] membentuk orientasi
keagamaan yang lebih bersifat lahiriah, rasional dan logis.
‘Ilm al-kalam sesungguhnya
berawal dari Al-Qur’an yang memuat pelbagai masalah dan menuntut manusia
menggumulinya dengan menggunakan akal budi. Al-Qur’an yang pada awalnya belum
sistematis, diusahakan untuk disatukan dan disusun menjadi satu kumpulan yang
sistematis. Itulah sebenarnya awal kegiatan berteologi. Pelbagai latar belakang
historis dan faktor-faktor politis turut mengembangkan, mempengaruhi dan bahkan
membatasi perumusan pelbagai konsep teologis.
b.
Aliran Teologi dalam Islam
Terdapat empat aliran teologi dalam Islam:
1)
Aliran Teologi Qadariyah
Qadariyah berasal dari kata Qadar, yang berarti
kekuasaan (manusia), auto determinasi. Aliran ini didirikan oleh Ma’bad ibn
Khalid al-Juhani. Ia lahir di
Aliran ini berlanjut
dalam bentuk baru yang disebut Mu’tazilah. Kelompok Khawarij[17] berpihak pada pendapat
aliran ini sebab mereka berpendapat bahwa kekhalifatan Umayah bertanggung jawab
atas dosa-dosa mereka sendiri; dan karena itu mereka patut dilawan.
2)
Aliran Teologi Jabbariyah
Jabbariyah berasal dari kata jabr yang berarti
ketidak-leluasaan, determinasi, predestinasi. Jabbariyah adalah suatu aliran
dalam ilmu al-Kalam (Tawhid) yang dirintis dan disebarluaskan oleh Jahm bin
Safwan (wafat 128H/745M di Marw), dan Tsalut Ibn A’sham. Aliran ini mengajarkan
bahwa segala sesuatu yang mawjud (hadir, ada) dalam alam semesta (termasuk
manusia) dengan segala tingkah lakunya adalah sedari kodrat merupakan iradat
(kehendak) Allah semata-mata. Hanya Allah-lah yang mencipta dan menentukan
segala gerak yang ada pada makhluk-Nya; manusia tak berkuasa sedikitpun atas
perbuatan-perbuatannya (predestinasi, nasib).
Manusia adalah makhluk lemah yang bertindak dan
bekerja sebagai alat Allah. Manusia tak bisa dimintai tanggung jawabnya atas
segala tindakannya, karena ia hanya sebagai pelakon kehendak Allah. Inilah yang
disebut taqdir, yakni ketentuan Allah atas segala sesuatu yang diciptakan atau
diatur-Nya; Tuhan menciptakan segala sesuatu dan kepada masing-masing diberikan
taqdir-Nya, di dalam dasar-dasar kodrat-Nya. Sedangkan segala sesuatu yang
telah terjadi atas diri seseorang (telah dilakukan, telah berlalu dan terjadi),
disebut qadha.
Pendapat semacam itu rupanya dimanfaatkan oleh
kekhalifatan Umayah demi memantapkan kekuasaan mereka, sehingga rezim yang
berkuasa tak boleh dilawan kendatipun berdosa, karena dikehendaki oleh Allah
sendiri.
3)
Aliran Teologi Mu’tazilah
(a)
Konteksnya
Dimulai dari Wasil bin
Ata dan Amr bin Ubaid 105-131H/732-748M., di Basra. Sekolah teologi inilah yang
pertama-tama menciptakan dogma-dogma Islam yang bersifat spekulatif. Namanya
berasal dari I’tizal (pemisahan). Oleh sebab itu Mu’tazila berarti orang-orang
yang menganut ajaran I’tizal.
Sekolah teologi tersebut
tumbuh dan berkembang pada masa peralihan kekuasaan dari khalifah Umayah kepada
khalifah Abbasiah; zaman kekaisaran Islam menikmati hasil-hasil penaklukan
awal, baik materiil maupun intelektual. Pada masa ini banyak mawali
(klien-klien non Arab) menganut Islam (masa pertobatan).
(b)
Kelima Tesis
Mu’tazilah
Tawhid. Tawhid adalah kepercayaan yang menegaskan bahwa Allah
itu Esa, tiada sekutu bagi-Nya, tiada beranak dan tidak pula diperanakkan;
pencipta alam semesta beserta segala isinya, yang mengatur dan memelihara serta
membinasakan (S. Al Ikhlash: 1-4). Lawan dari tawhid adalah shirk (dosa
mempersekutukan Allah Yang Esa dengan dewa-dewi lainnya). Jadi tawhid
mengeksklusifkan Allah dari dewa-dewi lainnya. Selain itu diakui bahwa Allah
tidak bertumbuh, tak berbentuk, tak terbatas oleh ruang dan waktu; Tiada yang
abadi kecuali Dia, tiada yang menyerupai-Nya.
Kepercayaan ini bersumber pada S. Asy Syuura:11: ‘Laisa kamithlihi shayi’un’ (tiada
sesuatu semisal dengan-Nya). Karena itu Mu’tazilah memurnikan konsep ilahi dari
segala macam bentuk antropomorfisme, dari setiap bentuk perbandingan. Mereka
mempertahankan transendensi Allah yang mutlak dengan mengingkari (ta’til) akan
setiap perbandingan (tashbih) sebagai bahasa kiasan (alegori). Mu’tazilah
menolak bahwa Allah itu memiliki sifat karena mereka melihat bahwa tak ada
perbedaan jelas antara essensi (zat) dan atribut-atribut (sifat) Allah.
Sifat-sifat Allah seperti iradat, ilmu, kudrat, hayat dan
kalam, sami (pendengar) dan basar (pelihat) yaitu ketujuh sifat ma’ani (yang
dipandang Sunni sebagai berbeda dari Allah) semuanya diingkari.
Ajaran Sunni tentang ilmu sifat, yang menetapkan
keadaan ta’addud atau pluralitas dalam Allah dinilai mereka sebagai shirk
(politheisme). Tak ada sesuatu yang abadi bersama Allah. Karena itu Al Qur’an
diyakini mereka sebagai sesuatu yang diciptakan.
Al-Adl (Adil). Tesis ini mengajarkan bahwa Allah itu adil,
tak menghendaki kejahatan. Kejahatan itu berasal dari manusia, bukan dari
Allah. Allah menciptakan kapasitas dan kekuasaan dalam manusia untuk bertindak.
Manusia adalah pencipta dari tindakan-tindakannya sendiri. Manusia dapat
membedakan antara yang baik dan yang jahat, serta menentukan pilihannya. Ia
sendiri yang bertanggung jawab.
Kedua tesis ini (Al-Tawhid dan Al-Adl) merupakan
tesis-tesis terpenting dalam ajaran Mu’tazilah. Maka kelompok ini juga dikenal
dengan nama kaum keesaan dan keadilan.
Al-wa’d wa al-wa’id (Janji dan ancaman). Tesis ini
mengajarkan bahwa manusia diperingatkan akan tanggung jawabnya dengan janji
akan surga dan ancaman-ancaman siksa di neraka. Ganjaran di surga tak dapat
dicapainya hanya dengan iman saja; tapi berkat iman yang disertai karya amal
atau ihsan. Oleh karena itu bagi penganut Mu’tazilah (sama seperti kaum
Khawarij), Islam itu identik dengan ihsan (perbuatan baik, amal).
Al-manzila bayna al-manzilatayn (rumah di antara dua rumah).
Tesis ini mengajarkan bahwa para pendosa Muslim dan Muslimat itu tidak bisa
diterima baik sebagai orang beriman maupun orang tak beriman. Mereka dipandang
sebagai insan yang berada dalam status intermedier. Selama di dunia mereka
terbilang sebagai anggota ummat (komunitas Islam), tetapi bila ia meninggal
tanpa bertobat, maka ia akan disiksa secara abadi.
Al-amr b’il ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (perintah untuk berbuat
baik dan melarang melakukan kejahatan). Tesis ini mengajarkan bahwa manusia itu
dihadapkan pada suatu pilihan yang serius. Untuk itu dibutuhkan bantuan sesama
untuk melakukan pilihan tersebut. Prinsip ini secara implisit menganjurkan
koreksi fraternal, saling menolong. Tetapi hal itu telah ditafsir sedemikian
ekstrim, hingga mencakup kewajiban Negara untuk menentukan agama yang benar. Pemerintahan Republik Islam
(c)
Dukungan resmi
terhadap Ajaran Mu’tazilah dan kejatuhannya.
Pada tahun 827 Khalif al-Ma’mun (dari dinasti
Abbasiyah) memaklumkan bahwa ajaran Mu’tazilah menjadi iman pribadinya.
Tahun 833 Al-Ma’mun memaklumkan bahwa Mu’tazilah adalah
agama yang benar; oleh karena itu para
pejabat pemerintahan Islam seperti pada qadi (para hakim Islam) harus menganut
Mu’tazilah itu. Institusi Mihna dibentuk. Mihna adalah suatu institusi yang
berwenang menguji pendapat umat apakah menganut paham/ajaran seperti yang
dianut oleh sang Khalif (Al-Ma’mun yang berpendapat bahwa Al-Qur’an itu
diciptakan).
Tahun 848 Al-Mutawakkil
merubah kebijaksanaan itu. Mihna
dihapuskan:
-
Kemenangan berada
di pihak masyarakat umum dan golongan tradisional yang telah lama menentang di
bawah pimpinan Ahmad bin Hambal.
-
Kelompok
Mu’tazilah bertahan dalam kelompok-kelompok kecil, tetapi terus melemah.
4)
Aliran Teologi Ash’ariah
(a)
Tokohnya
Aliran teologi Ash’ariah didirikan oleh seorang
kelahiran
Di bidang teologi ia berguru kepada seorang Mu’tazilah
bernama al-Jubba’i; sedangkan di bidang fiqh, ia berguru kepada Abu Ishaq al
Marqasi yang berasal dari mazhab Shafi’i di Irak. Dari kedua sisi kehidupan
(intelektualnya) itu, Ash’ari melihat adanya kubu yang senantiasa memecahkan
umat: yakni para filsuf (Mu’tazilah) dengan kekuatan metode rasionalnya di satu
pihak, dan para ulama fiqh dan Hadits dengan kekuatan metode tekstualnya di
pihak lain. Al-Ash’ari menyadari bahwa kedua kekuatan itu ada dalam dirinya
sendiri. Maka timbullah keinginannya untuk menyatukan kedua kekuatan itu dalam
satu aliran, sehingga para ulama dan para filsuf itu dapat diintegrasikan.
Itulah metode jalan tengah yang dirintisnya.
(b)
Metode Jalan
Tengah
Metode yang digunakan oleh Al-Ash’ari memang unik,
berbeda dengan metode rasional (Mu’tazilah) dan metode tekstual (Hambal, tokoh
salafiah). Salafiah adalah reaksi keras terhadap metode yang dipergunakan
Mu’tazilah. Reaksi ini datang dari orang-orang yang menamakan diri mereka
dengan “salafiyyun”, yaitu pengikut aliran salaf dalam akidah, yang berpegang
teguh pada hadits, mengutamakan naqli (wahyu) dari pada akal.
Dapat dikatakan bahwa metode Ash’ariah merupakan
sintese dari kedua metode tersebut, yang bersifat moderat dan merupakan jalan
tengah.
(1) Al-Ash’ari mengambil unsur-unsur baik (positif) dari
kedua metode itu; ia menggunakan aql (rasio) dan naql (teks) secara seimbang.
Ia menggunakan akal secara maksimal, tetapi tidak sebebas Mu’tazilah. Ia
berpegang pada naql dengan kuat, tetapi tidak seketat Salafiah yang menolak
akal untuk menjamahnya.
(2) Peran akal diterimanya untuk mempertahankan
ajaran-ajaran Islam. Oleh karena itu teologi (‘Ilm al-Kalam) dipertahankan dan
didukung, karena di dalamnya akal digunakan untuk mendiskusikan masalah yang
muncul dari Qur’an dan Hadits.
(3) Al-Qur’an diterima sebagai Sabda Allah. Juga menerima
Sunnah sebagai yang merefleksikan anugerah hikmah atau kebijaksanaan kepada
Muhammad. Ia menentang kelompok Mu’tazilah yang nampaknya kurang menghargai
pentingnya Sabda Allah.
(c)
Pokok Ajaran
Teologi Ash’ariah
Pemikiran skolastik Ash’ariah, yang menekankan
keseimbangan antara dogma agama dan pertimbangan akal, tercermin dalam
pokok-pokok pikiran berikut:
(1)
Ajaran Tentang
Allah
Tentang Allah para teolog Ash’ariah mengajarkan bahwa:
·
Allah dapat berbuat apa saja sekehendak-Nya. Manusia
hanya berharap semoga beban yang diberikan kepadanya tidak terlalu berat
melampaui batas kemampuannya.
·
Allah dapat berbuat sekehendak-Nya, biarpun tidak dapat
diterima akal. Kodrat (kuasa) dan iradat
(kehendak) Allah bebas dari segala syarat dan pembatasan (limitasi).
·
Allah itu
bersifat Maha Segala, bebas dari pertimbangan-pertimbangan dan
pembatasan-pembatasan.
·
Allah dapat
memberikan karunia dan berkat-Nya kepada siapa yang hendak diberi-Nya serta
memberi hukuman kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
·
Atribut-atribut
Ilahi (sifat-sifat Allah) adalah sesuatu yang riil. Dan atribut-atribut itu
adalah atribut dari essensi Ilahi (Zat Allah), yang merupakan Allah itu
sendiri. Karenanya atribut-atribut Ilahi itu bersifat kekal dan abadi. Zat
Allah itu tunggal, sedangkan atribut-atribut-Nya banyak. Zat dan atribut-atribut
itu tidaklah terpadu menjadi satu. Atribut-atribut anthropomorfis itu juga
riil, dan tidak boleh diinterpretasikan secara metaforis; hanya bahwa
atribut-atribut tersebut berbeda dengan atribut yang sama yang dimiliki
manusia. Al-Qur’an adalah Sabda Allah yang abadi.
(2)
Kehendak Bebas
Kekuasaan Allah
mengungguli segala kuasa. Manusia tidak memiliki kemerdekaan berkehendak dan
kebebasan berbuat. Allah mengatur daya dan usaha manusia. Hanya perlu dibedakan
antara kehendak Allah dan perintah Allah. Kehendak Allah itu meliputi segala
sesuatu yang ada, termasuk kebaikan dan kejahatan. Sedangkan perintah Allah
hanya meliputi kebaikan.
Kendati pun ada
determinisme keras dan bahwa manusia tidak memiliki suatu kapasitas kodrati
untuk menentukan tindakan-tindakannya namun Allah menciptakan perbuatan manusia
dalam arti Allah menciptakan dalam manusia pada setiap saat kapasitas untuk
mengakui tindakannya (kasb atau tindakan perolehan atau kekuasaan manusia untuk
mengakui perbuatannya sebagai perbuatannya sendiri). Kasb itulah merupakan
basis untuk retribusi atau ganjaran serta siksa bagi setiap perbuatan manusia.
Manusia dapat diganjar atau disiksa karena perbuatan yang baik atau jahat itu
merupakan miliknya sendiri.
(3)
Iman
Pada dasarnya iman merupakan suatu persetujuan batin
(interior) untuk percaya, dan diungkapkan lewat pengakuan lisan (shahadat)
serta disempurnakan dengan karya-karya amal (ihsan). Perbuatan-perbuatan itu bukan
merupakan sesuatu yang essensial dari iman. Karenanya pendosa tetaplah seorang
Muslim; hanya setelah kematiannya ia mungkin disiksa, tapi bisa juga
diselamatkan.
(4)
Wahyu (Agama)
(d) Pengaruh
Ash’ari
Ash’ari
tidak membawa doktrin-doktrin baru, tetapi ia dipandang sebagai pencipta atau
pemula dari suatu Sekolah Teologi yang ortodoks, yang diajarkan di
madrasah-madrasah (Sekolah Agama Islam) pada masa Nizam al-Mulk. Nizam al-Mulk
memerintah pada tahun 1090 sebagai Perdana Menteri Bani Seljuk di Bagdad dan
pendiri Universitas Nizamiah. Tokoh Ash’ari sebagai teolog besar diakui oleh
banyak pihak. Sehingga menurut terminologi ilm al-kalam, aliran Sunni (ahl
al-Sunnah wal-jama’ah) diidentikkan dengan aliran Ash’ariah.
Kecuali aliran-aliran tersebut di
atas, masih terdapat aliran-aliran Islam, yang dapat dikategorikan ke dalam
beberapa kelompok:
·
Menurut latar belakang politik, dapat dibedakan
aliran-aliran:
(1)
Syiah, yaitu partisan partai
pendukung Ali Bin Abu Thalib.
(2)
Sunnah (Suni), yaitu kelompok
politik yang berseberangan dengan kepentingan politik Syiah. Mereka menyebut
diri Ahli Sunah, yang berarti mengikuti langkah Nabi Muhammad.
(3)
Khawarij (kharaja = keluar), yaitu
kelompok yang menarik diri dari dukungannya terhadap Ali.
·
Menurut latar belakang akidah, dapat dibedakan
aliran-aliran:
(1)
Khawarij: (kharaja = keluar),
yaitu kelompok yang menarik diri dari dukungannya terhadap Ali.
(2) Murjiah (arja’a = menunda), yaitu
kelompok yang netral terhadap Syiah maupun Khawarij, yang menyerahkan penyelesaian
akhir pada kekuasaan Allah, kelak di akhir zaman.
· Menurut latar belakang
fikih, dapat dibedakan aliran-aliran:
(1) Mazhab Maliki, yang didirikan oleh Iman Malik.
(2) Mazhab Hanafi, yang didirikan oleh Abu Hanifah Nu’man bin
Sabit.
(3) Mazhab Syafi’i, yang didirikan oleh Imam Syafi’i.
(4) Mazhab Hambali, yang didirikan oleh Ahmad bin Muhammad bin
Hambal.
c.
Rukun Islam
Rukun (Jmk Arkan) berarti dasar-dasar utama, bagian-bagian
pokok yang mutlak harus dihayati dan diajarkan. Rukun Islam adalah
kewajiban-kewajiban pokok seorang Muslim. Ada 5 (lima) rukun Islam, yaitu:
Shahadat, Sholat, Sawm (Puasa), Zakat dan Haji.
(a) Shahadat
Shahadat adalah suatu tanda eksternal bagi keanggotaan
seseorang dalam ummat atau komunitas Islam dan sekaligus mengungkapkan
kemauannya untuk memenuhi kehendak Allah. Bila Shahadat itu diucapkan di depan
publik, maka seseorang diterima ke dalam ummat secara sah, lalu ditambah dengan
khitanan/sunat bagi lelaki dan khafd bagi wanita.
Rumusannya: “Ashhadu
an la Ilaha illa Allah wa ashhadu anna Muhammadan rasul Allah.” Artinya: “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya.”
Shahadat itu mengandung
ketiga amanat berikut:
·
Pengakuan bahwa Allah itu Esa (Tawhid) dan menolak shirk.
· Pengakuan bahwa
Muhammad adalah Rasul Allah.
· Bentuk negatifnya (La Ilaha illa Allah) dipakai untuk
menantang orang yang baru bertobat dan menjadi Muslim agar meninggalkan
penyembahan berhala, fetisisme, dll.
Shahadat biasanya diucapkan pada peristiwa-peristiwa
kelahiran, nikah, ajal (sakrat al-maut), sholat dan waktu pertobatan menjadi
Muslim.
Umumnya yang dipandang sebagai sumber bagi rumusan
kalimat Shahadat adalah S. Al-Baqarah:163; S. Al-A’raaf:158 dan Hadits.
S. Al-Baqarah:163 : ‘Wa Ilahukum ilahum wahidun; La Ilaha illa Huwa al-rahmanu al-rahimu’
(Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha
Pemurah lagi Maha penyayang).
S. Al-A’raaf:158 : ‘La
ilaha illa Huwa yuhyi wa yumitu fa-Amintu bi Llahi wa rasulihi al-Nabi al-Ummi
al-ladi yu’minu bi Llahi wa kalimatihi wa Attabi’uhu la’allakum tahtaduna’
(….tidak ada Tuhan selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah
kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi (buta huruf) yang beriman
kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (Kitab-Kitab-Nya) dan ikutilah Dia
supaya kamu mendapat petunjuk).
Hadits:
Islam dibangun di atas kelima rukun: kesaksian bahwa
tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad Rasul Allah, melakukan Sholat,
memberikan Zakat, berziarah (hajj) ke Mekkah (Ka’abah) dan berpuasa dalam bulan
Ramadhan.
Bagi Muslim pengucapan kalimat Shahadat merupakan
‘ibadah wajib (fardhu), dalam arti memperoleh pahala bila dilakukan dan
mendapat siksaan bila dilalaikan. Bahkan pengucapan kalimat Shahadat ini
merupakan fardhu ‘ain, yakni kewajiban agama yang harus dilakukan oleh setiap
pribadi Muslim dan Muslimat. Hal itu berbeda dengan fardhu kifayah, yakni
kewajiban atau perintah agama yang bersifat fakultatif-kolektif. Artinya, bila
seseorang telah mengerjakannya, maka gugurlah kewajiban itu bagi Muslim
lainnya. Sebaliknya, bila tidak ada yang mengerjakannya, maka semuanya
bertanggung jawab dan memikul dosanya bersama-sama. Misalnya: mengurusi mayat,
membangun masjid, dll.
(b) Sholat
Sholat ialah sembahyang atau ibadat menyembah Allah
dengan syarat-syarat, rukun dan bacaan-bacaan tertentu. Dalam Sholat itu
diungkapkan permohonan sambil menyembah dengan kerendahan hati dan penuh
penyerahan diri sebagai ungkapan untuk menjawab rahmat Allah. Pengertian
tersebut dapat ditemukan intisarinya dari ayat-ayat Al-Qur’an berikut:
S. Albaqarah: 2-3 ‘Dalika
al-Kitab la rayba fihi hudan lil-muttaqina al ladina yu’minuna bil-ghaybi wa
yuqimuna al-salat.’ (Kitab ini tak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa, yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib dan mendirikan
Sholat..).
S. Al Kautsar:1-2: ‘Inna
A’taynaka al-kauthara fa-salli lirabbika wanhar” (Sesungguhnya kami telah
memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah Sholat yang banyak).
Shalat itu masih dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu:
Pertama: Sholat bebas (Sholat sunnat), yaitu sholat yang tidak
diwajibkan tetapi dilakukan berdasarkan kemauan dan kebebasan hati nurani
pribadi, pada tempat dan waktu yang dipilih sendiri; dengan menggunakan rumusan
kata-kata sendiri ataupun dengan mengucapkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Di antara Sholat bebas dan Sholat sunnat (yang tidak
diwajibkan tetapi dianjurkan), misalnya:
· Sholat al-Layl : antara jam tidur malam dan sebelum
pagi hari.
·
Sholat al-duha: antara pagi dan tengah hari.
·
Sholat Arba’in: sembahyang 40 waktu di Masjid Nabawi
(Madinah).
· Sholat Idul Adha: pada waktu Idul Adha.
· Sholat Idul Fitri: pada waktu Idul Fitri.
· Sholat Jenazah: pada dasarnya merupakan Sholat fardhu
kifayah bagi semua Muslim. Tetapi bila sebagian masyarakat telah melakukannya,
maka Sholat itu menjadi sunnat bagi Muslim lainnya.
· Sholat Tarawih: dilakukan pada malam hari bulan
Ramadhan.
Kedua: Sholat wajib (Sholat fardhu), yaitu sembahyang yang
diwajibkan bagi setiap Muslim, dengan mengikuti pelbagai peraturan yang telah
ditetapkan menyangkut isi, bentuk maupun caranya. Yang tergolong dalam Sholat
fardhu itu ialah Sholat
Kelima Sholat fardhu itu ialah:
· Sholat Al-Fajr (Al-Subh); yang dilakukan pada waktu fajar
merekah/menyingsing, antara dini hari dan sebelum matahari terbit.
· Sholat al-Zuhr; yang dilakukan pada waktu tengah hari,
di saat matahari sedang melewati puncaknya.
· Sholat al-Asr; yang dilakukan pada sore hari.
· Sholat al-Maghrib; yang dilakukan pada petang hari, di
saat matahari terbenam.
· Sholat al-‘Isha’; yang dilakukan ketika matahari sudah
terbenam. Jadi di antara waktu sesudah matahari terbenam dan jam tidur malam.
Dalam tradisi Islam umumnya Sholat
‘Wa aqimi
al-salawat
Beberapa hal yang dilakukan sebelum Sholat:
Pertama, al-Azan, yaitu panggilan untuk beribadah.
Al-Azan itu dikumandangkan oleh al-Mu’adhin (atau Bilal) dari atas menara.
Kedua, Al-Taharah atau pembersihan diri.
· Wudhu’, yaitu membersihkan diri dari hadas[18]
kecil seperti buang air kecil/besar, kentut.
· Ghusul, yaitu mandi seluruh badan untuk melenyapkan
hadas besar (karena bersanggama, keluar mani dengan cara apa saja, haid atau
nifas atau masa 40 hari sesudah melahirkan). Caranya, dengan mandi, termasuk
cuci rambut.
Dalam situasi darurat, di mana air sulit didapatkan,
atau hanya ada air kotor yang memungkinkan timbulnya penyakit, maka dipakailah
tanah atau debu sebagai penggantinya. Tindakan ini disebut tayyamum.
(c) Puasa atau
Sawm (Jamak: Siyam)
Puasa berasal dari bahasa Sanskerta upawasa yang
berarti menahan diri, menutup atau menghentikan segala kebiasaan. Dalam dunia
Islam berbahasa Arab, puasa itu lebih dikenal dengan Sawm (jmk: Siyam) yaitu
salah satu rukun Islam dengan ketentuan menahan diri dari makan dan minum atau
dari segala apa yang membatalkannya, mulai dari terbit hingga terbenamnya
matahari dengan syarat-syarat tertentu. Waktu yang ditetapkan oleh Al-Qur’an
(S.Al-Baqarah : 183-185) adalah bulan Ramadhan. “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”
Dari ayat tersebut nampak bahwa puasa itu sudah ada
sebelumnya. Dan yang dimaksudkan adalah puasa Yahudi, yang biasa dilakukan pada
bulan Muharram, tanggal 10, dari matahari terbit hingga terbenam.
Meskipun sawm (puasa) itu diwajibkan bagi semua Muslim
dan Muslimat, namun dalam keadaan tertentu ada orang yang dikecualikan. Mereka
itu adalah orang yang sudah tua, orang sakit, wanita hamil dan yang menyusui.
Kecuali orang tua, maka orang-orang lain diwajibkan untuk menggantikan sebanyak
jumlah hari yang ditinggalkan setelah keadaan memungkinkan untuk berpuasa lagi.
Bisa juga diganti dengan membayar kafarah (denda) atau fidyah yaitu memberi
makan kepada orang miskin setiap hari selama ia tidak berpuasa.
Puasa Ramadhan mulai diwajibkan atas kaum Muslim
semenjak tahun kedua Hijriyah. Menurut imam San’ani bahwa Sawm itu berarti
mencegah makan, minum dan jima’ (persetubuhan) pada siang hari atas dasar
ketetapan hukum agama.
Di samping puasa wajib pada bulan Ramadhan, ada juga
puasa sunnat, yang disunnatkan atau dianjurkan, antara lain:
·
Puasa hari Senin dan Kamis.
· Puasa ‘Ashura, 10 Muharam.
· Puasa 6 hari dalam bulan Shawal sejak tanggal 2 hingga
7 Shawal.
· Puasa pada hari ‘Arafah tanggal 9 Zulhijah bagi mereka
yang tak menunaikan ibadah haji.
Namun ada juga hari-hari yang dilarang berpuasa,
yaitu:
· Idul Fitri, tanggal 1 Shawal.
· Idul Adha, tanggal 10 Zulhijah.
·
Hari Tashriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah.
Di samping mengungkapkan
dimensi kesalehan lahiriah sebagai pemenuhan hukum agama, puasa itu juga
memiliki nilai-nilai moral, yakni mengungkapkan rasa solidaritas umat Islam
terhadap
sesamanya yang miskin dan
berkekurangan, ikut merasakan penderitaan mereka yang miskin dan lapar, latihan
mengekang diri terhadap rangsangan-rangsangan jasmaniah, latihan mengontrol
emosi, dan lain-lain.
(d) Zakat
Kata Zakat berarti suci dan subur; pembersihan. Dalam
Fiqh, Zakat berarti memberikan sebagian harta yang ditentukan kepada yang
berhak menerimanya. Sebagai salah satu rukun Islam, Zakat berarti pemberian
sebagian harta kepada orang-orang yang berhak menerimanya, yakni:
(1)
(2)
(3)
(4)
Mu’alaf, yaitu
mereka yang dibujuk hatinya, yang terdiri dari 4 golongan, yaitu:
·
Mereka yang memihak dan tetap membantu Islam dan Muslim.
·
Mereka yang dibujuk agar tidak menekan kaum Muslim karena
perbedaan agama.
· Mereka yang baru masuk Islam.
· Mereka yang belum masuk Islam tetapi berharap tetap
mencintai keluarganya yang masuk Islam.
(5) Hamba yang akan
dimerdekakan dengan perjanjian.
(6)
(7)
Zakat hendaknya dibedakan dengan sadaqah atau
persembahan sukarela sebagaimana disebutkan dalam S. Al Mujaadilah:12, dst.
Zakat adalah kewajiban atas hak milik yang berbeda-beda tingkatannya. Maka
ditetapkan sebanyak antara dua setengah sampai duapuluh persen (berbeda-beda
prakteknya di pelbagai Negara) dari penghasilan uang atau benda. Zakat bukan
pajak. Di mata kaum Muslim, zakat itu juga memiliki nilai moral, yakni
pemanfaatan harta milik sesuai dengan kehendak Allah demi karya amal dan
menghindarkan penumpukan harta atau tendensi materialisme.
(e) Haji (Ziarah
ke Mekkah)
Haji adalah ziarah ummat Islam ke Mekkah (ke Masjid
Al-Haram) bagi orang-orang yang sanggup. Yang menjadi dasar bagi kewajiban
menunaikan ibadah Haji adalah S. Ali Imran: 96-97, yang berbunyi: ‘Inna awwala baytin wuzi’a lil-nas alladi
bimakkata mubarakan wa hudan lil-‘alamin. Fihi ayatun bayyinatun, maqamu
Ibrahim, wa man dakhalahu kana aminan, wa lil-Lahi ‘ala al-Nasi Hijju al-bayti
wa man kafara fa-inna Allaha ghaniyyun ‘an al-‘alamin.’ (Sesungguhnya rumah
yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang
di Mekkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya
terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam).
Haji atau ziarah itu dibedakan atas haji yang
sebenarnya, yang dilakukan pada bulan Zulhijah (bulan terakhir tahun Hijriyah),
dan haji kecil (‘umrah) yaitu sebagian ritual haji yang dilakukan di luar waktu
haji yang tidak ditentukan waktunya dan dapat dilakukan sepanjang tahun.
d.
Rukun Iman
Iman berarti kepercayaan; keyakinan sepenuhnya;
mempercayai dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan
tindakan segala apa yang dibawa Nabi Muhammad dari Allah. Sebuah Hadits
merumuskan makna iman sbb.: ‘Iman adalah
pengakuan dalam hati, ucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan tindakan.’
Dengan rukun iman dimaksudkan ajaran-ajaran iman yang
menjadi landasan setiap perbuatan (amalan) orang Muslim.
(1)
Iman akan Allah yang Esa
(Tawhid)
Rukun iman
yang pertama ialah beriman/percaya sungguh-sungguh dengan sepenuh hati/ikhlas,
kepada Allah SWT, yang Maha Esa; Pencipta dan Penguasa alam semesta ini dengan
segala isinya, baik yang dhohir maupun yang ghoib/batiniyah/ ruhaniyah. Inilah
ajaran yang fundamental dan penting dari Muhammad. Iman akan keesaan Allah ini
diungkapkan dalam kalimat Shahadat Tawhid “La
Ilaha Illa Allah (Tidak ada Tuhan selain Allah)” Bdk S. Albaqarah: 163; S.
Al A’raaf:158; S. Al Ikhlash : 1-4. Kalimat itu merupakan tumpuan dasar Islam.
Pengungkapan kepercayaan ini pulalah yang membedakan seorang Muslim sejati dari
kaum kafir (tak beriman), mushrik (orang yang mempersekutukan Allah dengan
dewa/i lain) atau dahriya (kaum atheist).
Tawhid
mengandung arti bahwa Allah itu Esa Dhat-Nya; Esa sifat-sifat-Nya; dan Esa
Af’al-Nya (perbuatan-Nya). Yang dimaksud dengan Esa Dhat-Nya ialah bahwa tidak
ada Tuhan lebih dari satu dan tak ada sekutu bagi Allah. Esa sifat-Nya
mengandung arti bahwa tidak ada Dhat lain yang memiliki satu atau lebih
sifat-sifat ketuhanan yang sempurna. Esa af’al-Nya, mengandung arti bahwa tak
seorangpun dapat melakukan pekerjaan yang telah dikerjakan oleh Allah, atau
mungkin dilakukan oleh Allah. Juga mengandung arti bahwa tidak ada Dhat lain
yang mempunyai wibawa terhadap Dia.
Syirk
(Mushrik):
Lawan dari
Tawhid adalah Mushrik, atau mensharikatkan Allah, yaitu menempatkan sesuatu
betapapun kecilnya, di samping atau sejajar dengan Allah. Mushrik merupakan dosa yang terbesar.
· Menyembah sesuatu selain Allah, misalnya: batu,
patung, pohon, binatang, kuburan, benda-benda langit, kekuatan alam atau
manusia yang dianggap setengah dewa atau penjelmaan Tuhan atau anak laki-laki
atau anak perempuan Tuhan.
· Menyekutukan sesuatu dengan Allah. Artinya, menganggap
barang-barang itu mempunyai sifat-sifat yang sama seperti sifat Tuhan.
Kepercayaan bahwa ada Tiga Pribadi ketuhanan dan bahwa Sang Putera dan Sang Roh
Suci itu kekal, Mahatahu dan Mahakuasa seperti Allah, seperti kepercayaan agama
Kristen; atau bahwa Tuhan itu yang menciptakan kejahatan berdampingan dengan
Tuhan yang menciptakan kebaikan seperti kepercayaan agama Zaratustra; atau
bahwa benda dan roh itu sama kekalnya seperti Allah dan mawjud sendiri seperti
Dia seperti kepercayaan agama Hindu, semua itu juga termasuk golongan syirk.
· Sebagian manusia mengambil sebagian yang lain sebagai
Tuhan, misalnya dengan mengikuti secara membabi buta segala apa yang
diperintahkan oleh pemimpin besar mereka (S.At Taubah:31).
· Mengambil hawa nafsunya sebagai Tuhan, artinya
mengikuti ajakan hawa nafsu secara membabi buta.
Asma’ul husna (Nama-nama yang amat mulia) dari Allah:
Allah diyakini mempunyai 20 sifat dan
juga memiliki 100 nama yang indah (al asma al husna). Nama yang pertama adalah
Allah itu sendiri. Yang lain, misalnya Al Wahid (Yang Maha Esa); ar Rahman
(Yang Maha Pengasih), al Qayyum (Yang hidup dan berdiri pada Dhat-Nya sendiri);
al Qadir (Maha Kuasa), al Khaliq (Sang Pencipta); al Mutakalim (Yang bersabda
kepada manusia); dll.
Orang Muslim yang saleh mencoba selalu
mengucapkan keseratus nama Allah yang indah itu dengan pertolongan sebuah
tashbih yang berupa sebuah untaian 100 butiran.
(2)
Iman akan para
Malaikat-Nya.
Malaikat
ialah makhluk halus yang menjadi perantara Allah dan Rasul-rasul-Nya dengan
membawa pesan wahyu dari Allah. Menurut Hadits yang diriwayatkan oleh A’ishah
malaikat itu diciptakan dari Nur (Cahaya), sedangkan jin diciptakan dari Nar
(Api). Beriman akan malaikat didasarkan pada S. Al Baqarah: 177 dan 285:”Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur
dan Barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah
beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi
dan ……
Rasul telah beriman kepada al Qur’an yang
diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang beriman, semuanya
beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan
Rasul-rasul-Nya…”
Ada
beberapa fungsi Malaikat, antara lain:
·
Sebagai pembawa Wahyu Allah kepada Rasul-Nya (S.
Asy-Syu’araa:192-194).
· Sebagai pengantara untuk meneguhkan para Nabi dan kaum
Muslim (S. Al Baqarah : 87; 253 dan S. Al Anfal:9).
· Pembawa azab bagi umat yang zalim dan mengingkari
ayat-ayat Allah (S. Al Baqarah:210).
· Penolong dan pemohon ampun bagi mereka yang di bumi
(S. Asy- Syuura: 5; S. Al Mu’min:7).
· Penolong demi meningkatkan kerohanian manusia
(Qaaf:21).
· Pencatat segala perbuatan manusia (S. Al
Infithar:10-13).
Berapa jumlah Malaikat seluruhnya hanya
Tuhan yang mengetahui. Manusia tak akan dapat menghitungnya. Tetapi ada 10 nama
Malikat yang wajib diketahui oleh kaum Muslim, yaitu:
· Jibril, yakni Malaikat yang bertugas membawa wahyu Tuhan
kepada Rasul-Nya. Disebut juga Ruhul Qudus, Ruhul Amin. Dialah yang memimpin
para Malaikat di langit.
· Mikail, yakni Malaikat yang bertugas di bidang pengaturan
rezeki, hujan dan angin.
· Izrail, yakni Malaikat yang bertugas mengambil nyawa bagi
makhluk hidup.
· ‘Atid, yaitu Malaikat yang bertugas menuliskan semua
pekerjaan dan perbuatan manusia yang tidak baik, yang senantiasa mendampingi
manusia di sisinya, bersama Malaikat Raqib.
· Raqib, yaitu Malaikat yang bertugas menuliskan semua
pekerjaan dan perbuatan manusia yang baik. Ia senantiasa mendampingi manusia di
sisinya bersama Malaikat ‘Atid.
· Munkar, yaitu Malaikat yang bertugas menanyai mayat dalam
kubur, bersama Malaikat Nakir.
· Nakir, yaitu Malaikat yang bertugas menanyai mayat dalam
kubur, bersama Malaikat Munkar.
· Israfil, yakni Malaikat yang bertugas meniup serunai
sangkakala atas perintah Tuhan, menandakan hari kiamat telah tiba. Tiupan
kedua membangkitkan lagi segala orang
mati untuk dikumpulkan dan diperhitungkan segala amalannya.
· Malik, yakni Malaikat yang bertugas menjadi juru kunci
Neraka.
· Ridwan, yakni Malaikat yang bertugas memegang kunci dan
menjaga surga.
(3)
Iman akan
Kitab-kitab-Nya.
Kitab
adalah Kalam Allah, firman atau kalimat dan kata-kata Allah yang diturunkan-Nya
sebagai wahyu dengan perantaraan Malaikat Jibril kepada Rasul-rasul-Nya. Islam
mengajarkan bahwa dalam kurun waktu tertentu Allah memberikan wahyu-Nya kepada
manusia tertentu dengan perantaraan Malaikat Jibril itu. Wahyu yang diberikan
kepada para Rasul-Nya itu berupa sebuah Kitab Suci yang merupakan kutipan
langsung dari induk Kitab Suci (ummul Kitab) yang tersimpan di Surga (al lauh
al mahfudz = Ketetapan Tuhan yang berlaku untuk seluruh umat manusia maupun
alam semesta). S. Al Baqarah : 213 mengatakan: “Manusia itu adalah umat yang satu, maka Allah mengutus para Nabi,
sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan
bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia
tentang perkara yang mereka perselisihkan.”
Ada 5
(lima) Kitab yang diakui dalam Al-Qur’an, yaitu:
·
Suhuf, yang diturunkan kepada
Ibrahim (S. An Najm:36).
·
Tawrat, yang diturunkan kepada
Musa (S. Al-Maa’idah:44).
·
Zabur, yang diturunkan kepada
Dawud (S. An Nisaa’:163; Shaad:17).
·
Injil, yang diturunkan kepada
‘Isa al-Masih’ (S. Ali Imran:3; 48; 65; S. Al Maa’idah: 46;66;68;110; S. Al
A’raaf:157; S. At Taubah:111; S. Al Fat-h:29; S. Al Hadiid:27).
·
Al Qur’an, yang diturunkan kepada
Muhammad SAW.
Karena
semua Kitab Suci tersebut berasal dari satu sumber yang sama, kesemua Kitab itu
seharusnya sama. Tetapi ternyata saling berbeda, karena umat manusia yang
bersangkutan telah menyelewengkannya. Islam berkeyakinan bahwa kebanyakan teks
yang berbicara tentang Islam ataupun tentang Muhammad telah dihilangkan atau
dipalsukan dalam Kitab-kitab Allah selain Zabur dan Al Quran. Pemalsuan
teks-teks seperti itu dikenal dalam dunia Islam dengan istilah tahrif
(falsifikasi atau korupsi, pemalsuan). Karena itu, Allah memberikan Al-Qur’an
kepada segenap umat manusia melalui Muhammad, dalam bahasa Arab, dan merupakan
Kitab Suci terakhir. Umat Islam meyakini bahwa Al Qur’an adalah Kitab yang
tersempurna dari segala Kitab yang pernah ada. Al Qur’an diberikan oleh Allah
dengan maksud meluruskan petunjuk-petunjuk yang pernah diwahyukan-Nya. Al Qur’an merupakan
petunjuk yang terakhir dan tersempurna dari Allah.
Kedudukan
Al-Qur’an dalam kehidupan umat Islam sangatlah sentral, melebihi kedudukan
Muhammad sendiri. Dalam Al Qur’an termuat wahyu Ilahi sendiri secara sempurna,
tanpa cacat sedikitpun. Termuat di dalamnya segala sesuatu yang dibutuhkan bagi
kehidupan manusia dalam segala aspeknya, baik yang menyangkut hubungannya
dengan Tuhan (ibadah) maupun yang mengatur perikehidupan antar manusia
(mu’amalat). Bidang mu’amalat ini tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat
keagamaan belaka, melainkan juga ekonomi, sosial, politik, budaya, militer, dan
lain-lain, baik yang bersifat pribadi maupun umum. Bahkan dikatakan bahwa ilmu
pengetahuan modern seperti Iptek dengan hasilnya berupa satelit, pesawat
terbang dan sebagainya sudah termuat dalam Al Qur’an. Karena itu Al Qur’an
sangat dihormati. Membacanya merupakan suatu ibadat yang sangat mendatangkan
pahala, tidak hanya bagi yang membacanya melainkan juga bagi yang
mendengarkannya. Karena itu muncullah berbagai seni membaca Al Qur’an. Seni
membaca Al Qur’an tersebut sekarang dipertandingkan dalam Musabaqah Tilawatil
Qur’an (MTQ), yang berarti pertandingan pembacaan Al Qur’an. Supaya sebanyak
mungkin orang dapat memperoleh pahala, pembacaan Al Qur’an tidak hanya di dalam
hati, tetapi dengan suara yang dapat didengarkan juga oleh orang lain. Bahkan
untuk pembacaan Al Qur’an itu dewasa ini dipergunakan secara luas alat
komunikasi massa, seperti radio, TV, atau pengeras suara biasa.
Di
dalam Al-Qur’an disebutkan juga berbagai tokoh dari Perjanjian Lama, tetapi
cerita yang ada hanyalah sepotong-sepotong, tidak merupakan suatu ceritera yang
utuh. ‘Isa Ibn Maryam dikemukakan secara panjang lebar sebagai seorang Nabi
yang istimewa, lahir melalui mukjizat (tanpa ayah), mengajar dan membuat banyak
mukjizat. Ia pun terberkati, kudus, murni, Rasul Allah, jalan orang saleh,
pengantara, bahkan disebut sebagai Kalimat Allah dan Roh Allah. Akan tetapi dia
bukanlah Allah. Maria diceritakan berkaitan dengan ‘Isa al Masih ibn Maryam
ini. Bagian Al-Qur’an yang memuat hal ini
dinamakan Surat Al Maryam.
(4)
Iman akan para Rasul dan Nabi-Nya.
Umat Islam beriman bahwa Tuhan telah
mengutus Nabi dan Rasul-Nya ke tengah pergaulan hidup manusia untuk membawa
mereka dari kegelapan kepada cuaca hidup yang terang benderang. Dalam Islam,
term Nabi dilihat lebih sempit maknanya bila dibandingkan dengan term Rasul.
Para Nabi hanya diutus kepada umat pilihan tertentu; sedangkan Rasul diutus
kepada segenap agama. Jadi tidak semua Nabi itu Rasul, tetapi semua Rasul
adalah Nabi. Iman kepada Nabi dan Rasul-Nya ini didasarkan pada:
S. Yunus:47 : ‘Wa kulli ummatin rasulun” (Dan tiap-tiap umat mempunyai rasul..)
S. Faathir:24: ‘Inna arsalnaka bil-haqqi bashiran wa nadiran wa in min ummatin illa
khala fiha nadirun.’ (Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada
suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan).
Jumlah Nabi dan Rasul itu banyak sekali. Sebuah Hadits mengatakan bahwa jumlah
Nabi ada 124.000 orang. Dari antaranya ada 25 orang yang tertulis di dalam
Al-Qur’an; yakni: Adam; Idris; Nuh; Hud; Sholeh; Ibrahim; Lut; Ismael; Ishaq;
Yakub; Yusuf; Ayub; Zulkifli; Shu’aib; Musa; Harun; Dawud; Sulaiman; Ilyas;
Ilyasa’; Yunus; Zakaria; Yahya; Isa; Muhammad. Dari antara mereka, ada 5 Nabi
yang mendapat gelar Ulul Azmi (teladan bagi kesabaran dan ketabahan hati);
yaitu: Nuh; Ibrahim; Musa; Isa; Muhammad.
Islam mengimani bahwa jika nabi-nabi
lain itu diutus kepada kelompok umat tertentu, maka Nabi Muhammad itu diutus
untuk seluruh umat manusia, malahan sebagai rahmat bagi semesta alam. S. Al
Anbiyaa’: 107: “Wa maarsalnaka illa
rahmatan lil-‘alamin” (Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan
untuk menjadi rahmat bagi semesta alam).
(5)
Iman akan Hari Kiamat.
Iman akan Hari Kiamat berarti percaya
bahwa sesungguhnya hari itu pasti datang dan selanjutnya manusia akan memasuki
akhirat sebagai lanjutan dari kehidupan di dunia ini. Bagi orang yang taqwa dan
yang mengerjakan amal saleh di dunia, di akhirat itu ia akan mendapat pahala
dari Allah. Sebaliknya bagi yang berbuat kejahatan akan mendapat siksaan di neraka
(Bdk S. Al Ahqaaf:55 dan S. Al Anbiyaa’:32). S. Al Hajjj:7 menegaskan sbb.: ‘wa anna al-Sa’ata atiyatun la rayba fiha wa
anna Allaha yah’athu man fi quburi.’ (Dan sesungguhnya saat itu (hari kiamat)
pastilah datang, tak ada keraguan padanya: dan bahwasanya Allah membangkitkan
semua orang dari kubur).
Hari kebangkitan dari kubur itu (hari
kiamat) kadang-kadang disebut dalam Al-Qur’an dengan nama-nama lain, sebagai
berikut:
· Yawm
al-qiyamah (hari kiamat). ‘Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan aku
bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)’ (S. Al
Qiyaamah:1-2).
· Yawm al-Fasl (hari keputusan). “Sampai
hari apakah ditangguhkan (mengazab orang-orang kafir itu)? Sampai hari
keputusan. Dan tahukah kamu apakah hari keputusan itu? Kecelakaan yang besarlah
pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan” (S. Al Mursalaat:12-15).
· Yawm
al-hisab (hari perhitungan): “Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari
jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.” (S. Shaad:26).
· Yawm al-fath (hari kemenangan): “Katakanlah: ‘Pada hari kemenangan itu tidak berguna bagi orang-orang
kafir iman mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh.’ (S. As Sajadah:29).
· Yawm
al-jam’i (hari berkumpul): “Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al-Qur’an
dalam bahasa Arab supaya kamu memberi peringatan kepada ummul Qura (penduduk
Mekkah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya serta memberi peringatan
(pula) tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya.
Segolongan masuk surga dan segolongan masuk neraka.” (Asy Syuura’:7).
Imam Raghib mengajarkan, bahwa ada 3
(tiga) macam kiamat, yaitu:
· Kiamat Kubra atau kiamat besar, yaitu dibangkitkannya manusia
untuk diperhitungkan segala amal kebajikannya.
· Kiamat
Wustha atau kiamat tengah-tengah,
yaitu matinya suatu bangsa atau suatu generasi.
· Kiamat
Sughra atau kiamat kecil, yaitu
matinya seseorang.
Bagaimana
ajaran Islam tentang kebangkitan badan? Apakah pada hari kebangkitan jiwa
manusia akan mendapatkan kembali tubuhnya yang terbuat dari tanah yang sudah
ditinggalkan di dunia ini? Dalam Al Qur’an tidak ada satu ayatpun yang
menerangkan bahwa tubuh yang pada waktu manusia meninggal dunia ditinggalkan di
dunia ini akan dikembalikan kepada yang bersangkutan lagi. Sebaliknya ada
beberapa ayat yang secara terang-terangan menerangkan bahwa manusia akan
menjadi ciptaan yang baru sama sekali. (Bdk S. Al Waaqiah: 47; 58-62).
(6)
Iman akan Qadar dan
Taqdir.
Beriman
akan taqdir berarti percaya bahwa segala sesuatu yang telah, sedang dan akan
terjadi adalah menurut ketentuan Allah terhadap hamba-hamba-Nya, baik secara
perseorangan maupun bersama-sama. Sedangkan beriman akan Qadar berarti percaya
akan Allah yang masih memberikan kesempatan bagi manusia untuk memilih dan
menentukan mana yang paling baik melalui pertimbangan akal dan budinya.
Dengan demikian iman
akan qadar dan taqdir mengandung makna bahwa Allah telah menciptakan dunia yang
teratur dan manusia harus bertindak sesuai dengan hukum-hukum alam. Allah
memberi kesempatan bagi manusia untuk mempelajari dan menguasai alam raya
sehingga menjadi kuat imannya. Singkatnya, manusia diwajibkan berikhtiar sekuat
tenaga, tetapi menyerahkan hasil usahanya kepada taqdir Allah. Beberapa ayat
berikut ini menyiratkan bahwa sejak awal penciptaan, Allah senantiasa
menunjukkan keagungan kuasa-Nya sambil memberikan kesempatan bagi manusia untuk
menentukan pilihannya yang bebas.
·
S. As Sajadah (Sujud) :13-14:”Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap
jiwa petunjuk (baginya), akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) dari
pada-Ku; Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia
bersama-sama.”
·
S. Yusuf:40: “Kamu
tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu
dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun
tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah
memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
e. Hukum Islam (Al Ahkamul Khamsah)
Tujuan hidup manusia
adalah mencari ridha Ilahi, mencari perkenanan Allah, hidup sedemikian rupa
sehingga Allah tidak marah, melainkan berkenan. Perbuatan-perbuatan yang
berkenan pada Allah disebut halal) mendatangkan pahala bagi pelaku-pelakunya.
Sebaliknya, perbuatan yang menimbulkan kemarahan Allah (disebut haram) akan
menimpakan hukuman pada pelakunya. Semua hal di dunia ini (benda dan kelakuan
manusia) masuk dalam salah satu dari 5 golongan ketentuan dalam shari’at (Al
Ahkamul Khamsah = lima hukum Islam).
·
Wajib, Fardhu, yaitu kewajiban agama
yang harus dilakukan tiap pribadi Muslim, seperti rukun Islam yang lima.
· Sunnat, Mandub, Mustahab, yaitu salah satu ketentuan hukum
dalam shari’at, yang berarti dianjurkan agar sebaiknya dilaksanakan. Namun tidak berdosa jika ditinggalkan, mendapat pahala
kalau dilaksanakan.
· Mubah,
Ja’iz, yaitu boleh dikerjakan dan
boleh pula tidak dikerjakan, tidak apa-apa kalau tidak dikerjakan.
· Makruh, yaitu jenis ketentuan hukum shari’at; yang mengatakan
bahwa sesuatu hal atau perbuatan sebaiknya ditinggalkan (tidak dilakukan);
tetapi tidak sampai berdosa, jika melakukannya.
· Haram, yaitu benar-benar dilarang mengerjakannya; berdosa
jika mengerjakannya.
Adakah sesuatu hal itu halal atau haram, tidak
ditentukan oleh nilai intrinsiknya, melainkan oleh keputusan Allah sendiri.
Halal – haramnya sesuatu dapat diketahui dari Al Qur’an sendiri. Bila tidak ada di dalam Al Qur’an, diaculah
sumber yang kedua yakni Sunnah Nabi,
yakni perkataan, tingkah laku dan perbuatan nabi Muhammad sendiri. Sunnah Nabi
dikumpulkan di dalam kitab-kitab yang disebut Kitab Hadits. Hadits berarti
tradisi, tetapi di sini hanyalah tradisi atau adat kebiasaan Muhammad itu
sendiri. Bila baik di dalam Al Qur’an maupun Hadits Nabi sesuatu tidak dapat
dipecahkan, maka para ulama Islam menyelidiki dan menyimpulkannya (ijtihad)
dengan jalan qiyas (persamaan,
kemiripan masalah dengan yang terdapat dalam al Qur’an atau Sunnah Nabi),
secara Ijma’ (kesepakatan di antara
para ulama).
Keempat hal ini (Al Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma’ dan
Qiyas) dinamakan Usul al Fiqh dalam
sistim hukum Islam.
Dalam penafsiran dan penyusunan hukum Islam ini muncul
pelbagai aliran atau Mazhab, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. Yang
terpenting sekarang ini ialah: Mazhab
Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali. Pada prinsipnya
setiap orang Muslim boleh memilih untuk dirinya sendiri Mazhab mana yang
dianut. Islam di Indonesia pada umumnya menganut Mazhab Syafi’i.
- FILSAFAT DAN TASAWWUF DALAM ISLAM
a. Filsafat Dalam Islam
Dalam
sejarah agama dan kebudayaan Islam, terdapat
Dari aspek praktis,
filsafat berarti alam pikiran atau alam berpikir. Dengan demikian berfilsafat
berarti berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh, melakukan refleksi
rasional (fikr, ma’rifat atau ra’y) tentang seluruh realitas untuk mencapai
hakikat dan memperoleh hikmat. Di sini nampak bahwa unsur rasional menjadi
syarat mutlak bagi kegiatan ilmiah tersebut. Oleh karenanya, iman dan wahyu
sesungguhnya tidak masuk dalam proses pemikiran filosofis. Hanya sering
terjadi, bahwa dalil Kitab Suci misalnya, dapat membantu para filsuf dalam
mencari hakikat kebenaran itu.
Guna memiliki gambaran tentang pengertian
filsafat menurut para pemikir Muslim, baiklah ditampilkan berikut ini pandangan
kedua filsuf Muslim yang tenar:
·
Al-Farabi (w 950M), filsuf terbesar sebelum Ibn Sina
mendefinisikan filsafat sebagai “ilmu pengetahuan tentang alam mawjud dan
bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.”
·
Al-Kindi (800-870M) dalam bukunya Al Falasifah al Ula
(filsafat pertama) menulis, bahwa “yang paling tinggi dan mulia dari antara
segala kegiatan seni manusia adalah filsafat, yang merupakan pengetahuan akan
hakikat segala sesuatu sejauh kemampuan manusia.”
Dan tujuan para filsuf dengan
pengetahuannya ialah mencapai kebenaran dan bertindak sesuai dengan kebenaran
tersebut.
Filsuf-filsuf terkenal:
· Al Kindi (800 – 870M), seorang keturunan Arab asli,
dengan karya utamanya adalah: Kitab al Falasifah al Ula.
· Al Farabi (870 – 950M). Ayahnya seorang Irak, ibunya
wanita
· Ibn Sina (Avicenna) (980 – 1037M). Ia berkebangsaan
Turki-Iran, lahir di
· Al Gazali (1059 – 1111M). Lahir di Tus (Tusia),
Horasan di Iran. Ayahnya penenun benang wol, buta huruf, miskin namun jujur.
Karya-karya Al Gazali antara lain: Tahafu al Falasifah (Kerancuan para Filsuf);
Ihya’ ‘ulum al-Din (Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama); Al Maqsad al Asma’,
Sharh Asma’ Allah al Husna (Pembahasan mengenai nama-nama baik Allah secara
menyeluruh, masalah-masalah kalam dan tasawwuf); Iljam al-A’wam ‘an ‘Ilm
al-Kalam (Mengendalikan kaum Awam dari ilmu teologi).
b. Tasawwuf Dalam Islam
Dalam sejarah perkembangan umat Islam, ilmu Fiqh
(hukum Islam) menempati peranan yang utama. Karena terlalu menekankan hukum,
muncullah penghayatan keagamaan yang sangat legalistis (asal sesuai dengan
hukum). Hubungan dengan Allah menjadi kering, sehingga tidak memuaskan mereka
yang ingin mencari Tuhan terdorong oleh cinta rindu terhadap-Nya, yang tidak
hanya sekedar memenuhi peraturan-peraturan. Maka muncullah gerakan mistik dalam
umat Islam. Cara penghayatan keagamaan ini dikenal dengan nama Tasawwuf,
sedangkan orang yang menjalankan cara hidup ini disebut Sufi. Tasawwuf adalah
ilmu yang amat menekankan penghayatan ketuhanan melalui pengamalan-pengamalan
nyata dalam olah rohani yang mengutamakan intuisi. Jadi ia merupakan orientasi
keagamaan yang lebih bersifat pembatinan tindakan (interiorisasi tindakan).
Tujuannya adalah ma’rifat Allah, yaitu pengenalan akan Allah dalam suatu
kondisi rohani yang merasakan keintiman dan keakraban dengan-Nya.
Dengan demikian, terasa bahwa seseorang yang mencapai
tingkatan hidup sempurna sebagai insan kamil atau wali Allah merupakan orang
yang bijaksana yang hidupnya mencerminkan tingkah laku Allah di atas bumi.
Beberapa
pelopor tasawwuf dalam Islam, antara lain
adalah:
·
Ibrahim bin Adham (w. 777M).
· Rabi’ah al ‘Adawiyah (w. 802M).
· Haris bin Asad al Muhasibi (w. 857M).
· Abu Yazid al Bistami (w. 877M).
·
Al Husayn ibn Mansur al Hallaj (w. 922M).
· Al Saraaj (w. 988M).
Hampir semua wali yang menyebarkan Islam di Pulau Jawa
adalah orang-orang sufi (mistik) ini. Sembilan wali (Wali Sanga) penyebar agama
Islam di Jawa adalah: Sunan Kalijaga; Sunan Kudus; Sunan Muria; Sunan Giri;
Sunan Bonang; Sunan Drajat; Sunan
Gunungjati (Faletehan); Sunan Ampel dan Maulana Malik Ibrahim.
c. Perbedaan Antara Filsafat Dengan Tasawwuf.
NO |
FILSAFAT |
TASAWWUF |
1 |
Lebih menekankan pada renungan rasional. |
Mengutamakan
rasa atau batin serta latihan-latihan rohani secara praktis. |
2 |
Bermula
dari sikap ragu tentang segala kebenaran yang ada demi memperoleh kebenaran
yang sungguh-sungguh dapat diper-tanggungjawabkan |
Didorong
oleh rasa belum puas hanya dengan kepercayaan-kepercayaan konseptual yang
dihidangkan oleh agama. Ia bukan mau mencapai kebenaran baru, tetapi demi
pemantapan keyakinan yang telah ada lewat penghayatan spiritual. |
3 |
Kebenaran
yang dicapai oleh filsafat hanya bisa didekati dan tak pernah dicapai secara
final. |
Kenyataan
sejati bisa dihayati dan dicapai secara final. Dengan kata lain,Tasawwuf
dapat berakhir pada haqq al-yaqin. |
4 |
Dalam
filsafat manusia semakin menyadari keterbatasan ilmunya. |
Dalam
tasawwuf, semakin tinggi ma’rifat (pengetahuan) para sufi semakin mereka merasa
sempurna sebagai insan kamil (manusia sempurna). |
6. PAHAM-PAHAM AGAMA ISLAM DI
Semua agama
dunia yang berkembang di Indonesia datang dari luar negeri. Demikian juga
berbagai aliran, mazhab, maupun paham yang berkaitan dengan agama Islam,
berasal pula dari luar negeri. Sebetulnya jumlah aliran atau paham yang
berkembang di Indonesia itu banyak sekali, namun di sini hanya akan dibahas
beberapa saja dari mereka.
- Paham yang diikuti oleh banyak sekali umat Islam, dan telah memainkan
peranan penting dalam pergaulan internal umat Islam di Indonesia, yaitu:
(1)
Muhammadiyah
(2)
Nahdlatul Ulama (NU)
- Paham yang kehadirannya telah memberikan dampak berupa “kegiatan
sosial” atau keresahan sosial yang cukup berarti:
(1)
Ahmadiyah
(2)
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII)
(3)
Darul Arqom
(4)
Inkarus Sunah
(5)
Gerakan Usroh
(6)
Jamaah Tablig
(7)
Al Qiyadah Al Islamiyah
(1)
Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan nama
sebuah organisasi masyarakat yang bergerak dalam bidang dakwah, sosial dan
pendidikan yang berdasarkan Islam. Mereka menyebut organisasi itu Persyarikatan
Muhammadiyah. Persyarikatan itu didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan, seorang ulama
dan menjadi imam dan penghulu (qadi) Masjid Keraton Kasultanan Ngayogyakarto
Hadiningrat pada tahun 1912. Muhammadiyah tidak pernah disebut sebagai mazhab
atau aliran dalam Islam. Mereka beranggapan bahwa Muhammadiyah adalah sebuah
metodologi untuk memahami Islam secara sebenarnya, sesuai dengan tuntunan Nabi
Muhammad. Itulah sebabnya, organisasi ini disebut Muhammadiyah, yang berarti
mengikuti ajaran Muhammad SAW. Dan anggota wanita dari persyarikatan
Muhammadiyah disebut Aisyiah.
(2)
Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama didirikan di
Surabaya, tahun 1926, oleh K.H.M. Hasyim Asyari. Landasan Jam’iyah (Organisasi)
NU adalah paham Islam menurut Ahlus
Sunah Wal Jamaah. Sedangkan dasar paham keagamaan NU adalah sumber ajaran Islam
itu sendiri, yaitu Qur’an, Sunah Rasul, Ijmak, dan Qiyas, dengan mengikuti
salah satu mazhab, terutama Imam Syafi’i.
Sejak berdirinya, NU mempunyai
pengalaman unik dalam kehidupan maupun sikap politiknya. Menurutnya, Indonesia
ini, bahkan ketika masih dijajah Belanda adalah Darul Islam (Keputusan Muktamar
XI di Banjarmasin, 1936).
Kata Darul Islam, bukan dalam
pengertian politik, melainkan pengertian agama Islam, yang lebih bermakna sebagai
wilayah Islam atau negeri Islam, dan bukan negara Islam. Di masa penjajahan
Jepang, aspirasi politik NU disalurkan lewat Masyumi, bersama Ormas-ormas Islam
yang lainnya.
(3)
Ahmadiyah
Organisasi Ahmadiyah lahir tahun
1889, di India, oleh Mirza Ghulam Ahmad. Dia menyatakan diri sebagai mujjadid
(pembaharu), setelah menyadari bahwa para ulama Islam tidak berdaya dalam
menghadapi proses Kristenisasi.
Di kemudian hari, organisasi ini
terpecah menjadi dua, karena alasan yang sangat fundamental. Perpecahan itu
diawali dengan sikap Khalifah II, Basirudin Mahmud Ahmad yang dinilai tidak
sesuai dengan ajaran Islam yang dibawa oleh pendirinya. Dia mengubah nama
Ahmadiyah menjadi Jemaat Ahmadiyah, yang juga dikenal sebagai Ahmadiyah Qadian.
Mereka menunjukkan pandangan, bahwa Mirza Ghulam Ahmad, pendiri gerakan
Ahmadiyah adalah betul-betul Nabi. Dan menurutnya, orang Islam yang tidak
bai’at kepada Mirza Ghulam Ahmad adalah kafir.
Sementara itu, Ahmadiyah yang
asli, yang lebih dikenal dengan nama Anjumam Asya’ati Islam Lahore atau Gerakan
Ahmadiyah, dipimpin oleh Maulana Ahmad Ali. Gerakan ini percaya, bahwa Nabi
Suci Muhammad SAW. adalah Khatamin Nabiyyin, dalam arti Nabi yang terbesar dan
terakhir; dan sesudah Nabi Muhammad tidak akan datang nabi lagi. Menurut mereka,
Mirza Ghulam Ahmad adalah Mujjadid, almasih dan mahdi, tetapi bukan nabi dan
tidak pernah mengaku sebagai nabi. Gerakan ini menyatakan bahwa kaum muslimin
yang tidak bai’at kepada Mirza Ghulam Ahmad tidak kafir, tetapi menanggung
rugi.
Masuknya jemaat ini ke Indonesia
terjadi dalam kurun waktu yang berbeda. Gerakan Ahmadiyah Lahore, masuk ke
Indonesia sekitar tahun 1924, dengan datangnya
dua orang mubaligh bernama Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Beg, di
Yogyakarta. Sedangkan lahirnya jemaat Ahmadiyah (Ahmadiyah Qadian) di Indonesia
bermuda sejak kehadiran seorang mubaligh dari Pakistan, bernama Maulana Rahinat
Ali, tahun 1924.
(4)
Lembaga Dakwah Islam
Indonesia (LDII)
LDII didirikan di Surabaya, pada
tahun 1972, oleh Nurhasan Al Ubaidah. Mula-mula bernama Lemkari (Lembaga
Karyawan Dakwah Islam Indonesia). Namanya menjadi LDII, karena Lemkari sudah
menjadi nama dari organisasi karatedo Indonesia.
Inti ajaran yang dikembangkan
oleh LDII adalah kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, yang selama ini banyak
ditinggalkan oleh umat Islam. Di samping itu perpecahan di kalangan umat Islam
terjadi karena tidak memiliki pemimpin pemersatu yang sangat ditaati oleh umat.
Mereka beranggapan bahwa mempelajari ilmu-ilmu agama selain Qur’an dan Hadits,
seperti fiqih, tauhid, akhlak, dan sebagainya, percuma saja dan menyesatkan.
Mereka merasa tidak terikat dengan satu mazhab, kecuali hanya mengacu pada
Qur’an dan Hadits sahih.
Untuk menjadi murid aliran ini
tidak gampang. Harus melalui seleksi ketat. Tidak sembarang orang dapat
mengikuti pengajian mereka. Hanya dari mantan murid aliran itu sajalah dapat
diketahui ajaran mereka. Padahal, kesetiaan murid terhadap ajaran sangatlah
tinggi. Akibatnya, amat sulitlah bagi orang luar untuk dapat mengetahui
selengkapnya ajaran aliran tersebut. Mereka beranggapan, bahwa orang yang tidak
sepaham dengan mereka dihukum kafir atau syirik. Dan setiap orang kafir dan
syirik adalah najis. Konsekuensinya, mereka harus diusir dari kalangan Jamaah,
meskipun tadinya adalah anggota keluarga, seperti anak, orang tua, isteri
maupun suami. Menurut mereka, umat Islam di Indonesia wajib berbai’at dan taat
kepada Nurhasan Al-Ubaidah, karena ia adalah satu-satunya amir di negeri ini.
(5)
Darul Arqom
Tokoh pendiri Darul Arqom di
Indonesia adalah seorang keturunan Arab, bernama Syekh Muhammad As Suhaimi bin
Abdullah. Tokoh tersebut oleh para pengikutnya sering disebut dengan panggilan
Syekh Suhaimi atau Kyat Agung. Menurut penuturannya, dia masih keturunan
generasi ke-33 dari Nabi Muhammad. Dia telah belajar dari Pondok Sulu Tiang
Lowano di Jawa Tengah, dan Pondok Termas Pacitan Jawa Timur. Kemudian dia
belajar di Mekah, dengan perhatian khusus pada kajian tasawuf. Selanjutnya dia
mengabdikan diri di kompleks Masjid Makruf Singapura selama 4 tahun. Sampai
akhir hayatnya dia membina sebuah pesantren Selangor Malaysia. Namun para
pengikutnya beranggapan bahwa Syekh Suhaimi tidak meninggal, hanya menghilang
dan menetap di sebuah hutan Cepogo Pacitan di Jawa Timur.
Keberadaan Darul Arqom di
Indonesia diperkirakan diketahui sejak tahun 1988, dan sudah berkembang di
beberapa daerah, seperti Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, maupun Jawa
Barat. Secara fisik para pengikut Darul Arqom mudah diketahui dari pakaiannya.
Pengikut prianya berjubah dan bersorban seperti orang Arab, sementara pengikut
wanitanya berpakaian seperti pakaian muslimah lain, yaitu berjilbab, rok longgar
dan bercadar.
Kegiatan mereka, di samping
melakukan kegiatan ekonomi dalam semacam sebuah masyarakat tertutup, setiap
usai shalat fardlu mereka melakukan
wirid tertentu, dengan jumlah tertentu, layaknya pengikut aliran tarekat.
(6)
Inkarus Sunah
Paham Inkarus Sunah merupakan
salah satu paham yang meresahkan masyarakat Islam di Indonesia. Sebutan Inkarus
Sunah sebetulnya bukan berasal dari kelompok tersebut. Mereka menamakan diri
dengan Ahlul Qur’an atau Jamaah Ahli Qur’an, maupun Jamaah Qur’ani. Semua itu
menunjukkan bahwa mereka mengingkari sunah Nabi, sebagaimana tercantum dalam
Kitab-kitab Hadits, sehingga tepat kalau mereka disebut Inkarus Sunah atau
mengingkari sunah sebagai acuan beragama. Jumlah pengikut resmi paham ini tidak
banyak.
Keberadaan paham Inkarus Sunah di
Indonesia tidak diketahui kapan datangnya, namun mulai dikenal sejak tahun
1978. Mereka menamakan diri “Orang Qur’an”, dan hanya mendasarkan pada Qur’an
dalam proses pencarian hukum tentang permasalahan hidup keagamaan.
Penggunaan sumber selain Qur’an,
termasuk sunah maupun fatwa ulama, mengakibatkan kesyirikan atau kekafiran. Sunah
atau hadits yang disebut sekarang sebagai perkataan Nabi Muhammad atau
dihubungkan dengan Rasulullah adalah bohong dan palsu, sebab hal itu hanya
dongeng tentang Nabi Muhammad. Menurut paham ini, tugas Rasulullah hanya
menyampaikan Qur’an. Di luar itu, sebagai pandangan-pandangannya tidak dapat
menjadi argumen bagi agama Islam.
Pusat kegiatan mereka ada di
Masjid Al-Burhan di dekat pasar Rumput Jakarta Selatan. Penyebaran ajaran
mereka didasarkan pada buku-buku tulisan empat tokoh aliran ini, yaitu Nazwar
Syamsu, Yunus Nasution, Dalimi Lubis, dan Irkham Santosa.
(7)
Gerakan Usroh
Di masa Orde Baru, terutama dalam
paruh kedua tahun 80-an terlihat gejala menarik dalam gerakan Dakwah Islamiyah
di Indonesia, yaitu munculnya usrah, yang ditandai maraknya kegiatan Islam di
kampus-kampus. Gejala tersebut menandai maraknya kesadaran beragama di kalangan
intelektual muda, terutama melibatkan para mahasiswa maupun dosen di
kampus-kampus non agama.
Mereka, antara lain beranggapan,
bahwa masjid-masjid kampus yang dibiayai oleh Yayasan Amal Bakti Muslim
Pancasila, itu haram dipakai. Mereka juga melarang menggunakan dana dari orang
tua yang menerima gaji sebagai PNS. Mereka menolak bersalaman dengan lain
jenis. Mereka menolak membuka cadar dalam perkuliahan. Dan lebih dari itu,
mereka hidup secara eksklusif, menutup diri dari pergaulan dengan umum dengan
tata nilai tersendiri pula.
Kegiatan agama maupun pengkajian
agama mereka lakukan dalam kelompok-kelompok kecil yang akrab, sehingga lebih
dikenal sebagai usrah. Usrah berarti keluarga, atau keakraban dalam keluarga
kecil yang bersifat patriarkh yang dipimpin oleh seseorang yang dituakan.
Mereka mengadakan pengajian rutin maupun berkala, dan memilih proses belajar
mengajar yang intensif, seperti ceramah, diskusi, dan tanya jawab. Untuk itu
mereka mengundang nara sumber ahli yang sepaham.
(8)
Jamaah Tablig
Sejak paruh kedua tahun 1980-an,
masyarakat Islam Indonesia dikejutkan oleh gejala baru dalam kegiatan dakwah,
yaitu dakwah yang dilakukan oleh orang-orang India yang mendatangi
masjid-masjid di berbagai kampung di Indonesia. Mereka datang, kemudian meminta
waktu untuk berbicara dalam majelis atau
dakwah di masjid-masjid. Mereka menyapa hadirin dengan panggilan saudara
seiman, yaitu brother and sister. Ketika mereka tidak diijinkan untuk memberi
pengajian, misalnya karena acaranya sudah diatur rapi oleh panitia, mereka
tidak kecewa. Lain kali mereka datang lagi, dan bahkan meminta ijin menginap di
masjid, tanpa meminta bantuan apapun dari masyarakat. Untuk beberapa lama
mereka tinggal di situ, memasak sendiri di sekitar bangunan masjid dan makan
bersama-sama dari satu wadah. Mereka juga berusaha untuk membantu masyarakat
dalam memperbaiki peribadatan umat yang sempat mereka kunjungi.
Kegiatan ini mereka sebut jaulah
(bahasa India) yang berarti kunjungan keluar rumah untuk berdakwah. Yaitu
kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap pengikut jamaah, menyisihkan waktu
khusus untuk keluar rumah melaksanakan dakwah ke tengah-tengah masyarakat.
Tidak segan-segan mereka melakukan door to door pada warga masyarakat, baik di
rumah, kerumunan, maupun ke warung-warung. Materinya sangat sederhana, yaitu
mengingatkan agar umat selalu melaksanakan Ibadah yang benar, berperilaku baik
kepada sesama warga masyarakat maupun taat kepada pemerintah.
Jamaah Tablig mulai masuk ke
Indonesia pada tahun 1985 oleh Maulana Saad. Sampai sekarang yang menjadi
pemimpin jamaah adalah Ahmad Zul Fakar, seorang purnawirawan perwira menengah
TNI AD. Mereka menjadikan Masjid Kebon Jeruk di Jakarta sebagai pusat di
Jakarta.
Salah satu ciri fisik dari
pengikut jamaah ini adalah dalam berpakaian. Seperti pengikut jamaah-jamaah
pengajian yang lain, pakaian wanitanya adalah busana muslimah tanpa cadar. Bagi
jamaah pria pun tidak berbeda dengan jamaah lain, yaitu baju koko dan celana
dengan ujung bawah sebatas di atas mata kaki dan mengenakan kopiah putih. Mereka memelihara jenggot dan mencukur
bersih kumis. Semua itu mereka lakukan untuk mengikuti sunah Rasul.
(9)
Al Qiyadah Al Islamiyah
Aliran ini muncul sekitar tahun 2006, oleh Ahmad Musadeq, di Jawa Barat.
Ia memproklamirkan diri sebagai Imam Mahdi, yaitu Nabi terakhir, yang mendapat
wahyu dan diutus untuk mengajarkan kebenaran. Karena ajarannya meresahkan
masyarakat, maka segera dinyatakan sesat oleh Pemerintah RI, dan
pengikut-pengikutnya kembali bertaubat.
Ahmad Musadeq sendiri akhirnya juga bertaubat, dan kembali ke pangkuan Islam
yang benar.
(10) Aliran Sorga Eden
Awal Januari 2010
kepolisian Cirebon menangkap Ahmad Tantowi, pimpinan Sekte Sorga Eden yang
tinggal di kampung Pengkang, Kelurahan Harjamukti, Cirebon. Aliran ini sempat
membikin marah umat Islam, karena Ahmad Tantowi memproklamirkan dirinya sebagai
Tuhan. Dia tinggal serumah dengan para pengikutnya, baik laki-laki maupun
perempuan, serta melakukan pergaulan bebas dengan pengikut-pengikut wanitanya.
(11) Aliran Brayat Agung.
Pada bulan Januari 2010 juga di
desa Gelung, Panarukan, Situbondo, seseorang yang menamakan dirinya Pangeran
Agung, memproklamirkan suatu aliran yang disebut Aliran Brayat Agung.
Majapahit. Aliran ini sesat karena melarang para pengikutnya untuk melakukan
Sholat, berpuasa. Bahkan aliran ini menghina Nabi Muhammad. Karena itu KH.
Abdus Shomad pimpinan MUI Jawa Timur menegaskan bahwa aliran ini melecehkan
Islam.
(12)Aliran Humalea (Puangmalea)
Pada akhir Januari 2010,
kepolisian Polewali Mandar, Sulawesi Barat menangkap Syamsudin. Dia adalah
pemimpin aliran Humalea (Puangmalea). Ia menganggap dirinya sebagai Nabi
Khaidir. Ajarannya menyimpang dari kaidah Islam. Misalnya: menurutnya,
orang-orang di luar aliran ini adalah setan. Katanya, ajarannya disarikan dari
Kitab Taurat, Zabur, Shuhuf dan Injil. Kitab Suci mereka bernama Kitab
Kalimullah. Aliran ini mengajarkan perkawinan batin. Anggota kelompok ini hanya
sholat sekali seminggu, dilakukan di air, tanpa busana. Kiblat Sholatnya tidak
ke arah Mekkah, melainkan menghadap ke selatan.
7. DIALOG ANTAR
UMAT KRISTEN DENGAN UMAT ISLAM
Pada zaman kita ini makin dirasakan
pentingnya dialog antar orang beriman. Hal ini disebabkan oleh semakin mendalamnya kesadaran
akan pluralitas masyarakat. Kesadaran ini menyebabkan banyak orang Kristen
bertanya-tanya: “Apakah dialog menggantikan mandat mewartakan Injil? Apakah
hubungan antara dialog antar orang beriman/beragama dengan tugas pewartaan?
Sejauh mana pewartaan Injil masih relevan?”
Dalam uraian berikut akan dibicarakan secara
khusus dialog antara Kristen dengan Islam, dengan harapan kita dapat
mengembangkan sikap dialog serta mampu menjalin kerja sama yang lebih harmonis
dengan umat Islam.
Pertama-tama akan diuraikan terlebih dahulu essensi dialog antar agama
serta kendala-kendalanya. Selanjutnya, akan diuraikan kemungkinan-kemungkinan
dialog iman antara Kristen dengan Islam mengenai beberapa pokok iman.
a. Dialog antar umat beragama, essensi dan
kendala-kendalanya.
Hubungan antara Gereja Katolik dan Islam
mempunyai sejarah tertentu. Yakni suatu sejarah yang penuh gejolak. Gereja
Katolik (Gereja Barat) pernah memandang Islam sebagai suatu ancaman dan bahaya
yang harus diperangi. Islam dan agama-agama bukan Kristen lainnya dianggap
sebagai agama kafir. Umatnya dianggap lebih rendah dan kurang dapat menggunakan
akal budinya dengan baik. Semuanya ini dibarengi dengan suatu pengenalan yang
sangat sedikit atau hampir tidak ada tentang Islam dan agama-agama lain. Memang
di sana-sini terdengar suara-suara dan terlihat sikap-sikap yang lebih positif,
terutama sejak akhir abad ke-19. Akan tetapi, jumlahnya masih terlalu kecil
untuk mempengaruhi sikap seluruh Gereja Kristen.
Untunglah, Konsili Vatikan II membawa
perubahan dan pembaharuan. Sejak saat itu Gereja secara resmi memasuki suatu
era baru, era dialog dengan agama-agama bukan Kristen.
1) Essensi dialog
Budaya dialog di antara umat beragama
terasa semakin berkembang. Dan perkembangan tersebut telah memberikan
pengalaman baru kepada para pemuka agama, terutama dalam lingkup sosialitas
keagamaan. Konsili Vatikan II telah
membentuk komisi yang menangani dialog ini (Pontifical Commission, Council for
Inter-Religious Dialogue). Lalu pada tahun 1971 Dewan Gereja-gereja sedunia
juga membentuk sub unit dialog.
Di kalangan Islam, juga
dilakukan kegiatan-kegiatan dialog dengan caranya masing-masing. Pada dasarnya
teologi dialog memang ada pada agama-agama di dunia ini, bahkan jauh sebelum
institusi-institusi dialog tersebut dibentuk secara formal.
Kitab-kitab
Suci Agama Samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam pada khususnya) banyak
mengungkapkan adanya dialog. Di India, Raja Asoka yang hidup jauh sebelum tahun
Masehi (abad ketiga sebelum Masehi) telah meletakkan prinsip-prinsip tersebut
dengan dipahat di batu cadas.
Pemahaman
tentang dialog ini sedikitnya ada dua macam pengertian, yakni:
(a) Dialog diartikan sebagai pembicaraan antara “dua”
pihak untuk dapat saling memahami, saling memberi penjelasan tentang masalah
yang dipandang perlu bagi kedua belah pihak, tapi mungkin juga untuk mengetahui
kelemahan masing-masing pihak.
(b) Dialog dalam arti ”dia-leghe”, yaitu berbicara dalam
forum terbuka, dalam usaha mencari jalan bersama untuk menemukan realitas dan
pemecahan masalah-masalah yang dihadapi bersama, dan bergerak menuju tujuan
yang ingin diwujutkan bersama.
Menurut H.M.Tholhah Hasan, dialog antar umat beragama sekarang, kiranya
akan lebih bermanfaat, apa bila ditekankan pada pengertian kedua tersebut, dari
pada hanya berbicara antara dua pihak, apa lagi menyangkut prinsip-prinsip
teologi, yang bisa-bisa akan menambah ketertutupan komunikasi, dan pembicaraan
menjadi lebih bersifat apologetis. Berbeda halnya jika kita berdialog mengenai
masalah: Bagaimana upaya meningkatkan kehidupan bermoral. Bagaimana
mengembangkan peran nilai-nilai agama dalam upaya kesadaran kualitas
lingkungan. Bagaimana cara melindungi martabat manusia menghadapi dominasi
teknologi. Bagaimana meningkatkan dimensi transendental dalam kehidupan modern.
Dan lain-lain. Di sini kita akan saling menyumbang wawasan dan pengalaman,
tanpa resiko (atau dengan resiko minim) ketersinggungan teologi dan tradisi
masing-masing.
2) Pandangan
dan sikap Islam terhadap non Islam.
Pandangan dan sikap Islam (Muslim) terhadap golongan
non Islam (non Muslim) berangkat dari
prinsip-prinsip teologi Islam sebagai berikut :
(a)
Sumber segala
kebenaran dan kebaikan adalah Allah. Dialah kebenaran dan kebaikan absolut.
Kebenaran-kebenaran yang lain bersifat nisbi.
(b) Hakikat hidayah (pentunjuk) iman adalah kekuasaan dan
kasih sayang-Nya. Manusia tidak memiliki otorita untuk merekayasa keimanan.
(c)
Manusia adalah
makhluk mulia yang diciptakan oleh Allah. Oleh karenanya, maka martabat dan
hak-hak manusia harus dihormati.
(d) Manusia pada hakekatnya berasal dari satu jalur
keturunan (dari Adam). Oleh karenanya, mereka adalah bersaudara. Perbedaan ras,
bahasa, nusa, budaya maupun agama tidak menjadi alasan saling memusuhi satu
sama lainnya.
(e)
Hidup di dunia
ini bersifat sementara dan terbatas, akhirnya kita akan kembali pada Allah.
(f)
Perbedaan-perbedaan
pandangan, keyakinan, persepsi, sikap, pengakuan dan lain-lain, akhirnya Allah
juga yang akan menilai dan memutuskan di dalam mahkamah-Nya nanti.
(g) Surga dan neraka tidak semata-mata ditentukan oleh
perbuatan manusia di dunia ini. Tapi, belas kasih dan kemurahan Allah-lah yang
akan lebih menentukannya.
Dari
prinsip-prinsip teologi tersebut, Islam menetapkan sikap dan pandangannya
terhadap golongan atau umat non Islam, antara lain sebagai berikut :
“Islam
memandang sesama manusia ini pada prinsipnya sebagai saudara.” Konsep
persaudaraan (ukhuwah) itu dapat dibagi ke dalam tiga kategori :
(a)
Ukhuwah Islamiah
(persaudaraan sesama manusia Muslim), didasarkan pada hubungan-hubungan
keyakinan, religiusitas, dan lain sebagainya.
(b) Ukhuwah Whatoniyah (persaudaraan sebangsa dan setanah
air), didasarkan pada kepentingan bersama dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, lebih menyentuh aspek sosialitas beragama.
(c)
Ukhuwah
Basyariyah (persaudaraan sesama umat manusia), didasarkan atas kebutuhan dan
tanggung jawab bersama di dalam menyelamatkan hidup umat manusia, menjaga
martabat dan eksistensinya. Hal ini lebih menyentuh aspek environmental
keberagamaan kita.
Ketiga
sikap Ukhuwah tersebut diupayakan dapat berlangsung secara harmonis, seimbang
dan tidak saling mengorbankan. Sikap ini dalam tingkat implementasinya kerap
kali terhambat realitas lingkungan yang tidak kondusif, yang tidak mendukung
pengembangannya.
Islam membagi golongan Non Islam menjadi
dua macam:
(1) Orang-orang kafir atau musyrik, termasuk di dalamnya
golongan atheis dan penyembah berhala, atau penyembah selain Allah. Kepada
mereka Islam tidak ada maksud untuk mengganggu atau memusuhi. Tetapi Islam juga
tidak mau diganggu atau dimusuhi (S. Al Kafirun: 1-6). Islam menghendaki hidup
berdampingan dengan mereka dalam semangat pluralisme.
(2) Orang-orang pemegang Kitab Suci (Ahlul Kitab),
dikhususkan umat Yahudi dan Nasrani. Islam mengakui bahwa di antara kita
(Islam, Yahudi dan Nasrani) ada beberapa titik temu (Kalimatin sawa’) seperti :
-
Tuhan kita sama,
yakni Allah.
-
Kita sama-sama
meyakini akan menuju ke “kehidupan ukhrawi”, setelah melewati kematian.
-
Kita sama-sama
menjunjung tinggi aspek transendental.
-
Kita sama-sama
menghormati nilai-nilai dan kesopanan dalam hidup.
3) Dasar-dasar
dialog :
a) Dari pihak Islam :
Adanya
keanekaragaman berasal dari Allah.
Perbedaan-perbedaan di antara kita memang ada, baik yang
menyangkut teologi, hukum, maupun ritus dan lain-lain. “Seandainya Allah menghendaki, bisa saja kita sama dalam segala hal,
namun bukan begitu yang dikehendaki-Nya. Tuhan rupanya melihat kita dalam
kompetisi (S. Hud:118),” dan Tuhan sendiri nanti yang akan menilai.
Islam merasa dekat dengan orang Nasrani.
Di dalam Al Qur’an ada ayat yang menyatakan:”Bahwa golongan yang banyak bermusuhan
dengan orang Islam adalah golongan Yahudi dan musyrikin, sedang yang dekat
persahabatannya adalah orang-orang Nasrani” (S. Al Maidah: 82). Semoga proposisi Qur’ani semacam itu dapat
diaktualisasikan.
Misi Islam tidak mengenal “Paksaan Agama” (la ikroha fi ad-Dien) seperti
ditegaskan dalam Al Qur’an (S. Al Baqarah : 256). Malah Nabi Muhammad sebagai
Rasul Tuhan diperingatkan Allah: “Jika
Tuhanmu menghendaki, tentu semua orang yang ada di atas bumi akan beriman
semua. Apakah engkau akan memaksa manusia agar mau beriman” (S. Yunus: 99).
Tugas risalah (misi) Rasul Tuhan adalah: menyampaikan dengan jelas, tentang
berita wahyu yang diterimanya, kepada umat manusia, tetapi bukan memaksa
mereka. (S. Al Maidah : 99; S.An Nahl : 35, 82; S.An Nur:54).
Dari sikap demikian, dikembangkan prinsip “kebebasan
beragama”, sejak masa Nabi Muhammad sampai sekarang. Meskipun Islam
mengharamkan pemeluknya makan babi atau minum khamer (minuman keras), namun
Islam tidak melarang orang-orang bukan Muslim memakan babi atau minum khamer.
Bahkan menurut mazhab Hanafi, apabila ada orang membunuh seekor babi milik
orang bukan Muslim, atau memecahkan guci-guci khamer mereka, dia wajib memberi
ganti rugi, entah di minta atau pun tidak diminta.
Hubungan sosial
antara orang Islam dan non Islam diarahkan agar saling menghormati, saling
membantu, saling menjaga perasaan. Nabi Muhammad sendiri menghadiri undangan
walimah (Kenduri/ selamatan) mereka (non Islam), ikut menghantar jenazah
mereka. Ibnu Abbas, salah seorang sahabat ternama, yang bertetangga dengan
seorang Yahudi, selalu mengirimi hadiah makanan kepadanya.
Umumnya para
ulama Islam, membolehkan umat Islam memakan makanan saudara-saudaranya (para
Ahlul Kitab), bergaul dalam lingkungan keluarga yang berbeda agama,
menghalalkan binatang sembelihan Ahlul Kitab, dan mengawini wanita dari
kalangan mereka.
Dialog antar agama dianjurkan, dengan pesan agar
dilakukan secara konstruktif, memperhatikan logika dan etika dialog (S. Al
Ankabut : 46; S. An Nahl :125).
b) Dari pihak Katolik :
(1) Dialog bukan taktik sementara yang lahir dari
sikap oportunis, melainkan lahir dari pengalaman, refleksi, dan
kesulitan-kesulitan hidup itu sendiri.
(2) Dialog
menunjukkan sikap Gereja yang terbuka.
(3) Kesetiaannya kepada umat
manusia, kepada kebutuhan-kebutuhannya baik pribadi maupun sosial (kelompok):
- Karena memiliki sesuatu
untuk dikomunikasikan.
-
Bersama yang lain menuju ke keberadaan yang lebih penuh.
- Saling melengkapi dan
saling memurnikan.
-
Tukar-menukar yang memajukan perdamaian.
(4) Iman kepada Allah Tritunggal;
-
Dalam Allah Bapa ada persatuan dan saling berhubungan: cinta dan rahmat Allah
yang terungkap dalam ciptaan. Dialog itu: menemukan kasih Allah dalam ciptaan.
- Dalam Putra yang mengasihi: kasih yang menyatukan.
-
Dalam Roh Kudus yang berkarya mengantar orang kepada kebenaran, Roh Kudus
berkarya di luar batas-batas Gereja yang tampak (RH 6;LG 16;GS 22;AG 15).
Paus
Yohanes Paulus II, ketika memberikan sambutan dalam sidang paripurna Secretariatus Pro Non
Christianis, tanggal 27 Februari- 3 Maret 1984, menyatakan: “Bagi Gereja,
dialog didasarkan atas kehidupan Tuhan sendiri, yang Esa dan Tritunggal. Tuhan
adalah Bapa seluruh keluarga umat manusia, Kristus telah menggabungkan setiap
orang kepada Diri-Nya (Redemptor Hominis 13), Roh Kudus berkarya di dalam
setiap pribadi, oleh karena itu dialog juga didasarkan atas cinta kasih kepada
pribadi manusia sebagaimana adanya, yang merupakan jalan yang utama dan
fundamental bagi Gereja (Redemptor Hominis:14) dan berdasarkan hubungan yang
ada antara kebudayaan dan agama-agama yang dianut orang-orang.”
(a) Usaha tegaknya Kerajaan Allah, tujuan terakhir: Gereja
sendiri adalah benih dan awal Kerajaan itu (LG 5, 9).
(b) Pengakuan akan benih-benih/nilai-nilai kerajaan yang
tertabur dan tersimpan dalam tradisi keagamaan :
-
OT 16 :
unsur-unsur yang benar dan baik.
-
GS 92: hal-hal
berharga, baik yang bersifat keagamaan maupun manusiawi.
-
AG 18 : benih-benih
kontemplasi.
-
AG 9 :
unsur-unsur kebenaran dan rahmat.
-
AG 11; 15:
benih-benih sabda.
-
NA 2: Cahaya
kebenaran yang menyinari umat manusia.
(c) Ketulusan motivasi untuk menemukan kekayaan yang telah
diberikan Allah dan menyirami harta itu dengan cahaya Injil (AG 11; 41).
4)
Bentuk-bentuk dialog.
Menurut
pengalaman, ada banyak cara pengungkapan dialog antara lain:
(a) Dialog kehidupan: keseharian, kesaksian,
pengabdian; dilaksanakan oleh semua dan setiap orang.
(b) Dialog karya: karya sosial, ekonomi, politik; oleh
organisasi-organisasi yang bersama-sama menghadapi masalah-masalah dunia,
seperti keadilan, kedamaian, kebebasan.
(c) Dialog para ahli: dilaksanakan untuk:
-
Mendalami warisan
keagamaan masing-masing.
-
Menghargai nilai-nilai rohani partner dialog.
-
Menerapkan keahlian untuk bersama-sama menghadapi
masalah-masalah global dunia.
(d) Berbagi pengalaman
keagamaan, untuk;
-
Berbagi
pengalaman doa, kontemplasi, iman, cara-cara mencari yang mutlak.
-
Memelihara
nilai-nilai tertinggi dan cita-cita rohani manusia.
5)
Kendala hubungan antar agama.
Kendala
hubungan antar agama yang selama ini kita upayakan pemecahannya, sampai
sekarang ternyata masih cukup banyak. Hal tersebut terjadi antara lain karena:
(a)
Keterbatasan
pengetahuan tentang teologi, budaya, tradisi, dari suatu golongan terhadap
golongan lainnya, sehingga kerap mengundang rasa saling curiga, salah paham,
salah penilaian. Kekeliruan dalam mempersepsi dan menilai suatu kasus
keagamaan, seperti kasus yang dilakukan oleh seseorang, atau suatu kelompok,
kemudian peristiwa tersebut oleh golongan lain dianggap sebagai sikap atau
perilaku umum dari golongan yang terlibat kasus itu. Padahal kasus itu hanya
perbuatan individual atau kelompok kecil saja, sedang yang lainnya sama sekali
berbeda.
(b) Adanya kecurigaan yang traumatik, seperti munculnya
isu ”Kristenisasi” atau “Islamisasi”. Bahkan kecurigaan terhadap dialog antar
agama. Banyak orang menilai, bahwa diselenggarakannya dialog antar agama
merupakan “upaya kompromi” dari suatu kelompok, karena merasa misinya sedang mengalami
kebuntuan, atau merasa kesulitan menghadapi suatu situasi yang memerlukan
kelancaran komunikasi.
(c)
Terjadinya
tragedi-tragedi Internasional, yang dapat menyulut kemarahan satu golongan
kepada golongan lain, karena adanya kepentingan-kepentingan politik, ekonomi,
atau militer, seperti yang pernah terjadi dalam tragedi
Dalam tingkatan
nasional, peristiwa-peristiwa seperti tragedi Poso, Maluku, Mataram, ternyata
menggugah semangat solidaritas keagamaan intern kelompok-kelompok yang
bertikai, untuk bangkit bersama-sama menghadapi kelompok keagamaan lainnya.
(d) Terbatasnya tokoh-tokoh agama yang bersedia memasuki
kegiatan dialog antar agama dengan berbagai macam alasan. Yang terbanyak adalah
alasan kekurang-efektifan dialog yang selama ini diikuti.
6)
Beberapa harapan.
Dialog antar
agama merupakan sesuatu yang amat penting. Hanya saja perlu diambil
langkah-langkah yang menarik bagi para tokoh agama yang mau terlibat di dalam
dialog tersebut, antara lain:
(a)
Masalah-masalah
yang menjadi tema dialog tidak lagi menyangkut masalah-masalah teologis yang
sensitif. Lebih baik tema tersebut menyangkut masalah-masalah aktual yang
menjadi tanggung jawab bersama di antara umat berbagai agama, seperti masalah
kemiskinan, masalah lingkungan hidup, masalah gejala perilaku sadis, seks
bebas, pornografi, pornoaksi, narkoba,
dan lain-lain.
(b) Mengantisipasi bersama tentang dampak yang dapat
terjadi dalam menghadapi arus globalisasi IPTEK, informasi canggih, kemajuan
ekonomi, terhadap nilai-nilai keagamaan dan spiritual bangsa. Jika para
intelektual sekuler sudah mulai gelisah menghadapi fenomena ini, dan juga
mengambil langkah dengan kerangka sekuler, liberal dan humanistik, mengapa kita
intelektual agama tidak mengambil langkah bersama menghadapi masalah-masalah
yang begitu mendasar bagi kehidupan umat manusia.
(c)
Mengusahakan
bersama-sama untuk meningkatkan dimensi transendental dalam kehidupan ini, dan
meningkatkan kehidupan moral dalam masyarakat luas. Dalam setiap agama, dogma
dan doktrin adalah penting. Tetapi perilaku hidup tidak kalah penting dari apa
yang dikatakan oleh Kitab Suci, atau dari apa yang dikatakan oleh guru besar
teologi dalam setiap agama. Dalam suatu diskusi pendidikan ada seseorang
mengeluhkan bahwa anaknya mempunyai nilai bagus sekali dalam mata pelajaran
agama di sekolah, tetapi di luar sekolah nakalnya setengah mati.
Selama ini
rupanya kita terlalu memusatkan perhatian pada isi intelektualisasi agama, dan
tidak cukup banyak perhatian kita pada internalisasi agama, dan pada
internalisasi nilai serta disiplin nilai dan moral yang merupakan cermin dari
agama.
b)
Dialog iman antara Kristen dengan Islam sesuai pernyataan Konsili
Vatikan II.
Khususnya tentang hubungan
dengan Islam, Konsili Vatikan II menyatakan sebagai berikut: “Dengan hormat
Gereja memandang umat Islam, yang menyembah Allah Yang Mahaesa, Yang hidup dan
berdiri pada Zatnya sendiri, Yang Mahamurah dan Mahakuasa, Pencipta langit dan
bumi, Yang berfirman kepada manusia. Mereka berusaha menyerahkan diri dengan
segenap hati kepada keputusan-keputusan Allah bahkan yang tersembunyi seperti
halnya Abraham, yang menjadi acuan iman Islam. Mereka menyerahkan diri kepada
Allah. Meskipun tidak mengakui Yesus sebagai Allah, namun mereka menghormati
Dia sebagai nabi. Maria, ibu-Nya yang perawan, mereka hormati pula dan
kadang-kadang mereka berdoa kepadanya dengan khidmat. Selanjutnya mereka
menantikan hari penghakiman, saat Allah membangkitkan orang mati, membalas
perbuatan mereka. Karena itu mereka sangat menghargai pula hidup moral dan
beribadat kepada Allah terutama dengan doa, sedekah dan puasa. Karena selama
abad-abad yang lampau tidak sedikit terjadi perselisihan dan permusuhan di
antara umat Kristen dan Islam, Konsili Suci menghimbau kepada semua saja supaya
melupakan masa lampau dan mulai mengusahakan
saling pengertian secara tulus serta bersama-sama berusaha membela dan
memajukan keadilan sosial, nilai-nilai moral, perdamaian dan kemerdekaan bagi
seluruh umat manusia (NA 3).”
Konsili Vatikan II telah
memberikan suatu pernyataan yang besar tentang Islam, tentang apa yang ”benar,
baik dan suci” dalam agama Islam menurut Iman Kristen, tentang apa yang harus
menjadi penghormatan dari pihak Katolik terhadap Islam sebagai dasar dialog.
Pernyataan Konsili Vatikan II mengenai hal ini menyangkut
7 (tujuh) hal, yaitu:
(1) Iman akan Tuhan dalam Islam.
(2) Iman.
(3) Kristologi Islam.
(4) Maria ibu Yesus dalam
dialog iman.
(5) Eskatologi Islam.
(6) Moral dan Ibadat.
(7) Himbauan untuk dialog.
Tujuh hal ini sebenarnya terdiri dari dua bagian, yaitu:
(1) Pernyataan tentang sikap Gereja terhadap beberapa
pokok iman Islam (No. 1 s/d 6)
(2) Himbauan untuk dialog (No.7), yang menyangkut 2
dimensi,yaitu:
- Sejarah.
- Masa depan.
Pernyataan dan
himbauan yang bagus ini hanya tetap merupakan kata-kata, kalau tidak dihayati
dan didengarkan. Gereja harus mulai secara serius berdialog dengan Islam
sebagai suatu panggilan imannya. Akan tetapi bagaimana? Itulah yang menjadi
pertanyaan pokok bagi kita semua. Marilah kita melihat kembali pernyataan dalam
Nostra Aetate artikel 3.
Pernyataan
pokok dalam bagian pertama ialah ”Dengan hormat Gereja memandang pula umat
Islam. ”Apa artinya” dengan penghormatan atau penghargaan” itu? Apa yang harus
dilakukan untuk mempersiapkan jalan bagi Tuhan supaya menumbuhkan ”Benih-benih
sabda” yang telah terdapat dalam iman Islam? Kita perlu memikirkan jawab atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut, karena dialog antar iman mengandaikan bukan
hanya pengenalan tentang iman agama lain, melainkan pula kemauan untuk melihat
kembali peran kita sendiri dalam hubungan dengan iman tersebut dan kemauan
untuk memberikan diri padanya. Pertemuan antar agama adalah suatu proses
dinamis. Semua yang terlibat di dalamnya harus menafsirkan kembali pengertian
imannya. Bagi kita umat Kristen, Kristus adalah tetap kepenuhan agama-agama
bukan Kristen. Dia sekarang mau datang melalui kita untuk menggenapinya (Bdk
Mat 5:17)
Namun dialog
antar agama tidak bisa terbatas hanya pada dialog antar iman. Setiap agama
menghayati imannya dalam konteks sejarah tertentu. Unsur kesejarahan ciri iman
haruslah selalu diperhatikan. Iman yang hidup tidak terdapat dalam buku atau
rumusan-rumusan, tetapi dalam hidup yang nyata. Jadi unsur kesejarahan ini
haruslah selalu dilihat.
Pernyataan pokok dalam himbauan untuk
dialog ialah:
·
“Konsili suci
menghimbau kepada semua saja supaya melupakan masa lampau dan mengusahakan
saling pengertian secara tulus.” Pernyataan ini mengandaikan bahwa dialog antar
agama tidak dapat mengabaikan dimensi sejarah. Hubungan antar agama tidak dapat
mengabaikan dimensi sejarah. Sejarah bukanlah sesuatu hal yang sudah lampau
saja, melainkan sesuatu yang meninggalkan bekas dan mempengaruhi sistem
sekarang. Berbicara tentang dialog antar umat Kristen dan Islam berarti pula
berbicara tentang ”melupakan segala peselisihan dan permusuhan yang tidak
sedikit terjadi di antara umat Kristen dan Islam di masa lampau.” Lalu apa
artinya untuk Gereja di Indonesia di masa sekarang? Apa yang harus dilakukan untuk
”membina” saling pengertian secara tulus?
·
“Konsili suci
menghimbau kepada semua saja supaya bersama-sama berusaha membela dan memajukan
keadilan sosial, nilai-nilai moral, perdamaian dan kemerdekaan bagi seluruh
umat manusia.” Pertanyaan kita: Apa yang harus dilakukan Gereja di Indonesia
supaya kerjasama dalam hal-hal yang disebut itu dapat dimulai?
Demikianlah beberapa pokok
persoalan dalam dialog Kristen Islam.
Berikut ini kita akan mendalami persoalan-persoalan
tersebut secara singkat:
(1)
Dialog iman tentang iman
akan Allah.
Gereja Katolik telah memperlihatkan keberanian yang besar
untuk menyatakan secara resmi bahwa dengan hormat dia memandang umat Islam
”yang menyembah Allah yang Mahaesa, yang hidup dan berdiri pada Zat-Nya
sendiri; yang Mahamurah dan Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang berfirman
kepada manusia. ”Pernyataan ini juga menunjukkan bahwa dialog antar umat
Kristen dan umat Islam pada tempat yang pertama adalah dialog antar orang-orang
yang beriman. Yang menyatukan mereka ialah iman mereka kepada Allah dan terutama Allah
sendiri. Keduanya harus berkembang dalam mencari Allah dan belajar melihat
tanda kehadiran Allah yang penuh rahasia dalam sesama.
Ilmu Tawhid menyebutkan 20 sifat wajib dan 99 Nama Luhur Allah. Dari jumlah sifat dan nama yang
banyak ini Konsili Vatikan II menyebut enam yang paling berarti dalam
perspektif dialog antar umat Kristen dan umat Islam. Di bawah ini akan
diuraikan tiga dari keenam sifat dan nama tersebut.
(a) J. Bakker SJ, menyatakan bahwa dalam iman
akan keesaan Allah, Islam tidak kalah dari monoteisme Kristiani. Keesaan ini
dinyatakan terus menerus dalam seluruh Al-Qur’an. Misalnya dalam S. Al Baqarah
:163 dikatakan: ”Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Mahaesa; tidak ada Tuhan
melainkan Dia, yang Maha Pemurah lagi Maha penyayang.” Orang Kristen juga
menyembah Allah yang Mahaesa. Kita menyembah Allah yang satu dan sama.
Perbedaannya ialah ini, bahwa pada kita umat Kristen dinyatakan rahasia ini
(bdk Mat 11:25) bahwa Tuhan itu Allah Yang Mahaesa, Tritunggal Yang Mahakudus. Keesaan Allah itu melampaui segala pengetahuan
manusia.”[19]
Lalu apakah
kita masih dapat menyaksikan bahwa kita adalah saudara mereka dalam iman kepada
Allah Yang Mahaesa? Iman itu dibuktikan melalui hidup. Hanya melalui hidup
orang dapat melihat bahwa kita sungguh-sungguh beriman kepada Allah yang
Mahaesa atau tidak. Tuhan itu Allah Yang Maha. Itu berarti bahwa Dia tidak ada
duanya, tidak ada bandingannya.
Konsekuensinya
ialah bahwa kita harus mengasihi Tuhan, Allah kita, “dengan segenap hati kita
dan dengan segenap jiwa kita dan dengan
segenap kekuatan kita”(Ul 6:5, Mrk 12: 29-30). Orang tidak dapat mengabdi
kepada dua tuan, kepada Allah dan kepada Mamon (Mat 6:24, Luk 16:13). Kalau orang mengabdi
kepada Mamon, itu berarti dia menduakan Tuhan.
Keesaan Allah itu melampaui segala pengetahuan dan pengertian (bdk Ef
3:19). Itulah rahasia yang dinyatakan kepada kita, tetapi yang belum diberikan
kepada saudara-saudara kita umat Islam. Apakah rahasia ini menjadi doa,
penyembahan yang penuh hormat dan takut dan madah kita pula? St. Paulus
berlutut dan berdoa dengan sungguh-sungguh supaya kita juga dapat memahami
“Betapa lebar, panjang, tinggi dan dalamnya kasih Kristus dan dapat mengenal
kasih itu, sekalipun Ia melampaui segala pengetahuan (Ef 3:18-19). Misteri Tritunggal
Yang Maha Kudus itu bukanlah teka-teki matematika, melainkan rahasia kemutlakan
Allah, rahasia tentang Dia Yang Mahakasih dari keabadian. Lalu mengapa kita
tidak berdoa seperti St. Paulus? Bukankah karena kita masih kurang hidup di
dalam misteri ini?
(b) Dengan
penuh hormat Gereja memandang umat Islam yang menyembah Allah Yang Mahamurah.
Nama Allah ini sudah terdapat pada pembukaan Al Qur’an, (S. Al Faatihah) dan
hampir semua surat di dalam Al Qur’an dibuka dengan menyebut nama itu. Nama Ar
Rahman (Maha Pemurah) memberi pengertian ”bahwa Allah melimpahkan karunia-Nya
kepada makhlukNya.” Menurut J. Bakker, sebutan Rahman itu paling dekat dengan
sifat kebapaan Tuhan dari Kitab Suci Kristen. Nama Allah ini dipilih oleh
Konsili untuk menekankan kepada kedua belah pihak sifat pengampunan dari Tuhan
yang harus menjiwai mereka. Lalu apa yang harus dikerjakan oleh seorang
Kristen? Dia harus pertama-tama memperdalam imannya tentang belas kasihan
Allah. Seluruh Kitab Suci dapat dikatakan dijiwai oleh Injil tentang belas
kasihan Allah. Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru menekankan bahwa
iman kepada Allah Yang Mahamurah harus
berbuah dalam hidup. Allah “menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan”
(Hos 6:6). Itu berarti bahwa Gereja harus pertama-tama mendekati orang-orang
berdosa, dan mereka yang tersingkirkan dan direndahkan dari pada bergaul dengan
orang-orang benar (Bdk Mat 9:9-13). Kesaksian lain yang harus ia berikan dari
imannya ini ialah tahu mengampuni musuh-musuh dan tidak menyimpan atau membalas
dendam: ”Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati (Luk
6:36).” Karena Allah itu Mahamurah, maka kita tidak dapat membatasi kemurahan
dan kebaikan hati-Nya. Contoh-contoh kemurahan hati benar-benar dapat membuka
mata iman seseorang untuk percaya bahwa Tuhan itu adalah Yang Mahamurah.
Kerahiman Tuhan adalah suatu
misteri yang tak terselami karena berulang-ulang Kitab Suci menyaksikan pula
tentang murka Allah. Ini berarti Tuhan tidak tahan melihat dosa dan ketegaran
hati manusia dalam dosa, terutama apa bila orang-orang kecil diperlakukan
secara tidak adil dan ditindas (Bdk mis. Yes 1:21-26) dan keselamatan mereka
diabaikan (Mrk 3:1-6). Dialog iman akan Allah yang Mahamurah tidak dapat
mengabaikan misteri murka Allah. Janganlah orang menganggap sepi kemurahan,
kesabaran dan kelapangan hati Allah, sebab: “Tidakkah engkau tahu, bahwa maksud
kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan?(Rom 2:4).”
(c) Dengan
penuh hormat Gereja memandang umat Islam yang menyembah Allah “yang berfirman
kepada manusia.”
Dialog
iman akan Allah yang berfirman kepada manusia termasuk salah satu pokok yang
sangat sulit. Perlu diingat bahwa Islam melihat dirinya sebagai pemilik sabda
Allah. Dalam keagamaan, Islam sudah sempurna, sehingga tidak bisa menerima
apa-apa dari orang lain. Sebaliknya, keaslian Kitab Suci Kristen disangkal.
Menurutnya, wahyu Kristen telah dipalsukan oleh orang-orang Kristen sendiri
yang memasukkan gagasan-gagasannya yang berbeda dengan gagasan-gagasan
alkitabiah awali (Bdk S. Al Baqarah : 42, 78-79; S. At-Taubah : 30-31). Apakah
mungkin ada dialog iman dalam hal ini?
Bacalah Yo
5:39-47 Yesus mengecam orang-orang Yahudi karena meskipun mereka menyelidiki
Kitab-kitab Suci yang memberi kesaksian tentang Dia, mereka tidak mau datang
kepadaNya. Karena mereka tidak percaya kepada Kitab Suci, mereka juga tidak
mungkin percaya kepadaNya. Apakah dialog iman dengan demikian sudah tidak
mungkin lagi? Pasti tidak! Tuhan Yesus juga berbeda pendapat dengan orang-orang
Yahudi tentang penafsiran-penafsiran tertentu atas Kitab Suci. Ada kalanya Dia
memperdalam pengertian mereka (bdk. Mrk 7:1-23), lain kali Dia menunjukkan mana
yang lebih penting (Mat 23 : 16-22) atau yang lebih besar (Yoh 7:19-24). Lalu
apa artinya hal itu untuk dialog iman dengan Islam? Ini berarti bahwa kita
dapat meyakinkan tentang kebenaran atau ketidakpalsuan Kitab Suci kita melalui
iman kita yang hidup yang dibuktikan dalam perbuatan (bdk Mat 5:20). Kita harus menjadi Kitab Suci yang hidup.
(2) Dialog iman tentang iman.
Dengan hormat Gereja
memandang umat Islam yang berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada
keputusan-keputusan Allah, bahkan yang tersembunyi, seperti halnya Abraham,
yang menjadi acuan iman Islam, menyerahkan diri kepada Allah.
Iman adalah jawaban kepercayaan dan ketaatan kepada Allah. Orang Islam
adalah orang yang menyerahkan dirinya secara ikhlas kepada Allah. Islam adalah
kepatuhan dan penyerahan diri kepada Allah (S. An Nissa: 125; S. Az-Zumar :
54).
Contoh utama orang yang menyerahkan diri kepada Allah bahkan kepada
keputusan-keputusan yang bertentangan dengan akal budi manusia, ialah Abraham.
Kedudukan bapa bangsa Israel ini dalam agama Islam mungkin lebih sentral
dibandingkan dengan kedudukannya dalam agama Yahudi atau Kristen. Tak ada tokoh
Alkitabiah yang begitu kerap disebut di dalam Al Qur’an seperti Abraham. Jauh
lebih penting lagi ialah apa yang dikatakan tentang dia. Abraham adalah sahabat
Allah (S. An Nissa’: 125), penentang penyembahan berhala, dan pejuang
monoteisme (S. Ash-Shaffaat: 83-89). Dialah teladan iman yang sempurna dan
bersama Ismael mendirikan Ka’bah (S. Al Baqarah :124-129). Agama Islam dapat
disebut agama Abraham (S. Ali Imran : 67-68,95).
Kita adalah manusia-manusia yang beriman dan kita dipersatukan dalam sikap
kita yang paling dalam.
Dialog iman harus membuka mata kita akan kesaksian-kesaksian iman atau
penyerahan diri kepada Allah yang menakjubkan di luar kekristenan. Kerap kali
kita menyaksikan bahwa orang bukan Kristen dapat lebih beriman dari pada orang
Kristen. Kitab Suci sendiri telah menyaksikan hal itu. Firaun (Kej 12:10-20)
dan Abimelekh (Kej 20) ternyata lebih memiliki sikap takut akan Allah dari pada
Abraham. Dan masih ada cukup banyak tokoh-tokoh iman lain dari kalangan kafir
seperti Naaman (2 Raj 5), Rut, perempuan Siro-Fenesia (Mrk 7:24-30) dan perwira
dari Kapernaum (Mrk 8:5-13). Puncak tokoh imam dari kalangan kafir adalah
kepala pasukan yang berdiri berhadapan dengan Yesus yang tergantung di salib.
Ketika melihat matiNya demikian, berkatalah ia:
“Sungguh, orang ini adalah anak Allah! (Mrk 15:39).”
Kerajaan Allah bukan terdiri dari perkataan, tetapi dari perbuatan (1 Kor
4:20). Mereka datang dari Timur dan Barat serta duduk bersama-sama dengan
Abraham di dalam Kerajaan Sorga (bdk Mat 8:11).
(3) Kristus dalam dialog iman.
a.
Kristus adalah batu sandungan dalam dialog Kristen-Islam.
Dia ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan dan untuk menjadi tanda
yang menimbulkan perbantahan bukan hanya bagi banyak orang di Israel (Bdk Luk
2:34), melainkan untuk seluruh umat segala zaman. Akan tetapi, karena Roh Kudus
adalah Roh Allah sendiri, maka kekristenan dari pihaknya dapat dan harus tetap
membuka pintu untuk dialog.
Konsili Vatikan II mengakui bahwa
meskipun umat Islam tidak menerima Yesus sebagai Allah, namun Gereja tetap
memandang mereka dengan hormat karena “mereka menghormati dia sebagai nabi.”
Sebenarnya dalam Al Qur’an ada pernyataan
yang amat tinggi tentang Yesus yang tidak dikatakan tentang Muhammad. Yesus
diakuinya misalnya sebagai firman Allah (kalimat Allah) dan Ruh Allah (Surat An
Nissa’:171).
Akan
tetapi, Konsili tidak dapat menggunakan kedua gagasan itu tanpa menimbulkan kesalah
pahaman karena kedua pernyataan itu dimengerti secara lain oleh Islam. Hal ini
penting kita perhatikan. Sebagai orang Kristen kita tidak berhak untuk
menafsirkan Al Qur’an menurut pengertian kita. Setiap tafsiran Al Qur’an
haruslah diberikan menurut tradisi teologi mereka, demikian pula dengan istilah
“Nabi.”
b. Bagaimana kita harus mengerti penolakan Islam untuk
menerima ke-Allahan Yesus? Romo G. Letellier, seperti dikutip oleh C.Gasbari di
dalam bukunya yang terbit di Roma, tahun 1972, menulis “Bagi kita tidak ada
kesukaran, setelah melihat misteri Tritunggal Yang Mahakudus, untuk menerima
dan mengakui bahwa satu dari ketiga Pribadi Ilahi mengambil kodrat manusia pada
waktu tertentu. Umat Islam sebaliknya bertolak dari sudut yang sama sekali bertentangan.
Mereka melihat manusia konkrit dalam daging dan darah yang sebagai setiap
manusia berada di dunia ini mulai dengan perkandungan dan kelahiran. Dia makan
dan tidur seperti tiap manusia. Bagaimana orang Kristen dapat mengatakan bahwa
Dia adalah Allah? Bagi mereka hal itu adalah suatu hujat terhadap Allah. Mereka
harus mengatakan demikian. Bagi kita sebalikNya. Menyangkal ke-Allahan Kristus
berarti menghujat Allah. Kita sebenarnya bertitik tolak dari sudut yang
berbeda. Kita berkata tentang Inkarnasi (Penjelmaan). Mereka berbicara tentang
peng-Allahan. Jelas, seperti mereka, kita juga
tidak meng-Allahkan Yesus. Orang Islam akan sangat bergembira kalau dia
mengetahui hal itu. Kita sebenarnya menolak hal yang sama. Seperti dikatakan
oleh Romo Hayek, bahwa sebenarnya dalam Al Qur’an Yesus disebut dengan
sifat-sifat yang dikenakannya kepada Allah’ (Hal 95-96).
c.
Penolakan Islam akan ke-Allahan Yesus mengingatkan kita
akan penolakan Yesus oleh orang-orang Yahudi seperti yang disaksikan oleh Injil
Yohanes. Mereka ingin membunuh-Nya bukan saja karena Ia meniadakan hari Sabat,
tetapi juga karena Ia mengatakan bahwa Allah adalah Bapa-Nya sendiri dan dengan
demikian menyamakan diri dengan Allah (Yoh 5:18; bdk 10:33). Yesus benar-benar
menjadi teka-teki bagi orang-orang Yahudi (bdk 6:42; 7:12,
25-27,31,40-44-45-52). Dia bahkan dikatakan kerasukan setan (Yoh 7:20;8:48;
10:20).
Seluruh kenyataan ini harus
mengingatkan kita bahwa beriman kepada Yesus adalah benar-benar suatu anugerah.
Dalam dialog iman dengan umat Islam, kita pasti bertumbuh dalam kesadaran iman
ini.
Kiranya anugerah ganda ini membawa kita kepada doa dan usaha pengenalan
yang lebih mendalam akan misteri Kristus (bdk Ef 3:14-21).
(4) Maria
ibu Yesus, dalam dialog iman.
Maria, ibu Yesus,
dihormati pula oleh umat Islam. Al Qur’an mengenal kelahiran Yesus dari perawan
Maria tanpa sentuhan seorang lelaki (S. Maryam :16-36). Tentang arti Surat
Maryam mungkin baik dikutip di sini penjelasan yang diberikan pada penutup
surat tersebut dalam Al Qur’an terbitan Departemen Agama: “Surat Maryam
mengemukakan hal-hal yang perlu diperhatikan manusia apa bila mereka memikirkan
kejadian-kejadian di alam semesta dalam hubungannya dengan Penciptanya; ada
kejadian yang terjadi sesuai dengan sunnah Allah dan dapat dipikirkan oleh manusia,
dan ada pula kejadian yang luar biasa, aneh lagi ajaib yang pikiran manusia
tidak sampai kepadanya. Kejadian yang luar biasa ini terjadi pada orang-orang
yang telah dipilih oleh Allah, dan dikemukakan kepada manusia agar mereka
percaya kepada Allah Maha Pencipta.”[20]
Umat Islam menghormati
Maria dan kerap berdoa atau memohon bantuannya dengan khidmad. Praktek penghormatan ini
berbeda dari negara ke negara ataupun dari bangsa ke bangsa. Bagaimana
situasinya di Indonesia? Dalam dialog iman, bagaimana kita dapat mewujudkan
rasa hormat Gereja atas penghormatan umat Islam kepada Bunda Maria?
Dr. B. Parera mengajukan suatu pertanyaan sekaligus usulan sebagai
berikut: “Dapatkah misalnya dilakukan
dua hal ini?
·
Menambahkan doa ini dalam litani St. Perawan Maria:
”Perawan yang di hormati oleh saudara-saudara kami umat Islam.”
·
Membuat lukisan Bunda Maria di mana tampak bahwa Maria
juga dihormati oleh saudara-saudara Islam.”
(5) Dialog iman tentang eskatologi.
Iman akan hari kiamat
(= kebangkitan orang-orang mati) termasuk salah satu dasar iman Islam. Dalam
keterangannya tentang ajaran rukun iman ini J. Bakker mencatat: ”Eskatologi
Islam secara doktriner belum selesai: kemungkinan penampakan Tuhan dalam cahaya
kemuliaanNya masih diperdebatkan antara para ulama, tiada konsensus; rakyat
jelata senang-senang tentang cerita Mungkar dan Nakir; dan dengan lukisan surga
yang terlampau sensual (S. Al Waaqiah : 12-37; S. Ar Rahman :70-76; S. An
Naba’: 31; S. Al Surat Insaan : 12-20,dll)
Adanya iman akan
penghakiman yang terakhir, kebangkitan orang-orang mati dan ganjaran kekal,
pada agama Islam sangat menggembirakan. Dalam dasar dan lubuk hati kita yang
terdalam kita mempunyai iman dan pengharapan yang sama, meskipun ini, sikap dan
ungkapan iman kita mungkin berbeda. Bagi kita, hidup abadi itu terletak dalam
mengambil bagian dalam hidup Allah sendiri (Yoh 17:3; 1 Yoh 1:1-4).
Hidup itu sudah dimulai
di dunia ini meskipun masih dalam perjalanan dan belum sempurna. Hukum terutama
dalam hidup abadi itu adalah kasih (Mat 22:34-40) dan kita akan diadili
berdasarkan hukum ini (Mat 25:31-46). Dari sebab itu kita diminta untuk selalu
hidup berjaga-jaga di hadapan Allah dan berjaga-jaga dengan penuh cinta
menantikan kedatanganNya (Mat 24:37-44, 45-51, 25:1-13, 14-30). Hidup abadi itu
suatu anugerah dan karena itu janganlah kita bersikap sebagai orang upahan (Mat
20:1-16).
Sekali setahun, Gereja
mengajak kita untuk merenungkan secara mendalam hidup abadi itu. Kita diajak
untuk hidup berjaga-jaga menantikan kedatangan Kristus. Itulah masa Adven.
Pertanyaan: Bagaimana kita menghayati masa ini dalam dialog iman dengan
saudara-saudari kita umat Islam? Pernahkah kita memikirkan hal itu?
Kematian adalah pintu
gerbang ke hidup yang akan datang. Di sekitar kematian ada banyak ungkapan
kepercayaan dan iman manusia. Karena kita mempunyai pengharapan yang sama, maka
dialog iman dengan saudara-saudari kita umat Islam di sekitar kematian dapat
membuka kehidupan baru.Umat Islam percaya akan kebangkitan orang mati. Dapatkah
iman ini membuka pintu untuk suatu dialog tentang misteri Paskah?
(6) Dialog iman tentang hidup moral dan ibadat.
Gereja mengakui bahwa umat Islam “menghargai hidup moral.” Pernyataan ini
sangat pendek, tetapi perlu untuk membuka dialog. Memang dalam tradisi Islam
lebih ditekankan hukum dari pada moral. Akan tetapi Al Qur’an banyak mengandung
ajaran-ajaran moral yang tinggi. Misalnya, S. Al Baqarah :148 dan 177: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya
(sendiri) yang ia menghadap kepada-Nya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam
membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu
sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Bukankah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan
tetapi sesungguhnya kebaktian itu adalah kebaktian orang yang beriman kepada
Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan
harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan
orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang
bertaqwa.”
Lalu mengapa Gereja tidak menyebut misalnya hal cinta? Bukankah hal itu
disebutkan pula dalam Al Qur’an? (Bdk. S. Al Mumtahanah:7 tetapi lihat pula S.
Al Mumtahanah:1). Mungkin karena ajaran cinta kasih tidak sentral dalam Al
Qur’an; atau untuk menghindarkan segala kesalah pahaman?
Dari kelima rukun Islam, Vatikan II menyebutkan tiga, yakni doa, sedekah
dan puasa sebagai perbuatan ibadah yang dihargai oleh Gereja. Memang Injil
menyebut ketiga hal itu pula dalam polemik dengan orang-orang Yahudi (Bdk Mat
6:2-18). Kita dapat berbicara pajang lebar tentang tema ibadat. Kita membatasi
diri hanya hal shalat saja. Pertanyaannya: “Apakah kita mau mendoakan ibadat
pada waktu seperti mereka? Mengapa doa Angelus untuk kaum awam itu seakan-akan
sudah hapus dari tradisi Kristiani?”
(7) Dialog iman dan warisan sejarah.
Dialog Kristen-Islam adalah
pertama-tama dialog iman atau dialog antar manusia beriman. Akan tetapi sebagai
manusia beriman, kita hidup dalam dunia.
Kita adalah sekaligus manusia sejarah, manusia politik, manusia budaya. Iman
itu kita hayati dalam sejarah, dalam politik dan dalam budaya. Seluruh
kenyataan ini dalam hidup yang nyata membentuk suatu perpaduan yang sangat
kompleks, baik dalam hidup perseorangan maupun dalam hidup sebagai lembaga atau
jemaat. Kerap kali seluruh kenyataan yang kompleks ini tidak kita renungkan
secara mendalam, sehingga hidup iman kita tidak berkembang semestinya.
Konsili Vatikan II mengakui, bahwa dalam perjalanan sejarah tidak sedikit
terjadi perselisihan dan permusuhan di antara umat Kristen dan Islam. Semuanya
ini menciptakan halangan-halangan yang tidak kecil untuk dialog iman. Sebab itu
Konsili menghimbau kepada semua saja ”supaya melupakan masa lampau.” Himbauan
ini haruslah diberikan, tetapi tidak gampang untuk dihayati. Tetapi apa artinya
“melupakan” di sini? Apa yang harus dikerjakan oleh Gereja supaya ”perselisihan
dan permusuhan itu” dilupakan?
Warisan sejarah pertama yang menyulitkan dialog ialah warisan
politik-ekonomi. Dalam dunia Islam, Gereja (kekristenan) diidentikkan dengan
Barat. Dan siapakah Barat itu? Mereka adalah orang-orang dari kebudayaan
Kristen, penguasa tunggal dunia sejak abad ke 16 dengan kolonialismenya,
pengeruk kekayaan dunia, angkuh dalam keunggulan teknik dan militernya,
penyebar kapitalisme dan Marksisme, biang keladi kemerosotan akhlak di dunia.
Itulah sisi hitam dari sejarah dunia Barat yang tidak begitu mudah dapat
dilupakan oleh dunia Islam. Dari mana Gereja di dunia Islam berdiri? Dia
didirikan oleh Barat, kekuatannya didukung oleh dunia Barat dan wajahnya adalah
wajah Barat. Itulah sisi ”hitam” dari Gereja tercinta yang kita warisi. Itulah
“kesalahan” sejarah yang kita warisi karena Gereja hidup dalam dunia, suatu
kesalahan yang menjadi tanggung jawab kita untuk disilih. Itulah derita politik
yang harus ditanggung Gereja. Setiap zaman mempunyai dosanya sendiri.
Lalu dalam konteks ini apa yang harus dikerjakan oleh Gereja untuk
menyelesaikan (menyilih) dosa-dosanya dan membina dialog iman dengan Islam?
Warisan sejarah kedua, yang kita terima dari dunia Barat adalah warisan
fitnah dan prasangka terhadap Islam. Prasangka-prasangka buruk terhadap Islam,
misalnya bahwa Islam itu agama fatalisme, agama legalistis, agama penuh
ketakutan, agama yang memiliki banyak kelemahan dan agama fanatik. Seorang
penulis Islam, bernama Rana Kabbani, menyatakan bahwa dia tidak buta terhadap
penyalah-gunaan yang banyak dilakukan atas nama Islam; dia kagum akan Barat,
tetapi juga tidak dapat mendiamkan warisan fitnah dan prasangkanya.
Dalam konteks ini, apa yang harus dikerjakan oleh Gereja untuk membuka
jalan ke dialog iman dengan Islam? Sudah cukupkah Gereja memikirkan dan
merenungkan semuanya ini dalam iman?
Sejarah itu bukanlah semata-mata sesuatu yang lampau. Dia hidup dan
mempengaruhi masa sekarang. Warisan politik-ekonomi dan warisan fitnah dan
prasangka itu menjadi beban yang tidak ringan dalam kebangkitan Islam. Kita
tidak usah heran kalau sikap-sikap negatif berikut kadang-kadang muncul secara
tajam: curiga, penolakan terhadap setiap bentuk pluralisme, iri hati serta
ketakutan akan keberhasilan orang lain, fanatisme, sikap sektarian yang tidak
membiarkan pihak lain memiliki pandangan lain, rivalitas, tuntutan-tuntutan
sepihak dan pernyataan-pernyataan yang menegaskan kelebihan sendiri.
Panggilan dan tugas Gereja untuk menemukan dan menghayati dialog iman di
tengah situasi semacam ini tidaklah ringan. Kami berikan contoh: apabila ada
kecurigaan, Gereja bukan hanya tahu mengurangi kecurigaan, melainkan pula
membangkitkan kepercayaan.
Lalu bagaimana harus menghadapi fanatisme, iri hati dan ketakutan? Dalam
situasi semacam itu, dituntut dari Gereja kedewasaan iman yang lebih tinggi.
Dialog antar agama membina dan memperkembangkan iman.
Kesulitan lain untuk mengadakan dialog sebagai akibat perkembangan sejarah,
ialah tidak adanya keseimbangan dalam tingkatan intelektual dan ekonomi para
peserta. Pada tahun 70-an, seorang penulis dari Tunisia, Prof. Muhammad Talbi,
mencatat hal-hal sebagai berikut:
-
Dalam bidang ilmu, Kristianisme di abad ini telah
memainkan peranan yang besar dalam memajukan ilmu, sebaliknya tidaklah demikian
dalam dunia Islam. Dari dunia Kristen
terdapat banyak ahli tentang Islam.
-
Perkembangan
teologi Islam berhenti pada abad ke-12. dengan Al Ghazali: sesudah dia tidak
ada tokoh-tokoh yang cukup berarti. Sebaliknya teologi Kristen terus menerus
berdialog dengan pemikiran-pemikiran besar dan persoalan-persoalan zaman,
sehingga selalu maju melalui krisis yang dialaminya.
Menatap masa depan Iman.
Kita telah merenungkan dialog
Kristen-Islam sebagai dialog iman, dialog antar orang-orang beriman. Dari pihak
kita, itu berarti kita mau menghormati ”benih-benih sabda” yang terdapat pada
umat Islam, menghormati “kehadiran Allah yang penuh rahasia” di antara mereka
dan mencari kepenuhan Terang Kebenaran yang dipantulkan oleh iman kita.
Penghormatan dan penghargaan kita terhadap benih-benih sabda itu kita
wujudkan dengan manghayati iman kita secara mendalam dan mencari Terang
Kebenaran yang menerangi seluruh umat manusia itu. Dialog iman menantang kita
untuk memperdalam iman melalui renungan dan kehidupan, karena harta iman itu
kita miliki ”dalam bejana tanah liat”(2 Kor 4:7) dan “karena sekarang kita melihat dalam cermin
suatu gambaran yang samara-samar…….Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak
sempurna”(1 Kor 12:12). Dialog iman itu menantang dan mengundang kita untuk
mengungkapkan kembali iman kita dengan lebih baik dan lebih jelas dalam konteks
dunia Islam yang meminta kita untuk mempertanggung-jawabkan iman dan harapan kita
(Bdk 1 Petr 3:-15). Hal ini sangat diperlukan Gereja di Indonesia karena
teologi dan ungkapan iman kita, kita warisi dari suatu Gereja (Barat) yang
tidak mengenal Islam.
Lalu apakah umat Islam mempunyai penghormatan dan pengharapan yang serupa
terhadap kita? Kita tidak tahu! Tetapi setidak-tidaknya kita dapat berharap dan
yakin!
Mengapa? Dalam dialog iman kita percaya pada Allah yang sama. Dia hadir di
tengah dan di antara kita. Apabila kita benar-benar hidup dalam iman, maka kita
percaya bahwa Allah akan bekerja di dalam saudara-saudara kita umat Islam, dan
untuk melihat bahwa Dia berbicara dan berkarya melalui kita pula. Apabila Allah
berkenan, Dia akan menganugerahkan rahmat pengakuan iman ini kepada mereka:
”Sungguh Allah ada di tengah-tengah kamu (1 Kor 14:25).”
Kristus adalah batu sandungan dalam dialog dengan Islam. Kenyataan ini
harus menantang dan mengundang kita untuk mengenal Dia dengan lebih baik dan
mengasihiNya dengan segenap hati. Memang Kristus adalah batu sandungan, tapi
Dia telah datang, wafat di kayu salib dan bangkit untuk semua orang. Memang Dia
menjadi batu sandungan, tetapi Allah telah mendamaikan dunia dengan diriNya
oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka (2 Kor 5:19).”
Jadi dalam Kristus bisa ada perdamaian.
Benih sabda yang ada dalam pengakuan umat Islam tentang Kristus ialah bahwa
Dia adalah Nabi. Kenyataan ini harus menantang Gereja di Indonesia untuk lebih
memperdalam hal kenabian Kristus.
Dialog iman berarti berusaha dan terus menerus berusaha untuk memperdalam
dan menghayati iman dengan lebih baik. Dari sebab itu, seorang Kristen yang mau
hidup di dalam dialog iman dengan umat Islam mau tidak mau akan mendalami
misteri-misteri pokok iman kita, seperti Tritunggal Yang Mahakudus, Inkarnasi
(penjelmaan) dan Penebusan.
Dialog iman ini berarti pula dialog di dalam warisan sejarah hubungan
Kristen-Islam yang amat kompleks. Bagaimana kita harus menatap masa depan di
sini? Adalah menjadi tanggung jawab kita semua yang mau berdialog untuk
mempelajari seluruh persoalan ini dengan lebih mendalam, dengan kepala dingin
dan dengan penuh iman. Gereja harus berani keluar dari dirinya dan tidak boleh
membiarkan dirinya dalam keamanan palsu.
c. Dimensi Pewartaan Dalam Dialog Antar Agama.
1) Beberapa pertanyaan
Makin pentingnya dialog antar
iman pada zaman kita ini sebagai akibat semakin mendalamnya kesadaran akan
keanekaragaman masyarakat. Dengan berkembangnya semangat dialog antar iman ini,
banyak orang Kristen mulai bertanya-tanya :
”Apakah dialog menggantikan mandat untuk mewartakan Injil? Apa hubungan
antara dialog antar iman/agama dengan tugas pewartaan? Sejauh manakah pewartaan
Injil masih relevan di era perkembangan dialog ini?”
2) Beberapa tipe mengenai sikap terhadap iman/agama
lain.
Dalam hubungan dengan agama Islam dan
Muslim kita mencatat bahwa orang-orang Kristen sendiri mempunyai sikap
berbeda-beda. Kerap kali sikap ini tergantung pada ide yang mereka miliki
tentang Islam dan Muslim, di samping masalah ketidak-acuhan. Berikut ini diberikan contoh beberapa tipe yang ada:
(a) Islam dipandang hanya sebagai salah satu agama lain
saja.
Orang-orang ini berpendapat bahwa anggota tiap kelompok religius
diijinkan mengatur hal-halnya sendiri, sedangkan orang-orang lain tidak perlu
campur tangan di dalamnya.
(b) Interese pada dunia Islam dengan berbagai motif.
Ada orang-orang yang
merasa sudah puas dengan menilai komunitas Islam dari ”berbagai fakta” yang
mereka baca dalam pers. Konklusi yang kemudian ditarik sering kali kurang tepat,
bahkan salah sama sekali. Di samping itu ada juga orang-orang yang
sungguh-sungguh mempunyai perhatian akan dunia Islam dan tidak puas dengan
penilaian-penilaian yang tidak lengkap dan penuh prasangka itu.
(c) Islam dipandang sebagai ideologi sosio-politis.
Mereka ini cuma
memperhatikan segi diplomatis dan strategisnya. Dan ini tergantung pada
pengaruh Islam dalam peristiwa-peristiwa dunia. Artinya, makna religius Islam
itu dilalaikan, atau sama sekali tidak diperhitungkan.
(d) Interese terhadap Islam dari sudut religius kultural.
Dalam sejarah
agama-agama, Islam menggambarkan suatu kebudayaan, manifestasi pemikiran, atau
suatu fenomena religius. Sudut pandang ini memang berguna bagi mereka yang ingin
mengenal secara lebih baik agama-agama, tetapi tokh hanya berkisar pada
permukaan saja, tidak masuk pada pengenalan mendalam tentang hakekat Islam.
3) Mandat untuk
mewartakan Injil.
Mewartakan Injil
adalah prioritas mandat Yesus yang bangkit yang diwarisi Gereja sepanjang
sejarah.
(a) Bentuk pewartaan dengan
tujuan sentrifugal.
Bahasa teologi
dewasa ini semakin cenderung memberikan arti luas kepada pewartaan Injil dan
bahkan mengidentifikasinya dengan misi Gereja. Segala aktivitas memajukan dan
meneguhkan nilai-nilai dan ideal-ideal Kerajaan Allah terkandung dalam tugas
pewartaan Injil. Tujuan ”sentrifugal” ini dijabarkan sebagai mengusahakan agar
kekuatan Injil bertemu dan menggerakkan orang dalam berbagai situasinya untuk
mencapai taraf hidup yang lebih manusiawi. Program kerja Yesus seperti
terungkap dalam Luk 4:18-19 dipandang sebagai identik dengan tugas pewartaan
Gereja ini. ”Roh Tuhan ada padaKu, oleh
sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang
miskin; dan ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada
orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan
orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang”
(b) Bentuk pewartaan dengan
tujuan sentripetal:
Kita mengenal pula pewartaan Injil dalam arti lebih sempit (tujuan
“sentripetal”), yaitu suatu intensi untuk memanggil dan mengantarkan orang agar
menerima Yesus Kristus sebagai Penyelamat dan/atau menjadikan orang anggota
komunitas yang beriman kepadaNya. Dalam arti inilah pewartaan Injil dan dialog
itu ada dalam situasi konflik.
Namun situasi tegang ini rupanya memang harus diterima dan dihayati dalam
konteks panggilan dan karisma yang berbeda-beda. Barangkali justru situasi ini
dapat sekaligus menjadi landasan dialog dan
“locus theologicus” yang subur.
Mandat untuk mewartakan Injil memang jelas dicatat oleh keempat Injil dan
Kisah Rasul (Lihat Mat 28:18-20; Mrk 16:15-16: Luk 24:46-48; Kis 1:8; Yoh
17:18, 20, 21).
Mewartakan kabar baik kepada semua orang, memberikan kesaksian, menjadikan
orang murid, membaptis, mengajar, dan lain-lain merupakan penjabaran dari
mandat yang satu dan sama dari Yesus Kristus yang bangkit.
Tetapi kalau pewartaan itu berakibat penolakan dan bahkan penganiayaan
serta bentuk-bentuk kesulitan lainnya terhadap murid-murid Tuhan, ini sudah
merupakan konsekuensi logis. Kitab Suci sendiri memberikan contoh-contoh segar
semacam itu. Sebagai misal, Petrus dan kawan-kawannya berkali-kali harus
mempertanggung-jawabkan perbuatan dan kotbah-kotbahnya. Stephanus harus membela
diri di hadapan Mahkamah Agama; lalu ia sendiri menuduh balik para hakim dan
tua-tua Yahudi yang mendakwanya (Kis 7:51-53). Paulus memang sejak dipanggil
sudah ditentukan untuk banyak menderita karena nama Yesus (Kis 9:16).
“Kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang
membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah. Semuanya ini
Kukatakan kepadamu, supaya apabila datang saatnya kamu ingat bahwa Aku telah
mengatakannya kepadamu (Yoh 16:2-4a; bdk Luk 10:16).”
“Siap sedialah pada waktu memberi pertanggungjawaban kepada tiap-tiap orang yang meminta
pertanggungjawaban tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan
lemah lembut dan hormat…(1 Petr 3:15).”
Dalam praksis, Gereja harus
menunjukkan solidaritas dan kerja sama dengan orang-orang lain terlebih dahulu
sebelum berbicara tentang kesaksian dan pewartaan Injil (AG 11-13).
“Sesuai dengan situasi dan kondisi konkret yang berbeda-beda, tugas
perutusan itu dapat lebih menekankan kehadiran dan kesaksian di suatu tempat,
pembangunan manusia seutuhnya dan dialog di tempat lain, dan pewartaan dan
diskusi ilmiah di tempat lainnya lagi.” Demikianlah antara lain dikemukakan di
dalam Dialogue and Proclamation No. 75-76.
Pelaksanaan mandat ini, seperti yang telah kita lihat, bukannya tanpa
kesulitan. Dokumen
Dialogue and Proclamation mencatat beberapa kendala itu, baik yang dari dalam
maupun dari luar (No. 73-74).
Kendala dari dalam:
§ Kesaksian Kristen tidak
sesuai/sejalan dengan iman. Artinya, ada
gap antara kata dan perbuatan, antara pesan Kristiani dan hidup orang-orang
Kristen.
§ Karena kalalaian dan rasa malu (“mempermalukan Injil”)
atau karena orang memiliki ide-ide yang tidak tepat mengenai rencana
keselamatan Allah.
§ Kurang menghargai dan menghormati orang-orang beriman
lain dan tradisi religius mereka.
§ Superioritas kultural sementara orang Kristen. Mereka
akan memaksakan nilai-nilai budaya mereka (yang dianggap identik dengan pesan
Kristiani) kepada pentobat-pentobat baru yang berasal dari latar belakang
kebudayaan lain.
Kendala dari luar:
·
Sejarah sendiri membuat pewartaan Injil
makin sulit. Metode-metode tertentu dalam evangelisasi di masa lampau telah
membangkitkan ketakutan dan kecurigaan dari pihak orang-orang beragama lain.
·
Pengikut-pengikut
agama-agama lain takut bahwa misi evangelisasi Gereja akan mengakibatkan
pengrusakan terhadap agama dan kebudayaan mereka.
·
Beda pengertian
mengenai hak-hak asasi manusia, atau kekurang hormatan atas hak-hak itu dalam
praktek dapat mengakibatkan kekurang beresan beragama.
·
Penganiayaan
dapat menyebabkan pewartaan Gereja sangat sulit atau barang kali mustahil.
(Tetapi dengan catatan bahwa salib adalah sumber hidup; ”darah para martir
adalah benih bagi orang-orang Kristen dan bagi Kristianitas”).
·
Identifikasi
agama partikular dengan kebudayaan nasional atau dengan suatu sistem politik
tertentu dapat menciptakan iklim tak toleran.
·
Di beberapa
tempat, pertobatan dilarang oleh hukum. Atau pentobat-pentobat ke kristianitas
menghadapi problem-problem serius, seperti pengasingan dari komunitas agama
asal dan dari lingkungan sosio-kultural mereka.
·
Dalam konteks
dunia yang pluralis, bahaya indifferentisme, relativisme dan/atau sinkretisme
religius menciptakan kendala-kendala tertentu bagi perwartaan Injil.
4) Dialog antar Iman/agama:
Dialogue and
Proclamation no.9 mengatakan bahwa dialog dapat dimengerti dengan berbagai cara:
·
Pada level
semata-mata manusiawi, dialog berarti berkomunikasi timbal balik demi
tercapainya tujuan umum bersama; atau pada level yang lebih dalam,
persatuan-persatuan (communion) antar pribadi.
·
Dialog dapat
mengerti sebagai sikap hormat dan persahabatan yang meresapi segala aktivitas
misi evangelisasi Gereja. Inilah yang kita sebut sebagai “semangat” dialog.
·
Dalam konteks
keragaman agama, dialog berarti ”segala relasi yang positif dan konstruktif
antar agama, relasi dengan individu-individu dan komunitas-komunitas beriman
lain yang diarahkan untuk pengertian dan pengayaan timbal balik” dalam ketaatan
kepada kebenaran dan dalam hormat kepada kebebasan. Dialog di sini mengandung
baik kesaksian maupun pendalaman keyakinan masing-masing pihak.
Redemptoris Missio No.55
menyatakan bahwa dialog antar agama adalah bagian dari misi Gereja. Sebagai
metode dan cara untuk saling memahami dan saling memperkaya, dialog merupakan
salah satu ungkapan misi Gereja. Dalam cahaya ekonomi keselamatan, tidak ada
pertentangan antara mewartakan Kristus dan terlibat dalam dialog antar
iman/agama. Keduanya memang berbeda, tetapi mempunyai hubungan erat. Meskipun
Gereja dengan besar hati mengakui apa saja yang benar dan suci di dalam tradisi-tradisi
religius lain seperti dalam agama Buddha, Hindu dan Islam yang memantulkan
kebenaran dan menerangi manusia, Gereja tidak berhenti untuk mewartakan Kristus
yang adalah jalan, kebenaran, dan kehidupan (Yoh 14:6; NA 2; Yohanes Paulus II,
surat kepada sidang paripurna kelima FABC Bandung 23 Juni 1990.[21]
Sejauh diterima
pandangan bahwa agama-agama pada prinsipnya merupakan usaha manusia mencari
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai kemanusiaan itu sendiri,
hakekat persona dan masyarakat - problem-problem kehidupan seperti kematian,
penderitaan, pembangunan, konflik, dan lain-lain – orang-orang akan terdorong
untuk melibatkan diri dalam dialog intens. Nostra Aetate (NA) memang merupakan
sikap Gereja yang membuka diri, karena sadar akan pentingnya mencari jalan
untuk mewujudkan persatuan antar umat manusia seperti yang dikehendaki oleh
Yesus Kristus (Bdk Yoh 17:21).
Redemptoris Missio
No.56 menyatakan bahwa lewat dialog, Gereja mencari cara untuk mengungkapkan
“benih-benih sabda”(AG 11,15) dan “cahaya kebenaran yang menerangi semua orang”
(NA 2) yang dijumpai pada individu-individu dan dalam tradisi-tradisi religius
umat manusia.
Dengan kekayaan
rohaninya, agama-agama atau partner dialog itu menantang Gereja untuk menemukan
dan mengakui tanda-tanda kehadiran Kristus dan karya Roh Kudus di dalam
tradisi-tradisi mereka. Juga Gereja didorong untuk menyelidiki secara lebih
mendalam identitasnya sendiri dan untuk membagikan kesaksian mengenai kepenuhan
wahyu yang ia terima dari kebaikan semua orang.
Artinya, di satu sisi
dialog itu dapat saling memperkaya masing-masing pihak, yang pada gilirannya
menghilangkan prasangka intoleransi dan salah pengertian. Di sisi lain, dialog
mendorong orang untuk sampai pada penyucian batin dan pertobatan, sebagai buah
bimbingan Roh Kudus yang berhembus kemana saja Ia mau (Bdk RM 12).
Redemptoris Missio
No.57 menyatakan, bahwa dialog memang mempunyai berbagai macam bentuk dan
ungkapan.
Dalam bidang ini,
peranan awam diakui sebagai tidak tergantikan.
Bahkan mereka dapat memberikan banyak kontribusi lewat riset dan studi.
Disadari pula bahwa banyak misionaris dan komunitas-komunitas Kristen yang
berada dalam kesulitan berdialog. Meskipun demikian, diharapkan bahwa mereka
dapat memberikan kesaksian yang tulus tentang Kristus dan menjadi pelayan yang
murah hati kepada orang-orang lain.
Dialog antar iman juga
bukan tanpa kesulitan Dialogue and Proclamation No. 51-52 menulis, bahwa
dialog biasa saja tidak selalu gampang. Jauh lebih sulit lagi
dialog antar iman/agama. Faktor-faktor manusia sangat mempengaruhinya. Kendala-kendala ini antara lain:
(a) Orang tidak cukup berakar pada imannya sendiri.
(b) Tidak cukup pengetahuan dan pengertian akan
kepercayaan dan praktek-praktek agama-agama lain, yang menyebabkan kurangnya
apresiasi akan maknanya, dan akhirnya juga mempunyai gambaran salah mengenai
agama atau kepercayaan lain.
(c) Perbedaan-perbedaan budaya, tingkat-tingkat
pendidikan, pemakaian bahasa-bahasa yang berbeda.
(d) Faktor-faktor sosio
politik atau sejumlah beban masa lalu.
(e) Salah pengertian akan
arti ungkapan-ungkapan seperti pertobatan, pembaptisan, dialog, dan lain-lain.
(f) Self-sufficient (cukup diri), kurang terbuka yang
menyebabkan sikap-sikap defensif atau agresif.
(g) Kurang yakin akan nilai
dialog antar agama. Dialog hanya dilihat
sebagai tugas spesialis, atau hanya sebagai tanda kelemahan atau bahkan
sebagai pengkhianatan iman.
(h) Kecurigaan akan motif-motif orang-orang lain (partner)
dialog.
(i) Sikap polemik dalam mengungkapkan keyakinan-keyakinan
agama.
(j) Intoleransi, yang sering
diperberat oleh asosiasi politik, ekonomi, rasial dan factor-faktor etnik. Kekurangan timbal-balik dalam dialog dapat menyebabkan
frustrasi.
(k) Ciri-ciri tertentu dunia dewasa ini, seperti tumbuhnya
materialisme, ketidakacuhan religius dan pelipat gandaan sekte-sekte religius,
menciptakan kebingungan dan meningkatkan problem-problem baru.
Uskup-uskup se-Asia
(FABC) memberikan beberapa alasan mengenai pentingnya dialog:
· Dalam dunia yang terbagi-bagi karena keyakinan agama,
iman, dan ideologi yang berbeda-beda dan yang diwarnai oleh konflik-konflik,
dialog menjadi sangat mendesak. Alasannya, demi harmoni dan perdamaian dunia
yang dapat dibangun di atas dasar nilai-nilai luhur yang ada dalam
tradisi-tradisi religius dan ideologi-ideologi humanis.
· Dialog juga merupakan realisasi kesadaran akan perintah
Allah untuk mencintai sesama. Melalui dialog, orang-orang Kristen
bertumbuh dalam kesadaran akan kerekanannya dengan Allah dalam memajukan
datangnya Kerajaan itu. Artinya, dialog mengarahkan orang kepada komitmen pastoral
yang baru dan lebih ekstensif; melepaskan Gereja dari bahaya ghetto; menyatakan
bahwa Gereja siap untuk suatu proses perubahan dan sekaligus memainkan peranan
sebagai Gereja yang melayani; menjadikan Gereja komunitas doa karena kesadaran
akan proses saling memberi dan menerima.
5) Maksud tugas pewartaan.
(a) Pewartaan dialogal.
Injil dan Surat-surat Yohanes secara mendalam mencatat bahwa ada
interaksi antara pewartaan dan dialog. Ciri menonjol dari pewartaan Yohanes
adalah membagikan pengalamannya sendiri sedemikian rupa sehingga sampai pada
taraf interaksi yang responsif. “Hidup
itu telah dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan sekarang kami bersaksi dan
memberikan kepada kamu tentang hidup kekal, yang ada bersama-sama dengan Bapa
dan yang telah dinyatakan kepada kami. Apa yang telah kami lihat dan yang telah
kami dengar itu, kami beritahukan kepada kamu juga, supaya kamupun beroleh
persekutuan dengan kami” (Yoh 1:41,45-47; 4:29).
Komisi
Dialog dan Ekumene Konferensi Uskup-Uskup India mencatat, bahwa baik dialog
maupun pewataan tentang Yesus Kristus itu termasuk misi Gereja di dunia. Dialog
tidak dapat menjadi suatu peluputan dari atau suatu substitusi (mengganti) dari
tugas pewartaan. Sejauh menyangkut orang-orang Kristen, dialog yang tulus
dengan iman yang dalam akan Kristus melibatkan kesaksian (penyaksian) akan Dia.
Dialog merupakan suatu sharing yang tulus akan iman seseorang yang dicirikan
oleh keterbukaan kepada segala bentuk kebenaran.
Pewartaan Injil memang adalah suatu penawaran atau pemakluman dalam
semangat dialog. Kabar Gembira tidak dapat dipaksakan atau diteruskan dengan
tipu daya atau kelicikan. Ia hanya dapat disharingkan oleh dan dengan partner
yang siap menerimanya dengan gembira.
Bentuk pewartaan Injil apapun yang melupakan semangat dialogal ini adalah
merupakan pengkhianatan terhadap Yesus Kristus yang datang untuk memenuhi dan
bukan untuk menghapuskan.
Dalam praktek, kedua dimensi misi ini (pewartaan dan dialog) bersama dengan
karya pembebasan, perlu mendapatkan porsi yang seimbang. Hanya dengan ini,
barangkali ketiganya menemukan ke-saling melengkapinya dalam hidup tiap orang
dan di dalam komunitas-komunitas Kristen. Seperti diusulkan di atas, kita harus
menghormati panggilan yang berbeda-beda itu, yang masing-masing menekankan
salah satu aspek khusus dari keseluruhan kesaksian Gereja di dunia, tanpa
menyangkal aspek-aspek lainnya.
(b) Demi
Kerajaan Allah.
Untuk mengerti mandat pewartaan dan panggilan dialog ini, perlulah orang
mengambil disposisi dan perspektif luas, yakni “Demi Kerajaan Allah.” Kita
semua adalah peziarah atau pengembara menuju ke ”saat” Allah memerintah atas
seluruh bangsa manusia (Bdk GS 1).
Komisi
Dialog dan Ekumene Uskup-uskup India menegaskan: ”Dialog itu sendiri adalah
perwujudan Kerajaan, karena dialog mengundang kepercayaan, keterbukaan dan
penerimaan. Dialog juga merupakan panggilan kepada masing-masing peserta untuk
tumbuh ke arah ideal yang dimiliki semua orang beriman, meskipun mereka memakai
kategori-kategori berbeda. Dialog macam ini mengandung suatu panggilan ke
pertumbuhan dan pertobatan batin.”
Yohanes
Paulus II banyak kali menggarisbawahi pentingnya dialog dan kerja sama antar
orang-orang beriman. Misalnya, dia menyatakan: “Gereja perlu mencari
kemungkinan-kemungkinan baru dalam dialog dan kerja sama dengan
penganut-penganut agama-agama lain dan dengan semua orang yang berkehendak
baik, supaya cinta dan persaudaraan menang atas kebencian dan permusuhan”
(Istambul, 30 Nopember 1979).
Misi Gereja bertujuan untuk membantu realisasi Kerajaan Allah secara
lebih luas. Konsili Vatikan II menulis “Karya misioner tidak lain dan tidak kurang dari
pengejawantahan atau penampakan rencana
Allah serta pemenuhannya di dunia dan sejarahnya. Dalam sejarah itu Allah
menyelesiakan secara nyata secara nyata sejarah keselamatan melalui karya
misioner (AG 9).” Secretariatus Pro Non-Christianis, menyatakan bahwa tujuan
dasar misi adalah untuk memajukan persatuan bangsa manusia yang terbagi-bagi
dan mengusahakan penyembuhan luka-lukanya. Gereja, karenanya, maju sedikit demi
sedikit menuju ke Kerajaan Allah dan pemenuhannya dalam communion sempurna
seluruh bangsa manusia sebagai saudara-saudara di dalam Allah.
Gereja sebagai abdi Kerajaan memajukan dua arah kebijaksanaan yang
saling berkaitan (Redemptoris Missio 17). Di satu pihak, Gereja mengakui dan
memajukan “nilai-nilai kerajaan”, seperti kedamaian, keadilan, kebebasan,
persaudaraan, dll. Di lain pihak, Gereja menggalakkan dialog dengan
orang-orang, budaya-budaya, dan agama-agama sedemikian rupa sehingga dengan
saling memperkaya, ia dapat membantu dunia menuju ke pembaharuan dan semakin
dekat ke Kerajaan. Gereja mendapat mandat untuk mengumpulkan “yang tercerai
berai” dan mempersatukannya, bukan memecah belah.
Kerajaan itu
adalah suatu realitas universal, melampaui batas-batas Gereja. Di sini Gereja mempunyai
peranan yang unik dan tidak tergantikan.
Paulus VI,
seperti dikutip dalam Redemptoris Missio 19, menyatakan bahwa Gereja bukanlah
tujuan di dalam dirinya sendiri, melainkan terarah untuk menjadi milik Kristus,
dalam Kristus dan bagi Kristus, dan juga sepenuhnya dari manusia, di antara
manusia, dan bagi manusia. Ini jelas berdasar pada Kristus yang tidak hanya
mewartakan Kerajaan tetapi bahwa di dalam diriNya sendiri Kerajaan itu hadir dan
terpenuhi.
(c) Selanjutnya……….
Tujuan dialog seperti digaris
bawahi oleh Secretariatus Pro Non-Christianis, bukanlah untuk “mentobatkan”
pihak yang lain (partner dialog). Juga bukan untuk membuat mitra dialog itu
meragukan imannya. Sebaliknya, dialog itu bertujuan untuk merangsang mereka
yang terlibat (partisipan) untuk tidak tinggal diam malas pada posisi yang
sudah dimilikinya. Dialog membantu semua pihak dalam menemukan jalan untuk
menjadi orang-orang yang lebih baik, dan memperbaiki relasinya satu sama lain
sedemikian rupa, sehingga membuat dunia secara keseluruhan menjadi suatu tempat
yang lebih baik untuk dihuni.
Dialog antar iman/agama yang
tetap memberi tempat bagi pewartaan dapat menjadi landasan bagi suatu “teologi
kerukunan” atau “teologi rekonsiliasi/perdamaian” antar umat manusia (bdk Ef
2:14-17; 2 Kor 5 :18).
Dalam hal ini orang tidak bisa
melalaikan Islam sebagai suatu gerakan religius yang besar, yakni iman dan
gerakan menuju Allah dan realisasi final semua potensi manusia. Bila gagal
sampai pada tingkat ini, orang membuat diri dungu dalam dialog Muslim-Kristen
atau Islam-Kristianitas. Demikianlah antara lain pernyataan Secretariatus Pro
Non-Christianis.
Konsili Vatikan II mengungkapkan
rasa penghargaan dan hormat kepada kaum Muslim, bukan dari sudut oportunis atau
perhitungan lainnya, melainkan karena
mereka mensharingkan iman yang membawa mereka dekat dengan orang-orang Kristen.
“Orang tidak akan tahu Islam sungguh-sungguh bila orang tidak mengertinya
sebagai orang yang beriman. Orang tidak akan memahami Muslim benar-benar sampai
orang menemukan dalam diri Muslim itu nilai-nilai religius yang dihayatinya.” Itulah juga yang dinyatakan oleh Secretariatus Pro
Non-Christianis.
Karena itu, satu
disposisi dasar yang perlu diambil oleh para partisipan dalam dialog antar iman
adalah kesetiaan kepada kebenaran dan persahabatan yang tidak egois. Untuk
sampai pada taraf ini, hal-hal elementer di atas, seperti yang dianjurkan
Secretariatus Pro Non Christianis, perlu menjadi bahan acuan kita.
[1] A.A.
Mawdudi, Towards Understanding Islam, (London: Islamic Foundation, 1980),
hal.17. Bdk. Philipus Tule, SVD., Mengenal dan Mencintai Muslim dan Muslimat,
(Maumere: Ledalero, 2003), hal. 19-20.
[2] Philipus
Tule, SVD., Mengenal dan Mencintai Muslim dan Muslimat, (Maumere: Ledalero,
2003), hal.20.
[3]
M.Shaltut, Islam sebagai Aqidah dan Shari’ah, terjemahan A.Gani & B.Hamdani
Ali (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hal 15. Bdk. Philipus Tule, SVD., Ibid. hal
20-21.
[4]
A.A.Al-Madoosi, Living Religions of the World: A Socio-political Study, (
[5] Philipus
Tule, SVD., ibid. hal. 24.
[6]
Samartha, SJ., Courage for Dialogue (New York: Orbis Books, 1981), hal 11-12.
Bdk. Philipus Tule, SVD, ibid. hal 4.
[7] Philipus
Tule, SVD., ibid. hal 5
[8] Sandiwan
Suharto dan Suhendro, Ziarah Sang Abdi Bapa Suci Yohanes Paulus II (Jakarta:
P.T. Gramedia, 1989), hal 83.
[9] Lihat
catatan dari Philipus Tule., SVD., ibid hal 13.
[10]
Komaruddin Hidayat, Ketika Agama Menyejarah (
[11] Kabilah
berarti suku; kelompok; berasal dari bahasa Arab. Milik kabilah = milik suku,
milik kelompok, bukan milik pribadi.
[12] Cyril
Glasse, ENSIKLOPEDI ISLAM RINGKAS, (
[13]
Khalifah berarti pengganti, wakil, gelar jabatan pemimpin keagamaan atau
pemerintahan. Seperti: Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, dll.
[14] Abu Su’ud, ISLAMOLOGI (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2003), p. 260
[15]Maulana
Muhammad ‘Ali, Dinul Islam (Jakarta: Daru’l Kutubi’l Islamiyah di Lahore dan
PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1976) hal 175-177.
[16]
Syari’at adalah ajaran Islam yang menetapkan peraturan-peraturan soal hidup
umat dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia berdasarkan firman Tuhan,
hadits dan fiqh.
[17]
Khawarij adalah golongan dalam tentara Ali yang kemudian justru menolak Ali
dengan tidak menyetujui gencatan senjata dalam perang Siffin melawan Mu’awiyah.
Golongan ini keras dalam aturan keberagamaan. Pandangan pokoknya ialah
kehidupan yang baik. Mereka menganggap bahwa dirinya satu-satunya golongan yang
kuat dalam memegang semua ajaran dan hukum Islam.
[18] Hadas
berarti keadaan sedang tidak suci menurut ketentuan syara’, maka harus
disucikan terlebih dahulu sebelum memenuhi syarat menunaikan ibadah tertentu.
Dibedakan menjadi hadas besar dan hadas kecil.
[19] J. Bakker SJ, dalam piagam” Nostra Aetate”
Vatikan II: Tafsiran Zaman kita, Zaman Dialog Antar Agama, Serie Orientasi
No.8, (Yogyakarta: Kanisius, 1972).
[20]
Departeman Agama Republik
[21]
SPEKTRUM XIX (1991) No 2,3 dan 4, hal
42.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar